Yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba! Yap hari ini kami akan mengumumkan pemenang HIM-ART yang telah diadakan pada tanggal 15 Juni lalu dalam rangka memperingati Hari Purbakala ke-107. Sebelumnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua partisipan yang telah meramaikan acara HIM-ART dengan karya-karya yang menarik. Dari banyaknya karya yang masuk, maka kami menetapkan 3 orang sebagai pemenang. Ketiganya adalah:
1. Kanisa Triyandari A.
Plengkung Gading karya Kanisa Triyandari A.
2. Sinfan Najia
Candi Borobudur karya SInfan Najia.
3. Elfira Nurcahyani P.
Museum Bank Indonesia Yogyakarta karya Elfira Nurcahyani P.
Selamat kepada para pemenang! Bagi yang belum menang, tetap semangat dan tunggu HIM-ART selanjutnya ya!read more
Ilustrasi lempar koin pada situs. (goldeneaglecoin.com)
Tulisan karya : Ardhias Nauvaly (Arkeologi 2018)
Beberapa waktu silam saya menyambangi salah satu landmark Kota Semarang yang masyhur akan nilai sejarah. Ya, Lawang Sewu. Seperti halnya lokasi bersejarah lain, selalu ada unsur yang mengikuti dan malah menjadi salah satu poin menarik dari situs tersebut. Itulah yang biasa disebut mitos. Entah mengapa, manusia selalu memandang masa lalu sebagai paruh waktu yang penuh kekuatan tak terjamah atau katakanlah, gaib. Mungkin ini bentuk pengakuan manusia akan ketidakmampuannya dalam mengunjungi masa yang sudah-sudah itu. Maka dari itu, manusia melimpahkan semua ketidaktahuannya dalam bentuk cerita atau mitos. Salah satu bentuk mitos di Lawang Sewu ialah barangsiapa yang melempar koin ke bunkernya maka––katakanlah––akan mendapat kesejahteraan. Saya pun coba lempar koin kesana.read more
Riboet Darmosoetopo atau yang biasa disapa Pak Riboet adalah seorang arkeolog senior yang menekuni bidang epigrafi dan juga merupakan Alumnus Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Pak Riboet sendiri mendapatkan gelar sarjananya pada tahun 1971 dan gelar doktornya pada tahun 1997.
Pada awal kuliahnya Pak Riboet memilih Jurusan Sejarah, tetapi kemudian mengganti minatnya menjadi Jurusan Arkeologi. Hal tersebut dianggap wajar karena pada waktu itu perpindahan jurusan belum memiliki mekanisme yang jelas. Pada masa kuliahnya, Pak Riboet mengonsentrasikan minatnya pada sejarah kuno dan kemudian mengambil epigrafi. Dalam bidang epigrafi inilah yang kemudian membawanya menjadi seorang peneliti dan pengajar di Universitas Gadjah Mada. Selain itu, ketika sedang mengeyam pendidikan tinggi Pak Riboet juga diangkat menjadi asisten dosen (alm.) Sartono Kartodirdjo. Hal tersebut menjadikan Pak Riboet termasuk sebagai pegawai dan dibebaskan dari pembayaran uang kuliah. Sementara pada akhir studinya, Pak Riboet memilih untuk meneliti Prasasti Salimar IV yang isinya mengenai penetapan tanah perdikan Hutan Salimar oleh Sang Pamgat Balahara.read more
Potret Gereja Ayam Tanjungpinang. (Sumber: Dok. HIMA/Hot Marangkup Tumpal)
Bangsa Belanda yang datang ke Nusantara hingga melakukan ekspansi ke berbagai wilayah di Nusantara dapat dikatakan selalu meninggalkan jejak-jejak mereka baik dalam wujud tangible maupun intagible. Wilayah Kepulauan Riau (Riouw Archipel) yang terkenal dengan budaya Melayu juga tidak luput dari ekspansi Belanda. Salah satu tinggalan Belanda yang masih dapat dilihat hingga saat ini adalah Gereja GPIB Bethel Tanjungpinang. Saat kali pertama dibangun pada tahun 1883, gereja ini hanya digunakan untuk peribadatan bagi orang-orang Belanda dan kerabatnya, serta serdadu militer Hindia-Belanda yang memeluk agama Kristen Protestan di Tanjungpinang. Gereja tertua di Kepulauan Riau yang ketika diresmikan disebut “De Nederlandse Hervormde Kerk te Tandjoengpinang” ini sudah berstatus sebagai bangunan cagar budaya yang memiliki nomor Inventaris Cagar Budaya: 15/BCB-TB/C/01/2007. Dalam perkembangannya, gereja ini menjadi Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) setelah ditetapkan dan diakui berdasarkan Staatsblad Indonesia tahun 1948 No. 305 dan Surat Keputusan Wakil Tinggi Kerajaan di Indonesia tertanggal 1 Desember 1948 No. 2.read more
Masjid Cipto Mulyo tampak depan (Sumber: koleksi pribadi).
Oleh : Rizal Hendra Pratama (Arkeologi 2018)
Mungkin orang agak sukar menemukan keberadaan Masjid Cipto Mulyo yang ada di kawasan wisata Umbul[1] Pengging di Kecamatan Banyudono, Boyolali ini. Awalnya penulis memiliki tujuan utama melihat kekunoan Umbul Pengging yang memang terkait erat dengan adanya sebuah pesanggrahan[2] peninggalan Kasunanan Surakarta pada masa silam. Banyak sekali umbul yang ada di wisata Umbul Pengging diantaranya adalah Umbul Temanten, Ngabean, dan Sungsang. Pemanfaatan sebagai kawasan wisata berupa pemandian bisa dikatakan mengurangi esensi dari bangunan umbul pengging yang sebenarnya memiliki fungsi sebagai tempat bersantai, singgah sebentar atau bermeditasinya keluarga Raja sehingga penuh dengan kesan suasana sepi, tenang, dan sunyi.read more
Menelaah respon pemerintah kolonial terhadap epidemi di Jawa pada abad-20 dari perspektif arkeologi
Pada masa kolonial, ada beberapa epidemi/wabah yang penyebarannya cukup membuat khawatir pemerintah kolonial di Indonesia karena penyebarannya yang masif dan tidak adanya obat pada masa itu yang mampu menyembuhkan penyakit tersebut. Wabah-wabah tersebut diantaranya adalah Cacar, Kusta, Pes, Malaria, Kolera, dan Tuberculosis/TBC. Penanganan terhadap masing-masing wabah dilakukan sesuai dengan jenis penyebabnya, perantaranya, serta ketersediaan pengobatan terhadap wabah yang ada pada saat itu, sehingga setiap wabah memiliki cara penanganan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.read more
[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website.
--
[ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju