Pemerintah Kolonial dalam Menangani Wabah Penyakit

Menelaah respon pemerintah kolonial terhadap epidemi di Jawa pada abad-20 dari perspektif arkeologi

Pada masa kolonial, ada beberapa epidemi/wabah yang penyebarannya cukup membuat khawatir pemerintah kolonial di Indonesia karena penyebarannya yang masif dan tidak adanya obat pada masa itu yang mampu menyembuhkan penyakit tersebut. Wabah-wabah tersebut diantaranya adalah Cacar, Kusta, Pes, Malaria, Kolera, dan Tuberculosis/TBC. Penanganan terhadap masing-masing wabah dilakukan sesuai dengan jenis penyebabnya, perantaranya, serta ketersediaan pengobatan terhadap wabah yang ada pada saat itu, sehingga setiap wabah memiliki cara penanganan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.

“Tingkat keparahan wabah bergantung pada letak geografis, keadaan sanitasi, kesadaran hidup bersih dari masyarakat setempat, dan kemajuan transportasi pada masa itu,” kata Lengkong Sanggar Ginaris, mahasiswa program magister arkeologi Universitas Gadjah Mada dalam diskusi via aplikasi zoom tentang “Pemerintah Kolonial dalam Menangani Wabah Penyakit” yang diselenggarakan oleh Divisi P3M HIMA, Minggu, 17 Mei 2020.

Lengkong menjelaskan pada awalnya pelayanan kesehatan di Indonesia dikhususkan untuk kepentingan militer karena jauh lebih banyak prajurit yang meninggal di barak daripada di medan tempur. Pelayanan kesehatan ini dilakukan oleh Geneeskundige Dienst. Pada 1911, Geneeskundige Dienst dipecah menjadi Burgerlijke Geneeskundige Dienst untuk melakukan pelayanan kesehatan kepada masyarakat sipil. Burgerlijke Geneeskundige Dienst kemudian berubah nama menjadi Dienst der Volkgezondheid pada 1927. Tugas-tugas Dienst der Volkgezondheid meliputi perencanaan program kesehatan secara intensif; tindakan-tindakan karantina; manajemen rumah sakit umum dan klinik rawat jalan; penelitian obat dan nutrisi; produksi vaksin; pelatihan dokter umum, dokter gigi, perawat, bidan, vaksinator, dan paramedis lainnya; serta pengumpulan semua laporan statistik kesehatan di seluruh wilayah Indonesia.

Dalam melakukan penanganan wabah, pemerintah kolonial juga bekerjasama dengan lembaga-lembaga swasta, seperti institut penelitian, zending, dan misionaris. Berbagai sarana-prasarana dan kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah kolonial dalam rangka menangani wabah penyakit. Sarana dan prasarana penanggulangan wabah yang dibangun oleh pemerintah kolonial diantaranya adalah rumah sakit, tempat karantina, pabrik obat & vaksin, laboratorium, pembenahan rumah tinggal, saluran drainase tertutup, dan jaringan pipa air bersih. Beberapa bangunan tersebut masih dapat kita jumpai pada saat ini.

Rumah sakit pertama di Indonesia dibuka oleh VOC di Batavia pada 1 Juli 1626 untuk kepentingan militer. Sedangkan rumah sakit sipil pertama didirikan pada 1640 untuk masyarakat Tionghoa di Batavia. Selama abad ke-19, pemerintah kolonial lebih banyak membangun rumah sakit militer yang dibangun di kota-kota garnisun militer, seperti Cimahi, Magelang, Ambarawa, Purworejo, Malang, Gombong, dan Ngawi. Di luar kota-kota garnisun militer, rumah sakit atau poliklinik dibuka oleh zending, misionaris, atau perusahaan perkebunan dan pertambangan. Pembukaan rumah sakit oleh lembaga-lembaga tersebut selain untuk pelayanan kesehatan, juga untuk kepentingan penyebaran agama (bagi zending dan misionaris) atau untuk menjaga produktivitas buruh (bagi perusahaan perkebunan dan pertambangan). “Karena apabila buruh sakit maka produktivitas perusahaan juga akan menurun,” ungkap Lengkong.

Pada abad ke-19, didirikan Stadsverbandhuis yang menjadi cikal bakal rumah sakit umum di kota-kota besar sekarang. Kemudian, pada abad ke-20 dibentuk pula Centrale Burgelijke Zikeninrichting di Semarang, Surabaya, dan Batavia. Diantara ketiganya, Centrale Burgelijke Zikeninrichting di Batavia adalah yang paling besar. Kini, Centrale Burgelijke Zikeninrichting Batavia berubah menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Selain rumah sakit, di Batavia juga didirikan laboratorium yang kini menjadi Lembaga Eijkman, serta sekolah calon dokter yang kini menjadi FK UI.

Komplek rumah sakit pemerintah kolonial terdiri dari bangsal perawatan yang dipisahkan untuk orang Eropa dan pribumi, kamar operasi, kamar jenazah, kantor staf, rumah dinas dokter/perawat, binatu, dan dapur. Rumah sakit pada masa itu terlihat seperti barak militer, dimana pasien-pasien dirawat di bangsal memanjang tanpa ada sekat pemisah. Kondisi yang sebenarnya justru akan membuat penularan penyakit menjadi semakin mudah, baik dari pasien ke pasien lainnya maupun dari pasien ke tenaga medis. Rumah sakit-rumah sakit pemerintah kolonial kebanyakan berada di kota-kota besar seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya, sehingga pelayanan kesehatan di kota-kota yang lebih kecil seringkali mengalami ketertinggalan. Lembaga-lembaga swasta seperti zending, misionaris, atau perusahaan-perusahaan perkebunan kemudian mengisi kekosongan tersebut dengan membangun rumah sakit-rumah sakit di kota-kota yang lebih kecil, meski dengan kepentingannya sendiri-sendiri.

Kebijakan selanjutnya dari pemerintah kolonial dalam menangani wabah adalah melakukan vaksinasi. Beberapa penyakit seperti cacar dan pes memang dapat ditanggulangi dengan vaksin. Dasar hukum vaksinasi cacar dikeluarkan oleh pemerintah kolonial pada 1820 melalui ‘Peraturan Pelaksanaan Vaksinasi Cacar’ atau ‘Reglement op de uitoefening der koepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie’.

Vaksin cacar dibuat dengan mengambil bibit virus cacar sapi yang tidak membahayakan manusia. Pembuatan vaksin pertama di Hindia Belanda dilakukan oleh dr. A. Schuckink Kool di Meester Cornelis (Jatinegara) pada 1884. Pada 1890 Rumah Sakit Tentara Weltevreden-Batavia ditunjuk sebagai tempat pembuatan vaksin (Parc Vaccinogen atau Landskoepok Inrichting). Kemudian, institut pembuatan vaksin pemerintah dipindah ke Bandung. Pada 1896, Institut Pasteur dari Prancis juga membuka cabangnya di Bandung. Akhirnya, dibangun gedung pabrik pembuatan vaksin cacar Instituut Pasteur di Bandung pada 1918 (kini menjadi kantor PT. Biofarma).

Sasaran vaksinasi adalah penduduk pribumi yang sering berkontak dengan orang Eropa; orang Eropa yang baru tiba di Indonesia; bayi berusia 6-9 bulan; serta tentara, kuli kontrak, dan tahanan. “Mereka juga turut divaksin untuk mencegah penyebaran penyakit di perumahan pekerja, penjara, maupun barak militer,” kata Lengkong.

Pelaksanaan vaksinasi dilakukan oleh seorang Inspektur yang berada di setiap karesidenan. Setiap minggu, inspektur melakukan vaksinasi di tempat ia ditugaskan atau di daerah-daerah sekitarnya. Apabila tempat yang dituju terlalu jauh, maka tugas vaksinasi dilakukan oleh mantri suntik (vaccinateur) pribumi yang sudah dilatih. Pelatihan terhadap para mantri pribumi ini kemudian melahirkan sebuah sekolah yang kita kenal dengan nama STOVIA. Setiap 7 tahun sekali, tiap kampung/desa akan didatangi oleh mantri cacar, dimana penduduk yang hendak divaksin dikumpulkan oleh Wedana atau Demang setempat. Hasilnya, pada 1930 bayi yang sudah divaksin di Jawa, Madura, Bali, dan Lombok telah mencapai 1.279.401 bayi. Bahkan, pada tahun 1928, angka kematian akibat cacar di Jawa dan Madura tidak lebih dari 11 orang.

Pada abad ke-19, khasiat kina sebagai obat malaria ditemukan dan semenjak saat itu tanaman ini menjadi andalan dalam menangani penyakit malaria di Indonesia dan dunia. Kina sebenarnya bukan merupakan tanaman asli Indonesia, melainkan dari Amerika Latin. Kina pertama kali dibawa ke Indonesia oleh Junghuhn pada 1854 dan ditanam di perkebunan kina milik pemerintah di Bandung Selatan. Sejak 1872, perkebunan milik swasta juga diperbolehkan untuk menanam kina. Pada awalnya, kulit kayu kina yang menjadi bahan baku obat malaria masih perlu dibawa ke Eropa untuk diolah menjadi obat. Namun, akibat murahnya harga kulit kayu kina sementara harga obat menjadi mahal, maka diputuskan agar kina diproduksi di Indonesia. Pabrik kina pertama di Indonesia didirikan di Bandung pada 1897 dan menjadi 1 dari hanya 12 pabrik kina yang ada di dunia.

Kebijakan berikutnya dari pemerintah kolonial dalam menangani wabah adalah membangun tempat-tempat karantina. Pada saat itu, penyakit seperti kusta dan TBC belum bisa ditangani secara maksimal karena masih terbatasnya pengetahuan dunia medis sehingga satu-satunya jalan adalah mengkarantina penderita di suatu tempat yang jauh dan terpisah dari penduduk sehat.

“Misalnya, para kuli kontrak dari Tionghoa sebelum dipekerjakan di perkebunan diharuskan untuk menjalani karantina selama 40 hari. Setelah dinyatakan bebas dari penyakit, mereka baru diperbolehkan untuk bekerja,” imbuh Lengkong.

Setiap penyakit memiliki tempat karantinanya masing-masing. Tempat karantina khusus untuk penderita kusta dinamakan Leprosie. Yang menarik adalah, Leprosie dibangun semirip mungkin dengan pemukiman warga biasa dengan fasilitas selengkap mungkin, mulai dari klinik, tempat penggilingan beras, sekolah, hingga gereja. Salah satu bekas Leprosie yang masih dapat dijumpai ada di Sumatera Utara. Bagi penderita TBC, karantina dilakukan di tempat yang disebut Sanatorium. Sanatorium dibangun di dataran tinggi atau pegunungan karena adanya anggapan bahwa TBC dapat disembuhkan apabila pasien dipindahkan ke tempat yang udaranya bersih seperti daerah dataran tinggi atau pegunungan.

Kebijakan selanjutnya yang ditempuh oleh pemerintah kolonial dalam menanggulangi wabah adalah peningkatan sanitasi. Wabah seperti kolera terjadi karena banyak penduduk yang masih BAB sembarangan sehingga mencemari air tanah. Merebaknya wabah kolera menjadi pertimbangan pemerintah kolonial untuk meningkatkan sanitasi perkotaan melalui Hygienische Technische Diensten. Peningkatan sanitasi yang dilakukan pemerintah kolonial diantaranya adalah pemasangan jaringan air keran; pembuatan MCK umum; dan pembuatan saluran limbah rumah tangga.

“Bangunan tinggalan Belanda yang berkaitan dengan sarana air bersih yang masih dapat kita jumpai saat ini, seperti tempat penampungan air, tempat mesin pompa, atau MCK, sebenarnya merupakan upaya pemerintah kolonial untuk memerangi wabah kolera,” tutur Lengkong.

Kebijakan berikutnya yang ditempuh oleh pemerintah kolonial dalam menangani wabah penyakit adalah pembenahan perkampungan dan rumah penduduk pribumi. Kondisi rumah penduduk yang saat itu masih menggunakan atap daun, tiang bambu, dan anyaman bambu dinilai buruk untuk kesehatan karena minim penerangan, sirkulasi udara tidak terkendali, dan menjadi sarang tikus yang merupakan sumber wabah pes, sehingga penyebaran wabah pes dan wabah-wabah lainnya semakin meluas. Kebijakan ini menargetkan rumah-rumah yang terletak di wilayah perkampungan urban dikarenakan kondisi lingkungannya lebih buruk dibandingkan perkampungan rural atau pedesaan. Pada akhir tahun 1928, sudah ada 1.021.000 rumah yang diperbaiki oleh pemerintah kolonial melalui kebijakan ini. Proyek pembenahan perkampungan pribumi ini juga menjadi pemicu tumbuhnya industri genteng dan bata di berbagai daerah, seperti Sokka (Kebumen) dan Jatiwangi (Cirebon) dikarenakan permintaan terhadap produk-produk tersebut yang semakin tinggi selama berlangsungnya kebijakan ini.

“Jadi, sebelum abad ke-20, rumah penduduk masih terbuat dari daun, ijuk, dan kayu. Kemudian, setelah wabah, mulai muncul kebiasaan untuk membangun rumah dengan bahan-bahan yang lebih ramah untuk kesehatan seperti genteng dan bata,” ungkap Lengkong. Selain itu, jarak antar rumah juga mulai diatur agar sirkulasi udara dan sinar matahari dapat berlangsung dengan baik. Pembenahan perkampungan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah. Perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan buruh pribumi, seperti perusahaan gula, perusahaan kereta api, atau perusahaan perkebunan, juga turut melakukan pembenahan terhadap pemukiman buruhnya.

Sebuah rumah dapat dikatakan sebagai rumah sehat apabila memenuhi setidaknya empat kriteria, yaitu penerangan cukup, sirkulasi udara baik, antar rumah memiliki jarak, serta bagian dalam rumah yang tidak lembab. Oleh karena itu, rumah pada masa kolonial dibangun dengan jendela yang besar dan tinggi agar sinar matahari dan udara dapat tersirkulasikan dengan baik. Kemudian, rumah pada masa kolonial banyak yang memiliki dinding yang terbuat dari lapisan batu kali pada bagian luarnya. Hal ini bertujuan agar air yang terdapat pada dinding dapat terserap oleh batu kali tersebut sehingga bagian dalam rumah tidak menjadi lembab.

Upaya lainnya yang dilakukan pemerintah kolonial dalam menangani wabah penyakit adalah pemberantasan sarang nyamuk. Seperti yang kita ketahui, sumber air yang terbuka, terutama yang tidak mengalir atau alirannya lambat, merupakan sarang yang ideal bagi perkembangbiakan nyamuk. Oleh karena itu, pada akhir abad ke-19, pusat-pusat kegiatan orang Eropa yang ada di pesisir utara seperti Batavia dan Semarang mulai memindahkan pemukimannya dari yang awalnya berada di dekat laut menjadi bergeser ke arah selatan. Proyek pemberantasan sarang nyamuk oleh pemerintah kolonial ini meliputi beberapa program yang berupa, pengeringan kolam; pembuatan saluran drainase tertutup; menghubungkan kolam ikan air asin dengan laut; pemeliharaan saluran air dengan baik; penanaman padi secara serentak di persawahan yang airnya berasal dari saluran yang sama; mengeringkan sawah yang tidak digarap dalam dua masa penanaman; menanam tepi aliran/anak sungai dengan tumbuhan yang rindang untuk menutupi air dari sinar matahari; serta memasukkan ikan tawes dan ikan kepala timah ke dalam kolam untuk memakan bibit-bibit nyamuk malaria.

Selain itu, pemerintah kolonial juga menyebarkan selebaran-selebaran yang isinya mengajak pada penduduk untuk menjalani hidup sehat, seperti yang dilakukan pemerintah kolonial pada saat wabah flu spanyol merebak di Indonesia. Kebijakan ini terpaksa ditempuh oleh pemerintah kolonial karena mereka sebenarnya juga tidak tahu apa sebenarnya penyakit flu spanyol dan bagaimana cara penanganannya. Dikarenakan gejalanya yang mirip dengan masuk angin, maka pemerintah kolonial hanya bisa memberikan himbauan kepada para penduduk untuk menjalani hidup sehat.

Pemerintah kolonial sebenarnya juga sempat mengeluarkan kebijakan lockdown dalam rangka menanggulangi wabah penyakit. Namun sayangnya, kebijakan ini diprotes oleh para pengusaha yang ingin menjalankan usahanya kembali, seperti yang terjadi di Malang. Akhirnya, pemerintah kolonial memenuhi tuntutan para pengusaha tersebut dan mencabut kebijakan lockdown yang sebelumnya mereka terapkan.

Secara keseluruhan, upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat Indoensia baru mendapat perhatian dari pemerintah kolonial pada awal abad ke-20. Merebaknya berbagai wabah penyakit dan tingginya angka kematian yang disebabkan oleh wabah-wabah tersebut menyebabkan pemerintah kolonial mulai memberikan perhatian pada sektor kesehatan di tanah jajahan. Hal ini ditunjukkan dengan dibangunnya berbagai sarana dan prasarana kesehatan serta dijalankannya berbagai kebijakan yang bertujuan untuk menanggulangi wabah penyakit. Upaya penanggulangan wabah penyakit tidak hanya difokuskan untuk kalangan Eropa saja, melainkan untuk semua kalangan yang ada di Indonesia. Meski pada kenyataannya, masih ada sedikit penggolongan kelas seperti yang ditunjukkan dalam pembagian bangsal rumah sakit yang dipisahkan antara orang Eropa dengan orang pribumi.

Dalam kaitannya dengan wabah corona yang sedang merebak saat ini, dapat diambil refleksi bahwa pemerintah kolonial memisahkan orang-orang sakit dari orang-orang sehat, seperti yang ditunjukkan dengan pembangunan tempat-tempat karantina dan rumah sakit-rumah sakit khusus untuk penyakit tertentu. Hal ini sebenarnya juga masih dapat diterapkan pada kondisi saat ini, dimana pemerintah dapat membangun tempat karantina dan rumah sakit khusus untuk para pasien Covid-19 sehingga penularan dan penyebaran penyakit tersebut dapat ditekan. Selain itu, hal ini juga bertujuan agar penanganan rumah sakit-rumah sakit terhadap penyakit-penyakit lainnya masih dapat berjalan dengan optimal.

Oleh : Muhammad Azzam Al Haq (Arkeologi 2019)

Editor : Candrika Ilham Wijaya (Arkeologi 2019)

Incoming search terms:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.