Memaknai Kata Sandi pada Bedug Masjid Cipto Mulyo Pengging, Boyolali

Masjid Cipto Mulyo tampak depan
Masjid Cipto Mulyo tampak depan (Sumber: koleksi pribadi).

Oleh : Rizal Hendra Pratama (Arkeologi 2018)

Mungkin orang agak sukar menemukan keberadaan Masjid Cipto Mulyo yang ada di kawasan wisata Umbul[1] Pengging di Kecamatan Banyudono, Boyolali ini. Awalnya penulis memiliki tujuan utama melihat kekunoan Umbul Pengging yang memang terkait erat dengan adanya sebuah pesanggrahan[2] peninggalan Kasunanan Surakarta pada masa silam. Banyak sekali umbul yang ada di wisata Umbul Pengging diantaranya adalah Umbul Temanten, Ngabean, dan Sungsang. Pemanfaatan sebagai kawasan wisata berupa pemandian bisa dikatakan mengurangi esensi dari bangunan umbul pengging yang sebenarnya memiliki fungsi sebagai tempat bersantai, singgah sebentar atau bermeditasinya keluarga Raja sehingga penuh dengan kesan suasana sepi, tenang, dan sunyi.

Ketika sudah cukup menikmati beningnya air Umbul Temanten dan Ngabean, penulis berniat untuk menyusuri satu umbul yang letaknya agak jauh dari kedua umbul tersebut yakni Umbul Sungsang. Sewaktu perjalanan, intuisi diri memaksa penulis untuk memasuki sebuah jalan kecil, entah apa yang ada di balik jalan kecil tersebut. Dari ujung gang tempat penulis berpijak hanya terlihat tembok kusam yang memanjang kearah kanan dan kiri penulis. Hanya jalan itu saja yang tidak tertutup tembok. Setelah melangkah lebih jauh ternyata tembok tersebut memanjang mengikuti kelokan sungai. Tanpa sadar penulis sudah berada diantara kedua tembok, persisnya diatas sebuah jembatan. Dari arah itu penulis melihat bangunan Masjid. Tertera pada sebuah tulisan yang berbunyi Masjid Ciptomulyo di serambinya. Bangunan serambi memiliki atap bergaya limasan, sedangkan bangunan utama memiliki atap tumpang susun dua. Atap tumpang identik dengan arsitektur masjid – masjid tradisional di Jawa. Di serambi terdapat rijkplaank yang mengingatkan pada bangunan bergaya Eropa. Pada bagian Rijkplaank yang berbentuk segitiga tertera tulisan berwarna hitam mencolok dari kejauhan yang bertuliskan PB X. Keterangan itu memberikan isyarat bahwa masjid tersebut dibangun pada masa pemerintahan Paku Buwono ke X seusia dengan Umbul Pengging. Tampaknya ‘Sunan kaya’ ini ingin membangun kompleks pesanggrahan yang lengkap dengan sarana ibadah. Terdapat inskripsi yang juga menerangkan bahwa masjid Cipto Mulyo dibangun oleh Paku Buwono X pada tahun 1838. Namun, penulis tidak berani menyimpulkan apakah itu tahun masehi, hijriyah, atau tahun jawa. Meskipun demikian, apabila dilihat dari masa pemerintahan Paku Buwono yang dimulai tahun 1866 – 1939 Masehi, maka agaknya kurang tepat apabila tahun 1838 merupakan tahun masehi. Adanya molo[3] yang mirip dengan yang ada di Masjid Kauman Surakarta, membuat semakin yakin bahwa Masjid Ciptomulyo memiliki kaitan erat dengan Keraton Surakarta. Selain itu, dibelakang Masjid terdapat pusara salah satu pujangga beken dari Keraton Surakarta yaitu Yosodipuro II. Hal yang unik dari Masjid Ciptomulya adalah arah kiblatnya, biasanya kiblat berada di arah barat dan sedikit miring ke kanan, namun pada Masjid Cipto Mulyo ini miringnya ke kiri sehingga pada saat ini dibuat semacam garis petunjuk untuk arah kiblat yang benar. Dalam perjalannanya, masjid ini sudah mengalami renovasi tiga kali, namun masih tetap mempertahankan arsitektur kekunoannya kecuali bagian lantai dan tembok serambi yang sudah dikeramik.

Molo pada Masjid Cipto Mulyo. Gambar diambil dari arah barat tepatnya di kompleks makam Yosodipuro II. (Sumber: Koleksi Pribadi)
Molo pada Masjid Cipto Mulyo. Gambar diambil dari arah barat tepatnya di kompleks makam Yosodipuro II. (Sumber: Koleksi Pribadi)

Salah satu hal yang menarik perhatian penulis adalah keberadaan bedug yang ada di pojok serambi masjid. Penggunaan bedug memang bukan merupakan sesuatu yang baru pada fenomena masjid tradisional di Jawa. Biasanya bedug berpasangan dengan kentongan. Letaknya sendiri jika tidak di serambi biasanya di halaman masjid dan dibuatkan wadah tersendiri seperti Masjid Menara Kudus yang bedugnya diletakan di atas menara, atau Masjid Jami’ Lasem yang kental dengan arsitektur Cina juga memiliki tempat khusus untuk bedhuk di halaman masjid (Handinoto dan Hartono, 2007: 23). Mengenai asal usul budaya bedug sendiri terdapat berbagai macam hipotesa. Hipotesa pertama mengatakan bahwa bedug merupakan akulturasi antara kebudayaan Cina dan Islam di Jawa. Hal ini tampak dengan adanya penggunaan bedug di kuil – kuil agama orang Cina seperti Kelenteng (Handinoto dan Hartono, 2007: 26) Terdapat Cerita khusus yaitu kedatangan ekspedisi Ceng Ho di Jawa yang membawa kebudayaan bedug dari Cina untuk diperkenalkan di Jawa hingga populer sampai masa sekarang (Saputro, 2019). Seorang Arkeolog bernama Dwi Cahyono bahkan menarik asal usul bedug pada masa yang lebih jauh yaitu pada masa prasejarah. Bukti yang menguatkan argumen Cahyono adalah budaya pembuatan moko dan nekara pada masa logam yang ditabuh untuk keperluan ritual, mas kawin, dan untuk meminta hujan. Dalam kidung Malat Pupuh XLIX dijelaskan bahwa bedug atau yang disebut teg – teg merupakan alat musik yang ditabuh sebagai tanda perang. Kidung Malat sendiri dipercaya ditulis pada masa Majapahit (Isneni, tanpa tahun).

Dalam alam pikir masyarakat tradisional Jawa, bedug bukan hanya sekedar alat pemanggil suara azan, bedug menjadi sarana penting untuk berkomunikasi sehingga bedug cukup dikultuskan, dalam artian menjadi salah satu perlengkapan yang harus ada dalam sebuah Masjid di Jawa meski tanpa pakem tertulis. Kaitannya dengan hari raya, seperti Idul Fitri dan Lebaran Haji, penulis punya pengalaman cerita tutur yang diceritakan oleh simbah penulis yang lahir pada tahun 1940. Pada waktu beliau masih muda masih melihat fenomena penabuhan bedug di penghujung puasa menjelang lebaran Idul Fitri dan Lebaran Haji, bedug dibunyikan dengan pukulan yang sangat panjang di Masjid Agung Demak. Tabuhan tersebut memberikan semacam tanda bahwa bulan puasa segera berakhir dan menyambut bula baru, yaitu Syawal yang penuh dengan kebahagiaan dimana semua saudara berkumpul. Suara bedug tersebut terdengar sangat nyaring hingga terdengar sampai rumah penulis yang jaraknya 70 km dari Masjid Demak, suatu hal yang sebenarnya cukup liar untuk dimasukkan nalar. Ungkapan ini mungkin memiliki maksud bahwa bedug menjadi semacam tanda untuk menyampaikan berita penting seperti hari raya telah tiba, atau pertanda waktu salat yang disampaikan secara broadcast atau sistem kethok tular (informasi yang menyebar secara beruntun).

Inskripsi pendek tang terdapat pada gawangan kentongan bagian atas (Sumber: Koleksi Pribadi)
Inskripsi pendek tang terdapat pada gawangan kentongan bagian atas (Sumber: Koleksi Pribadi)

Di Masjid Ciptomulyo sendiri Sunan Pakubuwono memenuhi persyaratan tanpa pakem yang jelas tersebut dengan memberikan bedug pada serambi masjid. Bagian atas kentongan bedug terdapat tulisan PB X. Selain itu, pada bagian atas gawangan[4] kentongan terdapat inskripsi pendek beraksara jawa baru yang berbunyi “Rahayap ning Rurasthi” yang berarti orang – orang (rakyat) di pedesaan. Makna dibalik ungkapan tersebut belum diketahui secara pasti. Penulis dengan segala keterbatasan akan memberikan sedikit pemaknaan dibalik ungkapan tersebut. Apakah hal ini senada dengan konsep pesanggrahan yang penuh dengan sepi dan sunyi dan suasana tersebut erat dengan suasana pedesaan. Sehingga lokasi yang dipilih untuk masjid didirikan sekarang, lengkap dengan segala fasilitas pesanggrahan didasarkan atas kaidah – kaidah tersebut. Atau masjid dan kentongan tersebut dibangun oleh masyarakat desa sekitar atas prakarsa Sunan Paku Buwono X. Hal ini tampak pada arsitektur masjid yang sederhana mulai dari ukiran – ukirannya bahkan bedug, kentongannya sendiri yang tampak polos dan bersahaja termasuk gawangannya. Lalu, bagaimana dengan Yasadipura II yang dimakamkan dibelakang masjid, apakah masjid dan pesanggrahan itu digunakan untuk menghormati pujangga kenamaan tersebut. Masjid dan pesanggrahan digunakan untuk singgah sementara setelah berziarah yang tentunya dilakukan oleh keluarga Keraton. Mengingat terdapat sebuah teori bahwa makam memang berkaitan erat dengan sumber – sumber air sehingga memang lokasi tersebut sengaja dipilih sebagai Makam Yasadipura II yang meninggal pada tahun 1884 masehi sedangkan masjid dibangun pada tahun 1838 dengan jenis tahun yang belum diketahui. Diperlukan riset yang lebih mendalam dengan sumber – sumber yang lebih memadai untuk dapat menarik kesimpulan dengan lantang di balik maksud dari ungkapan rahayan ning rurasthi diatas. Penulis sangat berharap akan kritikan dari pembaca barangkali terdapat kesalahan dalam membaca aksara yang terdapat pada gawangan kentongan bagian atas maupun kesahan dalam memberikan arti dari bacaan untuk kemajuan tulisan ini. Mengingat masih kental dengan suasana lebaran, penulis mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1441 Hijriyah, mohon maaf lahir dan batin.

[1] Wadah menggantung kentongan

[1] Kolam pemandian.

[2] Tempat untuk Raja bersantai, menerima tamu, dan sarana meditasi sehingga erat dengan kesan sakral dan sunyi.

[4] Kemuncak sebuah bangunan (masjid)

 

Editor :

Candrika Ilham Wijaya (Arkeologi 2019)

Hot Marangkup Tumpal (Arkeologi 2018)

 

Referensi:

Handinoto dan Hartono. 2007. Pengaruh Pertukangan Cina pada Bangunan Masjid Kuno di Jawa Abad 15 – 16. Dalam Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Vol. 35, No. 1, Edisi Juni 2007. Hlmn 23 – 40.

Isneni, Hendri F. Tanpa tahun. Tak – Tak – Tak, Dung, Ini Sejarah Bedug. Dalam Artikel Historia.id, diakses pada tanggal 21 Mei 2020.

Saputro, Christian. 2019. Hikayat Bedug Dari Cengho hingga Menjadi Ikon Islam Nusantara. Dalam Artikel Alif.id, diakses tanggal 21 Mei 2020.

 

Incoming search terms:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.