[HIMAPEDIA] Satyawati Suleiman, Sang Arkeolog Wanita Pertama Bangsa Indonesia

Dra. Satyawati Suleiman (Sumber: http://kajanglako.com/id-9314-post-satyawati-suleman.html)
Dra. Satyawati Suleiman
(Sumber: kajanglako.com).

Dra. Satyawati Suleiman atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibu Leman atau Ibu Yati merupakan seorang arkeolog wanita pertama di Indonesia. Meskipun seorang arkeolog wanita, akan tetapi beliau tidak bisa dianggap remeh begitu saja oleh peneliti-peneliti lainnya. Hal tersebut dibuktikan dengan jasa Ibu Leman yang dikenal sebagai ahli ikonografi oleh peneliti lain. Karya yang paling terkenal dari beliau adalah buku yang berjudul Monuments of Ancient Indonesia. Buku ini diterbitkan di Jakarta pada tahun 1976 oleh Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Indonesia. read more

[HIMAPEDIA] Barang Antik: Maknanya Bagi Kolektor dan Arkeolog

Kehidupan manusia tidak terlepas dari benda-benda yang ada di sekitar mereka, baik yang telah disediakan oleh alam maupun yang mereka ciptakan sendiri dengan kemampuan dan pengetahuan yang mereka miliki. Sejak dulu hingga sekarang, benda-benda tersebut membantu manusia dalam melakukan pekerjaannya. Seiring berkembangnya waktu, benda-benda yang digunakan mengalami perubahan mengikuti perkembangan kemampuan dan pengetahuan manusia. Benda-benda lama digantikan oleh benda-benda baru yang lebih baik dan efisien untuk digunakan. Lalu, apakah benda-benda lama yang sudah tidak dipakai lagi hilang ditelan zaman? Sebagian iya, sebagian lainnya tidak. Ada banyak benda-benda lama yang kemudian bertahan hingga masa sekarang meskipun fungsinya sudah beralih menjadi benda pajangan. Benda-benda ini yang kita sebut sebagai benda atau barang antik. read more

Incoming search terms:

[HIMAPEDIA] Sedikit Mengenal Pak Riboet: Sang Ahli Epigrafi Milik Indonesia

Riboet Darmosoetopo
Potret Riboet Darmosoetopo. (Dok. HIMA/Tyassanti Kusumo Dewanti)

(Yogyakarta, 19 Desember 1938 – Sekarang)

Riboet Darmosoetopo atau yang biasa disapa Pak Riboet adalah seorang arkeolog senior yang menekuni bidang epigrafi dan juga merupakan Alumnus Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Pak Riboet sendiri mendapatkan gelar sarjananya pada tahun 1971 dan gelar doktornya pada tahun 1997.

Pada awal kuliahnya Pak Riboet memilih Jurusan Sejarah, tetapi kemudian mengganti minatnya menjadi Jurusan Arkeologi. Hal tersebut dianggap wajar karena pada waktu itu perpindahan jurusan belum memiliki mekanisme yang jelas. Pada masa kuliahnya, Pak Riboet mengonsentrasikan minatnya pada sejarah kuno dan kemudian mengambil epigrafi. Dalam bidang epigrafi inilah yang kemudian membawanya menjadi seorang peneliti dan pengajar di Universitas Gadjah Mada. Selain itu, ketika sedang mengeyam pendidikan tinggi Pak Riboet juga diangkat menjadi asisten dosen (alm.) Sartono Kartodirdjo. Hal tersebut menjadikan Pak Riboet termasuk sebagai pegawai dan dibebaskan dari pembayaran uang kuliah. Sementara pada akhir studinya, Pak Riboet memilih untuk meneliti Prasasti Salimar IV yang isinya mengenai penetapan tanah perdikan Hutan Salimar oleh Sang Pamgat Balahara. read more

Incoming search terms:

[HIMAPEDIA] Dibalik Rindangnya Pepohonan Situs Menggung

Arca Mbah Menggung dan Durga Mahisasuramaardini. (Dok. HIMA/Jesica Riana)

Situs Menggung atau Candi Menggung merupakan tinggalan arkeologi yang terletak di dusun Nglurah, Desa Tawangmanggu, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar. Situs ini berada di sebuah areal perbukitan dengan elevasi 1.003 m dpl dengan banyak pohon-pohon besar yang tumbuh di sekitar situs. Di sisi Barat situs terdapat jalan dan permukiman penduduk. Sedangkan, di sisi Selatan terdapat sungai yang berjarak sekitar 50 m dari situs dan juga terdapat parit yang memanjang ke arah Barat lalu berbelok ke arah Utara pada sisi Barat situs (Heri Purwanto & Coleta Palupi Titasari, 2017). read more

Incoming search terms:

[HIMAPEDIA] Selayang Pandang Gereja Tertua di Tanah Gurindam

Potret Gereja Ayam Tanjungpinang. (Sumber: Dok. HIMA/Hot Marangkup Tumpal)

Bangsa Belanda yang datang ke Nusantara hingga melakukan ekspansi ke berbagai wilayah di Nusantara dapat dikatakan selalu meninggalkan jejak-jejak mereka baik dalam wujud tangible maupun intangible. Wilayah Kepulauan Riau (Riouw Archipel) yang terkenal dengan budaya Melayu juga tidak luput dari ekspansi Belanda. Salah satu tinggalan Belanda yang masih dapat dilihat hingga saat ini adalah Gereja GPIB Bethel Tanjungpinang. Saat kali pertama dibangun pada tahun 1883, gereja ini hanya digunakan untuk peribadatan bagi orang-orang Belanda dan kerabatnya, serta serdadu militer Hindia-Belanda yang memeluk agama Kristen Protestan di Tanjungpinang. Gereja tertua di Kepulauan Riau yang ketika diresmikan disebut “De Nederlandse Hervormde Kerk te Tandjoengpinang” ini sudah berstatus sebagai bangunan cagar budaya yang memiliki nomor Inventaris Cagar Budaya: 15/BCB-TB/C/01/2007. Dalam perkembangannya, gereja ini menjadi Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) setelah ditetapkan dan diakui berdasarkan Staatsblad Indonesia tahun 1948 No. 305 dan Surat Keputusan Wakil Tinggi Kerajaan di Indonesia tertanggal 1 Desember 1948 No. 2.

Berdasarkan catatan yang diterbitkan dengan judul “Berichten omtrent Indie, gedurende een tienjarig verblijf aldaar” (laporan tentang Hindia, selama sepuluh tahun tinggal di sana) diperoleh informasi bahwa bangunan gereja dalam bentuk yang sangat sederhana ini sudah ada sejak 14 Februari 1835. Tulisan tersebut diterbitkan oleh penerbit Ballot di Kota Deventer pada tahun 1846. Pendeta Eberhardt Herman Rottger adalah tokoh penting yang terlibat dalam pembangunan gereja ini. Ia bertugas sebagai misionaris di Riouw (Riau), Tanjungpinang dari tahun 1833 hingga 1842. Menurut sejarawan Provinsi Kepulauan Riau, Aswandi Syahri menyebutkan bahwa pembangunan gereja ini dibantu dalam bentuk material oleh Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau VII, Raja Abdurrahman. Bantuan serupa diberikan juga oleh Kapitan Cina pada masa tersebut. Hal ini mengisyaratkan tentang kerukunan beragama yang terjadi di Tanjungpinang kala itu.

Gereja ini terkenal dengan sebutan Gereja Ayam dimana sebutan ini dipopulerkan oleh masyarakat setempat. Hal ini disebabkan adanya hiasan berbentuk ayam di atas menara yang menyatu dengan atap bagian depan. Gereja yang berjuluk Gereja Ayam ini telah beberapa kali mengalami perubahan. Menara yang berfungsi sebagai tempat lonceng beserta “ayam”-nya itu, kemungkinan dibuat saat renovasi antara tahun 1920 hingga 1930-an. Bentuk ayam yang terbuat dari besi pipih itu berfungsi sebagai penunjuk arah angin. Bentuknya yang pipih membuatnya dapat bergerak 180 derajat mengikuti hembusan angin. Hiasan kemuncak bangunan sakral seperti masjid, gereja, pura, atau candi mempunyai arti tersendiri, baik sebagai simbolik maupun kepercayaan dan keagamaan. Hiasan kemuncak bangunan berupa ayam di gereja ini sendiri sengaja dibuat sebagai pengingat umat akan kisah dalam Alkitab mengenai Simon Petrus yang menyangkal Yesus tiga kali sebelum ayam berkokok dua kali. Diharapkan dengan simbol tersebut umat Kristen selalu kuat dalam iman mereka dan tidak akan goyah dalam kondisi seperti apapun sehingga tidak menyangkal Yesus sebagai Tuhan dan Sang Juru Selamat.  Dapat dikatakan bahwa kehadiran bangsa-bangsa Eropa di Indonesia sejak awal abad XVI telah memengaruhi berbagai unsur kebudayaan, salah satu di antaranya dalam hal hiasan kemuncak bangunan. Hiasan kemuncak ini dahulu awalnya banyak dipasang di atap-atap rumah penduduk di Belanda. Akan tetapi, sejak kapan binatang berkaki dua yang berwujud ayam jago ini menjadi hiasan dan bertengger di atas bangunan-bangunan sakral dan profan tidak lagi jelas. Dahulu orang menyebutnya Zo’on windvaan atau gallus (ayam jantan) sebagai hiasan ventilogium (penunjuk arah angin).

Di bagian depan gereja yang menghadap ke barat ini terdapat pintu yang menjorok ke depan sehingga membentuk seperti kanopi dengan atap pelana. Pintunya berbentuk lengkung sederhana. Di kanan kirinya terdapat jendela. Bentuk jendela itu seolah terdiri atas dua jendela dengan lengkung kecil, yang disatukan dengan lengkung besar di atasnya. Jendela seperti ini juga terdapat di sisi kiri (utara) dan kanannya (selatan). Gereja yang memiliki luas 19 x 9 (171 m2) ini bercat cokelat muda dihiasi garis-garis cokelat tua. Bagian depan atapnya bertrap seperti tangga dengan enam undakan (crow-stapped gable). Begitu juga dengan bagian belakang atap. Pada bagian kiri dan kanan sisi depan terdapat pilaster sederhana. Di bagian dasar gereja yang berdiri di atas lahan seluas  44 x 45 m (1980 m2) terdapat profil seperti candi yang bercat cokelat. Profil seperti ini juga terdapat di bagian antara tubuh bangunan dan atap dengan warna yang sama. Di bagian belakangnya, terdapat bangunan yang berukuran lebih kecil daripada bangunan yang memiliki menara namun keduanya masih tersambung. Tidak seperti bagian luar bangunan yang masih memperlihatkan keasliannya, bagian dalam sudah mengalami perubahan. Penambahan keramik pada lantai, pilar dan tangga tidak lagi mengesankan gereja ini sebagai bangunan tua. Unsur kekunoannya memang tidak tampak lagi, kecuali beberapa deret kursi kuno yang terutama berada di balkon. Fungsi awal dan fungsi sekarang bangunan ini tidak mengalami perubahan, yakni dari awal hingga saat ini tetap berfungsi sebagai tempat ibadah umat kristiani.

Tulisan karya : Hot Marangkup Tumpal (Arkeologi 2018)

Editor : Candrika Ilham Wijaya (Arkeologi 2019)

 

Daftar Referensi

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/gpib-bethel-tanjungpinang-cagar-budaya-di-kota-gurindam/

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/wp-content/uploads/sites/28/2018/08/Cagar-Budaya-Kota-Tanjung-Pinang.pdf

Soekiman, Djoko. 1980. Hiasan Kemuncak Bangunan. Berkala Arkeologi. 1(1): 70-79.

Incoming search terms:

[INFOGRAFIS] Jelajah Museum di Rumah dengan Google Arts and Culture

Google Arts and Culture adalah platform online sebagai tempat publik untuk melihat gambar dan video beresolusi tinggi dari karya seni dan artefak-artefak budaya yang berasal dari organisasi budaya mitra di seluruh dunia.

Indonesia sendiri memiliki sembilan tempat edukasi  di Google Arts and Culture yang bisa dilihat seperti sistem VR atau seperti melihat dengan kamera 360 derajat, tapi kita bisa menggerakkan sudut pandangnya. Sembilan tempat itu adalah Museum Nasional Indonesia, Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Ratu Boko, Museum Manusia Purba Sangiran, Arma Museum, Galeri Batik, Museum Seni Rupa dan Keramik Kota Tua, serta Monumen Nasional (Monas).

Cara melihat melalui Google Arts and Culture yaitu

  • Menuju link ini https://artsandculture.google.com/entity/indonesia/m03ryn?categoryId=place
  • Lalu ke bagian ‘’koleksi’’ dan pilih yang Anda suka
  • Atau ketik “Google Arts and Culture” lalu cari Indonesia. Kemudian, pergi ke ‘’tempat’’ dan setelah itu ke ‘’koleksi’’ serta pilih sesuka Anda.
  • read more