[HIMAPEDIA] Selayang Pandang Gereja Tertua di Tanah Gurindam
Bangsa Belanda yang datang ke Nusantara hingga melakukan ekspansi ke berbagai wilayah di Nusantara dapat dikatakan selalu meninggalkan jejak-jejak mereka baik dalam wujud tangible maupun intangible. Wilayah Kepulauan Riau (Riouw Archipel) yang terkenal dengan budaya Melayu juga tidak luput dari ekspansi Belanda. Salah satu tinggalan Belanda yang masih dapat dilihat hingga saat ini adalah Gereja GPIB Bethel Tanjungpinang. Saat kali pertama dibangun pada tahun 1883, gereja ini hanya digunakan untuk peribadatan bagi orang-orang Belanda dan kerabatnya, serta serdadu militer Hindia-Belanda yang memeluk agama Kristen Protestan di Tanjungpinang. Gereja tertua di Kepulauan Riau yang ketika diresmikan disebut “De Nederlandse Hervormde Kerk te Tandjoengpinang” ini sudah berstatus sebagai bangunan cagar budaya yang memiliki nomor Inventaris Cagar Budaya: 15/BCB-TB/C/01/2007. Dalam perkembangannya, gereja ini menjadi Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) setelah ditetapkan dan diakui berdasarkan Staatsblad Indonesia tahun 1948 No. 305 dan Surat Keputusan Wakil Tinggi Kerajaan di Indonesia tertanggal 1 Desember 1948 No. 2.
Berdasarkan catatan yang diterbitkan dengan judul “Berichten omtrent Indie, gedurende een tienjarig verblijf aldaar” (laporan tentang Hindia, selama sepuluh tahun tinggal di sana) diperoleh informasi bahwa bangunan gereja dalam bentuk yang sangat sederhana ini sudah ada sejak 14 Februari 1835. Tulisan tersebut diterbitkan oleh penerbit Ballot di Kota Deventer pada tahun 1846. Pendeta Eberhardt Herman Rottger adalah tokoh penting yang terlibat dalam pembangunan gereja ini. Ia bertugas sebagai misionaris di Riouw (Riau), Tanjungpinang dari tahun 1833 hingga 1842. Menurut sejarawan Provinsi Kepulauan Riau, Aswandi Syahri menyebutkan bahwa pembangunan gereja ini dibantu dalam bentuk material oleh Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau VII, Raja Abdurrahman. Bantuan serupa diberikan juga oleh Kapitan Cina pada masa tersebut. Hal ini mengisyaratkan tentang kerukunan beragama yang terjadi di Tanjungpinang kala itu.
Gereja ini terkenal dengan sebutan Gereja Ayam dimana sebutan ini dipopulerkan oleh masyarakat setempat. Hal ini disebabkan adanya hiasan berbentuk ayam di atas menara yang menyatu dengan atap bagian depan. Gereja yang berjuluk Gereja Ayam ini telah beberapa kali mengalami perubahan. Menara yang berfungsi sebagai tempat lonceng beserta “ayam”-nya itu, kemungkinan dibuat saat renovasi antara tahun 1920 hingga 1930-an. Bentuk ayam yang terbuat dari besi pipih itu berfungsi sebagai penunjuk arah angin. Bentuknya yang pipih membuatnya dapat bergerak 180 derajat mengikuti hembusan angin. Hiasan kemuncak bangunan sakral seperti masjid, gereja, pura, atau candi mempunyai arti tersendiri, baik sebagai simbolik maupun kepercayaan dan keagamaan. Hiasan kemuncak bangunan berupa ayam di gereja ini sendiri sengaja dibuat sebagai pengingat umat akan kisah dalam Alkitab mengenai Simon Petrus yang menyangkal Yesus tiga kali sebelum ayam berkokok dua kali. Diharapkan dengan simbol tersebut umat Kristen selalu kuat dalam iman mereka dan tidak akan goyah dalam kondisi seperti apapun sehingga tidak menyangkal Yesus sebagai Tuhan dan Sang Juru Selamat. Dapat dikatakan bahwa kehadiran bangsa-bangsa Eropa di Indonesia sejak awal abad XVI telah memengaruhi berbagai unsur kebudayaan, salah satu di antaranya dalam hal hiasan kemuncak bangunan. Hiasan kemuncak ini dahulu awalnya banyak dipasang di atap-atap rumah penduduk di Belanda. Akan tetapi, sejak kapan binatang berkaki dua yang berwujud ayam jago ini menjadi hiasan dan bertengger di atas bangunan-bangunan sakral dan profan tidak lagi jelas. Dahulu orang menyebutnya Zo’on windvaan atau gallus (ayam jantan) sebagai hiasan ventilogium (penunjuk arah angin).
Di bagian depan gereja yang menghadap ke barat ini terdapat pintu yang menjorok ke depan sehingga membentuk seperti kanopi dengan atap pelana. Pintunya berbentuk lengkung sederhana. Di kanan kirinya terdapat jendela. Bentuk jendela itu seolah terdiri atas dua jendela dengan lengkung kecil, yang disatukan dengan lengkung besar di atasnya. Jendela seperti ini juga terdapat di sisi kiri (utara) dan kanannya (selatan). Gereja yang memiliki luas 19 x 9 (171 m2) ini bercat cokelat muda dihiasi garis-garis cokelat tua. Bagian depan atapnya bertrap seperti tangga dengan enam undakan (crow-stapped gable). Begitu juga dengan bagian belakang atap. Pada bagian kiri dan kanan sisi depan terdapat pilaster sederhana. Di bagian dasar gereja yang berdiri di atas lahan seluas 44 x 45 m (1980 m2) terdapat profil seperti candi yang bercat cokelat. Profil seperti ini juga terdapat di bagian antara tubuh bangunan dan atap dengan warna yang sama. Di bagian belakangnya, terdapat bangunan yang berukuran lebih kecil daripada bangunan yang memiliki menara namun keduanya masih tersambung. Tidak seperti bagian luar bangunan yang masih memperlihatkan keasliannya, bagian dalam sudah mengalami perubahan. Penambahan keramik pada lantai, pilar dan tangga tidak lagi mengesankan gereja ini sebagai bangunan tua. Unsur kekunoannya memang tidak tampak lagi, kecuali beberapa deret kursi kuno yang terutama berada di balkon. Fungsi awal dan fungsi sekarang bangunan ini tidak mengalami perubahan, yakni dari awal hingga saat ini tetap berfungsi sebagai tempat ibadah umat kristiani.
Tulisan karya : Hot Marangkup Tumpal (Arkeologi 2018)
Editor : Candrika Ilham Wijaya (Arkeologi 2019)
Daftar Referensi
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/gpib-bethel-tanjungpinang-cagar-budaya-di-kota-gurindam/
Soekiman, Djoko. 1980. Hiasan Kemuncak Bangunan. Berkala Arkeologi. 1(1): 70-79.