Revitalisasi Benteng Vastenburg: Menjaga Warisan Kolonial di Jantung Surakarta

Raras Shafiazzahra Wibowo

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Gadjah Mada

 

Revitalisasi Benteng Vastenburg: Menjaga Warisan Kolonial di Jantung Surakarta

Di tengah hiruk-pikuk perkembangan Kota Surakarta yang terus melaju ke arah modernitas, berdiri sebuah bangunan tua yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah kota ini—Benteng Vastenburg. Terletak strategis di pusat kota, benteng ini merupakan salah satu peninggalan penting dari masa kolonial Belanda. Dibangun pada tahun 1745, Benteng Vastenburg tidak hanya menyimpan kisah masa lalu, tetapi juga menyimpan potensi besar sebagai ruang edukasi dan pariwisata budaya yang hingga kini belum dimanfaatkan secara optimal. read more

Tanjung Tiram: Simpul Strategis Perdagangan dan Budaya di Pesisir Timur Sumatra Utara

Oleh: Galih Nugroho

Tanjung Tiram merupakan kawasan pelabuhan tradisional yang memiliki peran penting dalam sejarah maritim di pesisir timur Sumatra Utara, khususnya dalam konteks jalur perdagangan Selat Malaka. Lokasi ini menjadi penghubung antara daerah pedalaman dengan dunia luar melalui pertukaran komoditas. Hal tersebut menjadikan Tanjung Tiram tidak hanya sebagai simpul perdagangan, tetapi juga titik temu budaya dan agama dari berbagai peradaban Asia.

Pesisir timur Sumatra Utara telah lama dikenal sebagai jalur penting dalam jaringan perdagangan maritim Asia Tenggara. Salah satu pelabuhan bersejarah di kawasan ini adalah Tanjung Tiram, yang secara geografis terletak di Kabupaten Batubara. Letaknya yang strategis, diapit oleh muara Sungai Kanan dan Sungai Kiri, menjadikannya lokasi ideal bagi aktivitas perdagangan dan pelayaran sejak masa pra-kolonial hingga modern.  read more

ANALISIS SINKRONIK DAN DIAKRONIK TERHADAP CANDI KOTES DAN CANDI WRINGIN BRANJANG SERTA SITUS SEKITAR CANDI DI KECAMATAN GANDUSARI, KABUPATEN BLITAR

Oleh: Fransiskus Asisi Maria Beniyoga Puntoadhi

 

=&0=&

Candi merupakan bangunan suci atau kuil yang berasal dari agama Hindu-Buddha. Candi biasanya dibangun sebagai tempat ibadah, makam, dan upacara keagamaan. Bangunan candi umumnya memiliki arsitektur yang megah, dengan berbagai ornamen ukiran dan relief.

Bentangan pulau Jawa dan Sumatera menjadi lanskap bagi sebaran ratusan struktur candi di Indonesia yang menjadi bukti peninggalan peradaban Hindu-Buddha di masa lampau. Candi-candi ini menyimpan informasi penting mengenai kepercayaan, seni, arsitektur, dan kehidupan sosial masyarakat pada zamannya. Keagungan dan keunikan arsitekturnya menyebabkan beberapa candi menjadi ikon nasional yang mendunia seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan.

Berdasarkan periodisasi gaya arsitektur, candi-candi di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi dua periode: Candi Klasik Tua dan Candi Klasik Muda. Jawa Timur menjadi pusat perkembangan Candi Klasik Muda. Salah satu kompleks Candi Klasik Muda terbesar ialah Candi Panataran yang terletak di Kabupaten Blitar. Selain Candi Panataran, candi tinggalan masa klasik muda adalah candi di Kecamatan Gandusari.

Kecamatan Gandusari merupakan salah satu wilayah kecamatan di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Kecamatan ini mempunyai dua candi; Candi Kotes dan Candi Wringin Branjang, serta lima situs; Situs Sukosewu, Situs Gadungan, Situs Candi Rambut Monte, Cungkup, dan Cungkup Kami.  Pembahasan dalam tulisan ini akan terbatas pada kajian sinkronik dan diakronik Candi Kotes dan Candi Wringin Branjang serta Situs Sukosewu dan Situs Gadungan.

Dalam konteks ini, analisis sinkronik terhadap candi dan situs di Kecamatan Gandusari berfokus pada struktur dan fungsi candi dan situs tersebut dalam konteks waktu, sedangkan analisis diakronik akan berfokus pada perkembangan serta perubahan candi dan situs dari masa ke masa.

Metode yang digunakan penulis dalam pengumpulan data dan menyusun tulisan ini  ialah observasi dan studi pustaka.

Observasi dilakukan pada tanggal 1 April 2025 pukul 08.00 sampai dengan 16.00 WIB.  Penulis menggunakan ponsel sebagai media dokumentasi  dan untuk memastikan keakuratan data dalam proses observasi.

Studi pustaka dilakukan sebagai sumber tambahan dan penguat dari hasil data yang telah dikumpulkan.

=&1=&

Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, didapatkan hasil sebagai berikut:

=&2=&

Gambar 1: Candi Kotes pada tahun 1911.
Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

 

Candi Kotes atau Candi Papoh merupakan salah satu candi klasik muda di Kabupaten Blitar, yakni berada di Desa Sukosewu, Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Berdasarkan wujud arsitektur yang masih bertahan hingga kini, maka bangunan suci Hindu-Buddha di wilayah Jawa Timur yang berkembang antara abad ke-13—16 M dapat dibagi ke dalam 5 gaya, yaitu: (1) Gaya Singhasari, (2) Gaya Candi Brahu, (3) Gaya Candi Jago, (4) “Candi Batur”, dan (5) Punden berundak. (Munandar: 2010)

Mengacu pada tulisan tersebut, maka gaya arsitektur candi ini menggunakan gaya arsitektur candi batur.

Gaya arsitektur “Candi Batur” memiliki ciri khas berupa bangunan candi yang hanya terdiri dari satu teras, menyerupai siti inggil atau batur. Saat ini, yang sering tersisa hanyalah struktur teras tersebut dengan tangga di salah satu sisinya. Denahnya bisa berbentuk bujur sangkar atau persegi panjang. Pada permukaan teras ini biasanya terdapat objek-objek sakral, seperti lingga-yoni, altar persembahan, pedupaan berbentuk candi kecil, atau arca perwujudan tokoh yang telah meninggal (Munandar: 2010).

Bisa dilihat dari gambar 1 dan gambar 2, Candi Kotes hanya terdiri dari satu teras saja sehingga Candi Kotes termasuk salah satu candi yang menggunakan gaya arsitektur “Candi Batur”.

Candi ini terdiri dari dua struktur di mana kedua struktur  ini memiliki angka tahun yang berbeda. Inskripsi pada tangga candi pertama mencatat tahun 1223 Saka (1301 Masehi), sementara inskripsi pada tangga candi kedua menunjukkan tahun 1222 Saka (1300 Masehi). Fakta ini mengungkapkan bahwa struktur candi kedua lebih tua satu tahun dibandingkan struktur pertama.

Dalam tata letak Candi Klasik Muda, halaman belakang dianggap sebagai area paling suci. Dengan demikian, struktur candi kedua yang lebih tua kemungkinan besar merupakan candi induk, meskipun posisinya berada di halaman belakang. Inskripsi tahun tersebut juga mengindikasikan bahwa Candi Kotes dibangun pada masa Kerajaan Majapahit.

Gambar 2: Candi Kotes. (Diambil 1 April 2025).
Sumber: Dokumentasi Pribadi.

Secara sinkronik, Candi Kotes pada masa klasik digunakan sebagai tempat ibadah. Hal ini dibuktikan dengan adanya altar pemujaan di candi tersebut. Dilihat pada gambar 1, terdapat arca ganesha di candi ini sehingga dapat dipastikan bahwa masyarakat yang dahulu memuja dewa ganesha ketika candi ini masih digunakan. Dari temuan arca ganesha tersebut, dapat dipastikan bahwa candi ini merupakan candi hindu.

Secara diakronik, Candi Kotes telah mengalami perubahan makna dari masa ke masa. Di masa klasik, candi ini digunakan dan difungsikan sebagai tempat ibadah. Hal ini bisa dilihat pada gambar 1 di mana terdapat arca ganesha di candi tersebut. Pada masa sekarang, Candi Kotes difungsikan sebagai sarana rekreasi dan edukasi, Hal ini bisa dilihat pada gambar 2 di mana pada sisi belakang dari gambar dapat terlihat bentuk Candi Kotes yang telah berubah serta terdapat penunjuk besi di halaman depan.

=&3=&

 

Gambar 3: Situs Sukosewu (Diambil 1 April 2025).
Sumber: Dokumentasi Pribadi.

Situs Sukosewu merupakan situs yang tidak jauh dari Candi Kotes, sekitar 350 m jaraknya. Situs ini hanya terdiri dari altar, miniatur, dan kemuncak candi. Tidak ditemukan inskripsi di dekat situs ini sehingga tidak diketahui kapan situs ini mulai dibangun.

Dilihat pada gambar 3, bentuk situs ini tidak jauh berbeda dari Candi Kotes, yang membedakannya ialah bahwa situs ini hanya terdiri dari altar, miniatur, dan kemuncak candi sehingga tidak dapat dipastikan apakah situs ini sebenarnya sama seperti Candi Kotes  atau tidak. Namun, jika melihat bentuk dari miniatur candi ini, dapat dipastikan bahwa kemungkinan besar situs ini merupakan situs yang sama dengan Candi Kotes.

Gambar 4 : Daerah sekitar Situs Sukosewu (Diambil 1 April 2025)
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Secara sinkronik, Situs Sukosewu pada masa klasik berfungsi sebagai tempat ibadah. Bukti keberadaan altar pemujaan menguatkan dugaan ini, didukung pula oleh kemiripan situs dengan Candi Kotes.

Secara diakronik, fungsi Situs Sukosewu mengalami transformasi. Jika dulunya merupakan ruang sakral untuk peribadatan, kini situs ini lebih difungsikan sebagai sarana rekreasi dan tempat istirahat. Lokasinya yang berdekatan dengan persawahan menjadikannya area yang menarik bagi masyarakat untuk bersantai.

=&4=&

 

Gambar 5: Candi Wringin Branjang (Diambil 1 April 2025).
Sumber: Dokumentasi Pribadi.

Candi Wringin Branjang merupakan candi yang terletak di Desa Gadungan, Kec. Gandusari, Kabupaten Blitar. Candi ini berada di kaki Gunung Kelud dan menghadap ke arah selatan. Candi ini berbentuk seperti rumah dan terdapat ventilasi berbentuk bintang sejumlah dua buah di masing-masing tembok candi. Area dalam candi ini kosong sehingga belum diketahui fungsi dari candi ini. Namun, ada kemungkinan bahwa candi ini digunakan sebagai tempat penyimpanan barang-barang upacara.

Secara sinkronik, Candi Wringin Branjang pada masa klasik digunakan sebagai tempat penyimpanan alat ibadah. Hal ini dibuktikan dengan bentuk candi ini yang seperti rumah sehingga menimbulkan intrepetasi bahwa candi ini digunakan sebagai tempat penyimpanan alat ibadah.

Gambar 6: Lokasi Candi Wringin Branjang terhadap Gunung Kelud.
Sumber: Gmaps (Diakses 3 April 2025).

Secara diakronik, Candi Wringin Branjang telah mengalami perubahan makna dari masa ke masa. Di masa klasik, candi ini kemungkinan digunakan dan difungsikan sebagai tempat penyimpanan alat ibadah. Hal ini bisa dilihat pada gambar 5 di mana bentuk candi ini yang seperti rumah.  Pada masa sekarang, Candi Wringin Branjang difungsikan sebagai tempat rekreasi dan edukasi, Hal ini bisa dilihat pada gambar 6, di mana lokasi candi berada di salah satu jalur pendakian Gunung Kelud. Namun, candi ini juga difungsikan sebagai tempat doa dikarenakan saat penulis berkunjung, di dalam candi terdapat dupa dan sesajen.

=&5=&

Gambar 7: Dokumentasi di Situs Gadungan (Di ambil 1 April 2025)
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Situs Gadungan ialah situs yang berada 300m dari Candi Wringin Branjang. Situs ini berada di Desa Sukomulyo, Gadungan, Kec. Gandusari, Kabupaten Blitar. Seperti yang terlihat pada gambar, situs ini terdiri dari bagian-bagian candi yang tidak tersusun seperti kemuncak candi dan batu-batu penyusun candi.

Saat mengunjungi Situs Gadungan, ditemukan yoni dan reruntuhan mirip altar. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa situs ini kemungkinan merupakan satu kesatuan dengan Candi Wringin Branjang dan berpotensi menjadi candi induk dari kompleks tersebut.

Keberadaan yoni di situs ini mengindikasikan kuat bahwa Situs Gadungan kemungkinan besar merupakan situs candi bercorak Hindu, mengingat yoni merupakan simbol penting dalam pemujaan Dewa Siwa.

Secara sinkronik, Situs Gadungan pada masa klasik diinterpretasikan sebagai tempat ibadah dan penyembahan terhadap Siwa, terbukti dari temuan yoni dan kemuncak candi.

Gambar 8: Salah satu isi dari gubuk di Situs Gadungan.
Sumber: Dokumentasi Pribadi.

Secara diakronik, fungsi Situs Gadungan telah mengalami perubahan. Pada masa klasik, situs ini kemungkinan besar berfungsi sebagai tempat ibadah. Namun, pada masa kini, Situs Gadungan memiliki fungsi sebagai tempat rekreasi dan edukasi. Hal ini dapat dilihat pada gambar 7 di mana lokasinya yang berada di jalur pendakian Gunung Kelud (via Gunung Gedang). Selain itu, situs ini juga masih difungsikan sebagai tempat berdoa, dapat diliihat pada gambar 8 di mana terlihat adanya dupa dan sesajen di Situs Gadungan.

=&6=&

Secara garis besar, candi dan situs di Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar saling terikat dan memiliki hubungan satu dengan yang lain. Meski begitu, candi dan situs ini telah mengalami perubahan berdasarkan tinjauan sinkronik dan diakronik. Secara sinkronik, ada beberapa bagian candi dan situs yang dapat direstorasi.

Secara diakronik, candi dan situs di Kecamatan Gandusari telah mengalami perubahan makna di mana pada masa saat candi dan situs tersebut berdiri dan digunakan, situs dan candi ini berfungsi sebagai tempat ibadah dan pemujaan. Pada masa sekarang, candi dan situs ini digunakan sebagai tempat rekreasi dan edukasi. Meski begitu, temuan sajen dan dupa di Candi Wringin Branjang dan Situs Gadungan dapat memberikan interpretasi bahwa masih ada pemujaan kepada leluhur di Candi Wringin Branjang dan Situs Gadungan.

 

=&7=&

Munandar, A. A. (n.d.). Gaya Arsitektur Candi di Jawa Abad ke-8 — 15 M. MAJALAH ARKEOLOGI INDONESIA. https://hurahura.wordpress.com/2010/04/19/gaya-arsitektur-candi-di-jawa-abad-ke-8-15-m/. Diakses 2 April 2025.

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI. (2022, December 27). Candi Kotes. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpkw11/candi-kotes/. Diakses 2 April 2025

Hardyta, Galy. Candi Kotes Blitar, Peninggalan dari Periode Awal Kerajaan Majapahit. travellersblitar.com. https://travellersblitar.com/candi-kotes/ . diakses pada 3 April 2025

ANALISIS SINKRONIK DAN DIAKRONIK PADA PENINGGALAN MASA KOLONIAL DI KAWASAN KOTA TUA, JAKARTA: STADHUIS van BATAVIA dan de JAVASCHE BANK

Oleh: Anastasia Desy Putri Cahyani 

 

Gambar 1. Kawasan Kota Tua Tahun 1629
Sumber: oldmapsonline.org
Gambar 2. Kawasan Kota Tua Tahun 2025
Sumber : google.com/maps/.

Kota Tua Jakarta merupakan kawasan wisata di daerah Jakarta Barat yang menjadi cikal bakal kota Jakarta. Zona inti Kota Tua menjadi zona yang mengandung nilai sejarah tinggi karena area ini merupakan

pusat aktivitas ekonomi dan sosial-politik pada masa kolonial. Seiring dengan upaya revitalisasi zona inti, Kota Tua mengalami perubahan fisik pada lanskapnya. Walaupun mengandung nilai sejarah yang tinggi, zona inti Kota Tua ini belum masuk ke dalam daftar Cagar Budaya sesuai UU No.11 tahun 2010. Bangunan-bangunan pada kawasan ini dialihfungsikan menjadi museum: Gedung read more

Digitalisasi Budaya dan Kekuatan Transformatif Fandom

Oleh: Haybah Shabira
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada

 

Dalam era modern saat ini, pop culture telah menjadi fenomena yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, terutama generasi muda. Salah satu aspek menarik dari budaya populer adalah munculnya “fandom” – sebuah komunitas yang terbentuk dari kumpulan penggemar dengan minat yang sama. Namun, fandom bukan sekadar kelompok konsumen pasif, melainkan sebuah ekosistem dinamis yang memiliki potensi luar biasa dalam melestarikan dan mempromosikan warisan budaya.

Kultur fandom jauh lebih kompleks daripada sekadar hubungan transaksional antara produsen dan konsumen. Inti dari fenomena ini adalah sense of belonging – rasa memiliki dan keterlibatan yang mendalam. Para penggemar tidak sekedar mengonsumsi produk, mereka juga mengembangkan koneksi emosional yang kuat dengan objek kegemarannya, serta individu lain yang tergabung dalam fandom yang sama. Hal ini mendorong mereka untuk berkontribusi secara aktif, baik melalui pembelian merchandise, penciptaan karya fiksi, pengorganisasian event, hingga upaya pelestarian yang lebih substantif di dunia nyata.

Salah satu contoh spektakuler dari potensi fandom adalah kasus game Touken Ranbu di Jepang. Touken Ranbu adalah sebuah online game yang mempersonifikasikan pedang tradisional Jepang atau katana, dengan karakteristik yang unik berdasarkan tampilan dan sejarah dari pedang-pedang tersebut. Premis dari game ini adalah pemain berperan sebagai saniwa, individu yang mampu untuk mengubah pedang-pedang tersebut menjadi sosok manusia, yang kemudian dipanggil touken danshi (lit. pria pedang; pedang yang telah menjadi pria) Sebagai saniwa, pemain diberikan tugas untuk memilih pedang yang akan melawan gerombolan prajurit yang ingin merombak sejarah Jepang. Skenario sejarah yang dimainkan pada game ini merupakan momen-momen krusial di mana tokoh pemilik para Touken Danshi terlibat. 

=&0=&

Game ini tidak sekadar menjadi hiburan, tetapi juga menciptakan gerakan sosial yang luar biasa dalam pelestarian warisan budaya. Melalui personifikasi pedang-pedang bersejarah menjadi karakter game, Touken Ranbu berhasil menggiatkan kembali subkultur reki-jo – wanita penggemar sejarah, khususnya sejarah periode pre-industrial di Jepang. Melalui Touken Ranbu, subkultur reki-jo sendiri terdorong untuk terlibat aktif dalam upaya konservasi objek historis dalam sejarah Jepang, termasuk melakukan kunjungan ziarah ke kuil-kuil yang menyimpan relik sejarah, khususnya pedang yang karakternya terkandung dalam game Touken Ranbu. Para reki-jo juga ikut melakukan fundraising untuk melakukan konservasi katana yang mengalami kerusakan.

Contoh konkret dari kontribusi penggemar pada pelestarian warisan budaya adalah fenomena penggalangan dana untuk menyelamatkan pedang bersejarah Shokudaikiri Mitsusada. Pedang tersebut telah melalui banyak pemilik, dari Toyotomi Hideyoshi, Date Masamune, hingga pada akhirnya dipindahtangankan kepada cabang Mito dari keluarga Tokugawa. Shokudaikiri Mitsusada diperkirakan hilang dikarenakan dampak Gempa Besar Kanto pada tahun 1923. Namun, klaim itu dipatahkan setelah para penggemar mencari tahu kondisi pedang tersebut, dan menemukan bahwa pedang itu sebenarnya sedang disimpan oleh Tokugawa Museum dalam kondisi rusak parah setelah terkena dampak kebakaran pada tahun gempa terjadi. Awalnya, pedang Shokudaikiri Mitsusada bukan merupakan koleksi permanen dari museum tersebut, tetapi setelah pengumpulan dana yang dilakukan oleh para penggemar game Touken Ranbu, pedang tersebut berhasil diperoleh oleh Tokugawa Museum, dan menjadi bagian dari objek yang ditampilkan secara permanen di museum tersebut.

Tak hanya Shokudaikiri Mitsutada, pedang Hotarumaru yang disita oleh Blok Sekutu setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, juga ikut memikat perhatian dari para penggemar. Pada tahun 2015, para penggemar membuka penggalangan dana untuk merekonstruksi pedang tersebut, dana yang dibutuhkan sebesar 5.5 juta yen. Pada akhir penggalangan dana, tujuan tersebut tercapai dengan hasil akhir sebesar 45 juta yen, 200% lebih tinggi dari tujuan awal. Pada tahun 2016, pembuatan replika dari pedang Hotarumaru dimulai dengan melakukan rekonstruksi berdasarkan catatan sejarah yang ada. Proses finalisasi dari Hotarumaru ditonton oleh ratusan pengunjung, dan ikut disiarkan di stasiun TV atas permintaan yang membludak. Replika Hotarumaru akhirnya diperkenalkan kepada publik pada tahun 2017 di Kuil Aso.

Dedikasi para penggemar Touken Ranbu tidak berakhir sampai disitu. Fenomena lain yang menggemparkan dunia koleksi pedang di Jepang juga terjadi berkat antusiasme fans Touken Ranbu. Sejak tahun 2018, pemerintah kota Setouchi berusaha untuk mengumpulkan dana demi mengembalikan pedang Sanchoumou ke kota asalnya, namun usaha tersebut kerap berakhir dengan kegagalan. Nitroplus, developer dari game Touken Ranbu, mendapatkan kabar mengenai usaha tersebut, dan merespon dengan merilis karakter Sanchoumou pada periode penggalangan dana di tahun 2019. Karakter ini kemudian meraih popularitas di antara para penggemar, dan penggalangan dana tersebut mendapatkan dana sebesar 699 juta yen (4.7 juta dollar Amerika Serikat), sedangkan Sanchoumou sendiri dihargai pada angka 500 juta yen (3.3 juta dollar Amerika Serikat). Dengan dana tersebut, Pemerintah Kota Setouchi akhirnya berhasil membawa kembali pedang Sanchoumou ke kota asalnya, di mana kini pedang itu dipamerkan di Bizen Osafune Sword Museum. Dari fenomena tersebut, bisa dikatakan bahwa fandom Touken Ranbu menjadi salah satu kontributor terbesar dalam pengembalian pedang Sanchoumou.

Dampak Touken Ranbu terhadap pelestarian warisan budaya Jepang melampaui sekadar penyelamatan pedang tradisional. Sejak dirilis pada 2015, game ini memicu fenomena sosial yang menakjubkan, yaitu lonjakan signifikan pengunjung ke kuil-kuil tradisional, terutama lokasi yang menyimpan pedang bersejarah. Kuil-kuil seperti Aso dan Ishikiri-Tsurugiya, yang sebelumnya mungkin kurang dikenal generasi muda, kini menjadi tujuan wisata yang diminati.

Lonjakan pengunjung begitu masif, sehingga beberapa kuil-kuil di Jepang mulai mengembangkan strategi pemasaran inovatif. Mereka mengorganisir acara-acara khusus yang memamerkan pedang-pedang tradisional dari koleksi museum lokal dan koleksi pribadi kuil. Dengan demikian, Touken Ranbu tidak hanya sekadar game, tetapi telah menjadi katalisator untuk menghidupkan kembali minat generasi muda terhadap warisan budaya Jepang.

Antusiasme penggemar begitu tinggi sehingga mereka menciptakan istilah khusus – “Sword Pilgrimage” – untuk menggambarkan perjalanan ziarah ke lokasi-lokasi bersejarah yang disebutkan dalam game Touken Ranbu, termasuk tempat-tempat yang kini menyimpan pedang-pedang tradisional yang diinkorporasikan dalam game Touken Ranbu. Merespons fenomena ini, Nitroplus merilis buku panduan khusus untuk para penggemar. Buku tersebut tidak sekadar panduan rekomendasi perjalanan, melainkan sumber pengetahuan sejarah yang komprehensif, berisi informasi mendalam tentang tempat bersejarah, riwayat pedang, dan pemiliknya sepanjang sejarah.

Melalui contoh-contoh tersebut, dapat dikatakan bahwa fandom bisa menjadi salah satu pemicu gerakan revitalisasi minat sejarah, khususnya untuk golongan muda. Dari kasus yang terjadi di Jepang, negara-negara lain dapat belajar untuk menerapkan metode serupa dalam memasarkan warisan budaya agar lebih menarik. Tidak hanya sebagai hiburan, melainkan juga sarana pembelajaran yang bisa mendorong langkah-langkah konkret, dipelopori oleh individu yang tergabung dalam fandom itu sendiri.

=&1=&

Gerakan antropomorfisme objek-objek bersejarah di Nusantara, yang sebagian besar diprakarsai oleh ilustrator di media sosial, telah menjadi fenomena menarik dalam upaya promosi warisan budaya. Pada tahun 2024, tagar #GijinkaStasiunID dimana para seniman di media sosial “menghidupkan” stasiun-stasiun kereta api melalui representasi visual yang menarik, berhasil menarik perhatian publik. Potensi luar biasa dari para seniman ini, ditambah dengan antusiasme massa terhadap karya mereka, seharusnya dapat dimanfaatkan secara strategis oleh pemerintah dan institusi warisan budaya untuk meningkatkan minat generasi muda terhadap warisan budaya Indonesia. Dengan mengadopsi pendekatan inovatif, seperti menjadikan karakter-karakter stasiun hasil gijinka (antropoformisme) tersebut sebagai maskot resmi, lembaga terkait dapat menciptakan koneksi emosional yang lebih kuat antara generasi muda dan warisan sejarah, sambil mengubah persepsi tentang benda bersejarah menjadi sesuatu yang lebih dekat, menarik, dan relevan dalam konteks budaya kontemporer.

Belajar dari fenomena yang lahir dari Touken Ranbu, terdapat tiga strategi fundamental yang bisa digunakan untuk mengaktualisasikan potensi fandom untuk promosi warisan budaya. Pertama, pemahaman mendalam terhadap demografi target dibutuhkan untuk menciptakan narasi dan visual yang memikat target demografi, dan menciptakan kedekatan emosional. Misalnya dalam kasus Touken Ranbu, developer berhasil merancang konsep yang mempertimbangkan preferensi demografis perempuan muda, dengan mentransformasikan objek sejarah (pedang) menjadi karakter manusia yang memiliki daya tarik visual dan narasi yang kompleks.

Dukungan berkelanjutan dari produsen menjadi pilar kedua dalam memelihara kegemaran fandom pada isu tertentu. Dalam strategi ini, merchandise tidak sekadar produk komersial, melainkan media storytelling tambahan yang memperluas pengalaman penggemar. Adaptasi melalui anime, drama, atau komik memungkinkan ekspansi narasi di berbagai platform, sementara kepekaan terhadap isu industri membangun kredibilitas dan koneksi dengan komunitas sejarah atau budaya terkait.

Pembaruan berkelanjutan merupakan faktor krusial ketiga dalam mempertahankan antusiasme fandom. Ini bukan sekadar menambahkan fitur baru, melainkan menciptakan dinamika konten yang terus berkembang sesuai dengan harapan dan partisipasi basis penggemar. Pendekatan ini melibatkan siklus pembaruan konten berkala, penelitian mendalam untuk menjamin keakuratan historis, dan menciptakan mekanisme di mana penggemar dapat berkontribusi dalam pengembangan narasi. Dengan demikian, media tidak statis, tetapi terus berevolusi, mempertahankan relevansi dan antusiasme komunitas penggemar.

Berdasarkan analisis mendalam tentang peran fandom dalam pelestarian warisan budaya, terutama melalui studi kasus game Touken Ranbu di Jepang, dapat disimpulkan bahwa fandom memiliki potensi transformatif yang signifikan dalam menghidupkan kembali minat generasi muda terhadap warisan sejarah. Melalui pendekatan inovatif yang menggabungkan teknologi, narasi kreatif, dan keterlibatan emosional, fandom tidak lagi sekadar komunitas konsumen pasif, melainkan berpotensi menjadi agen aktif pelestarian dan promosi warisan budaya. Strategi fundamental yang meliputi pemahaman demografis, dukungan berkelanjutan dari produsen, dan pembaruan konten yang dinamis telah terbukti efektif dalam menciptakan ekosistem partisipatif yang mendorong generasi muda untuk tidak sekadar mengenal, tetapi juga terlibat secara langsung dalam upaya pelestarian dan apresiasi terhadap warisan budaya, mengubah cara pandang tradisional dalam mempromosikan warisan budaya melalui pendekatan yang lebih kontekstual, menarik, dan relevan dalam konteks budaya kontemporer.

=&2=&

Flameshadowwolf. (2021, Februari 17). [Anime/Gaming] Touken Ranbu: The Little Fandom With Deep Pockets [Reddit Post]. r/HobbyDrama. www.reddit.com/r/HobbyDrama/comments/llzzjt/animegaming_touken_ranbu_the_little_fandom_with/

Iwaguchi, T. (2018, Mei 7). “Touken Joshi”: Girls Are Infatuated With Japanese Swords, and It’s Good | JAPAN Forward. https://japan-forward.com/touken-joshi-girls-are-infatuated-with-japanese-swords-and-its-good/

L, A. (2021, April 1). Japanese Swords as Symbols of Historical Amnesia: Touken Ranbu and the Sword Boom in Popular Media. The Asia-Pacific Journal: Japan Focus. https://apjjf.org/2021/7/watabe

Legendary sword ‘Sanchomo’ goes on show at the Setouchi museum | The Asahi Shimbun: Breaking News, Japan News and Analysis. (t.t.). The Asahi Shimbun. Diambil 27 November 2024, dari https://www.asahi.com/ajw/articles/15073800

nijimen. (2016, Agustus 30). クラウドファンディング 蛍丸復元プロジェクトより奉納焼き入れの様子が公開!蛍丸に新たな魂が宿る!—女性向けアニメ情報サイトにじめん. にじめん. https://nijimen.kusuguru.co.jp/topics/723

Obst, P., Zinkiewicz, L., & Smith, S. G. (2002). Sense of community in science fiction fandom, Part 1: Understanding sense of community in an international community of interest. Journal of Community Psychology, 30(1), 87–103. https://doi.org/10.1002/jcop.1052

Rust, E. (2022). Inhabiting the exhibition site through dōjinshi: The role of fan works in place-making. Keio SFC journal, 22(1), 74–97.

Tōken Ranbu Sword Hotarumaru Reconstruction Finished. (2024, Desember 3). Anime News Network.

https://www.animenewsnetwork.com/interest/2016-09-05/token-ranbu-sword-hotarumaru-reconstruction-finished/.105983 read more