MENJELAJAHI JEJAK KUNO DAN MODERN : EKSPLORASI KEBERAGAMAN ARSITEKTUR MAGELANG

Oleh : Cindy Anggita Azzahra

 

 https://adminweb.magelangkota.go.id/uploads/15162359660_1_16c28f2c7b.jpg
Sumber gambar : https://adminweb.magelangkota.go.id/uploads/15162359660_1_16c28f2c7b.jpg

Magelang merupakan sebuah kota yang sudah berumur lebih dari 10 abad, menjadikannya salah satu kota tertua di Indonesia. Magelang terletak di provinsi Jawa Tengah yang dikelilingi oleh sungai dan bukit pegunungan. Daerah Magelang dibentuk sejak masa klasik, tepatnya pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Berdasarkan prasasti, Magelang dulunya dinamakan Desa Mantyasih yang saat ini desa tersebut dikenal dengan Desa Meteseh di Magelang. Bukti yang menyatakan adanya desa tersebut bisa ditemukan pada Prasasti Poh, Prasasti Gilikan dan Prasasti Mantyasih. Prasasti Mantyasih tersebut ditulis di atas lempengan tembaga. Dalam isi prasasti tersebut disebutkan adanya tulisan mengenai Desa Mantyasih yang saat ini dinamakan Desa Meteseh dan Desa Glangglang yang sekarang diubah menjadi Magelang. Pada isi Prasasti Mantyasih juga menyebutkan angka 829 Çaka bulan Çaitra tanggal 11 yang artinya 11 April 907 M, sehingga pada tanggal 11 April dijadikan hari lahirnya Magelang.

 

https://pin.it/6KWaYgUJJ
Sumber gambar : https://pin.it/6KWaYgUJJ

 

Magelang merupakan daerah yang subur dan strategis karena dikelilingi oleh Sungai Progo di sebelah barat dan Sungai Elo di sebelah timur. Oleh karena itu, banyak pendatang yang menduduki daerah Magelang. Pada masa Kerajaan Mataram Kuno, Magelang menjadi salah satu kawasan yang dikuasai oleh kerajaan tersebut dan dijadikan desa perdikan atau desa bebas pajak. Hal tersebut dapat diketahui melalui artefak yang ditemukan, seperti Prasasti Mantyasih dan sebuah lumpang batu yang dianggap sebagai tempat upacara penetapan sima atau tanah bebas pajak. Pada masa klasik, banyak peninggalan yang ada di Magelang, seperti Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Ngawen, dan lain sebagainya. Candi-candi tersebut merupakan bangunan tempat peribadatan umat Hindu-Buddha karena pada masa itu mayoritas masyarakat di Magelang beragama Hindu-Buddha. Arsitektur pada candi memiliki ciri khas tersendiri. Candi yang ada di Magelang, sebagian besar dibangun menggunakan metode yang sama seperti candi-candi di Jawa Tengah, yaitu dengan sistem interlocking dan dibangun menggunakan bahan batu andesit. Selain itu, juga ada candi yang terbuat dari batu bata, contohnya yang dapat kita temui adalah candi yang terdapat di Situs Samberan, Tempuran karena situs tersebut masih berada di dalam Kawasan Cagar Budaya Borobudur. Adapun temuan pondasi rumah masyarakat pada masa Hindu-buddha yang dikenal dengan sebutan umpak.

Selain bangunan candi, masyarakat lokal mempunyai bangunan sendiri untuk tempat tinggal yang terbuat dari kayu jati dan bangunan tersebut hanya bisa ditemukan di Jawa yang sekarang disebut sebagai rumah joglo. Rumah joglo ini memiliki konsep yang terinspirasi dari bangunan masa Hindu-Buddha. Bangunan tersebut pertama kali dibangun pada masa kerajaan Islam di Jawa pada abad ke-17 M Rumah joglo memiliki keunikan tersendiri karena selain memiliki gaya arsitektur Jawa, bangunan ini juga memiliki filosofi tersendiri pada setiap bagian di ruangan. Pada umumnya, rumah joglo merupakan tempat tinggal raja atau bangsawan dan bisa ditemukan di sekitaran wilayah keraton. Di Magelang, juga terdapat rumah joglo yang sudah berdiri sejak tahun 1908 M di Kecamatan Mungkid. Bangunan tersebut dulunya pernah dijadikan sebagai kantor kelurahan. Sampai sekarang bangunan tersebut masih terlihat utuh dan dijadikan tempat sewa penginapan karena letak rumah joglo ini persis di samping Candi Mendut. Meskipun sekarang bangunan tersebut dijadikan guest house, bangunan tersebut masih dipertahankan keasliannya oleh pemilik bangunan itu sendiri, sehingga bangunan tersebut masih memiliki nilai-nilai sejarahnya.

Pada masa pengaruh Islam masuk ke Jawa, terutama di Magelang, masyarakat pada masa itu juga mendirikan tempat peribadatan yang dikenal sebagai masjid. Di Desa Gunungpring, Muntilan, terdapat Masjid Agung Kiai Krapyak I. Masjid ini memiliki struktur bangunan yang mirip dengan Masjid Pathok Negara milik Keraton Yogyakarta yang memiliki gaya arsitektur masjid tradisional Jawa. Pendiri masjid ini adalah Kiai Krapyak I, putra Kiai Raden Santri atau Pangeran Singosari yang merupakan seorang ulama penyebar agama Islam di Magelang. Bukti yang dapat kita lihat adalah makam yang terletak di belakang masjid tersebut yang bertuliskan Kyai Krapyak I dan selain tulisan juga terdapat logo Keraton Yogyakarta. Masjid tersebut dibangun pada tahun 1618 M. Hal tersebut membuktikan bahwa pada abad ke-17 pengaruh Islam sudah sampai ke daerah Magelang. Bangunan pada masjid Agung Kiai Krapyak I ini masih terjaga keasliannya dan dulu pada abad ke 19 sampai 20 M masjid tersebut pernah dipugar dan direhabilitasi. 

Pada masa kolonial Inggris, Kota Magelang dijadikan sebagai pusat pemerintahan yang setingkat kabupaten pada abad ke 18 M. Kota Magelang ini kemudian dibangun alun-alun, tempat tinggal bupati, dan masjid oleh bupati pertama yang bernama Mas Ngabehi Danukromo. Pada masa Kolonial Belanda, Magelang dijadikan pusat lalu lintas perekonomian dikarenakan letaknya yang strategis dan bisa menjadi penghubung antara Yogyakarta-Semarang. Pada masa pemerintahan Belanda, Magelang juga dijadikan sebagai kota militer, sehingga dibangun sarana dan prasarana di daerah perkotaan. Dikarenakan daerah Magelang dijadikan sebagai pusat ekonomi, banyak bangsa Belanda yang menetap di Magelang dan membuat bangunan yang berarsitektur Indis seperti water torn atau menara air yang terletak di Alun-alun Kota Magelang, sekolah MULO yang saat ini menjadi SMPN 1 Magelang, Rumah Sakit Umum Tidar, dan lain sebagainya. Arsitektur Indis merupakan perpaduan gaya arsitektur Eropa dan gaya arsitektur Jawa. Diciptakannya Arsitektur Indis ini bertujuan agar bangunan Eropa yang mewah tetap bisa beradaptasi dengan iklim di Indonesia, sehingga konsep arsitektur Eropa dipadukan dengan gaya arsitektur lokal. Oleh karena itu, arsitektur Indis tersebut menjadi bentuk akulturasi bangsa Eropa dan masyarakat lokal dalam bidang arsitektur.

 

https://pin.it/3OANIvQky
Sumber gambar: https://pin.it/3OANIvQky

Di daerah Muntilan, banyak masyarakat Tionghoa yang menetap. Sejarah ini bermula pada masa pemerintahan Belanda. Belanda menerapkan tata kota hunian sesuai tiga ras, yaitu golongan Eropa, Asia Timur (Arab dan Tionghoa), dan Pribumi. Pada saat tahun 1740-an, di Batavia terjadi geger pecinan, sehingga ada beberapa rombongan yang pindah ke Purworejo. Kemudian pada tahun 1825-1830 saat perang Diponegoro, rombongan tersebut berpindah ke Magelang. Kemudian, keturunan Tionghoa tersebut mendapatkan daerah di bagian selatan alun-alun, tempat yang strategis karena dekat dengan pasar dan markas militer. Kawasan tersebut terkenal dengan sebutan Pecinan. Di daerah pecinan tersebut, bangunan yang didirikan masih mempunyai ciri khas seperti arsitektur pada tahun 1900-an dan masih kental dengan arsitektur Tionghoa-nya. Meskipun sekarang sudah ada yang berganti menjadi rumah modern, tetapi di dalam daerah tersebut masih ada yang mempertahankan rumahnya sejak ratusan tahun yang lalu. Di Kota Magelang terdapat kelenteng yang sangat terkenal di kalangan masyarakat umum. Kelenteng tersebut dinamakan Klenteng Liong Hok Bio yang didirikan pada tahun 1864. Sekarang kelenteng Liong Hok Bio masih dijadikan tempat ibadah oleh masyarakat dan dijadikan salah satu ikon Kota Magelang.

Keberagaman arsitektur di Magelang merupakan bukti kekayaan akan keberagaman dan menjadikan Magelang sebagai daerah yang memiliki tingkat rasa toleransi yang tinggi di Indonesia. Hal tersebut merupakan salah satu faktor Magelang menjadi daerah wisata yang wajib dikunjungi karena terdapat banyak bangunan yang memiliki arsitektur beragam dan unik. Selain itu, arsitektur yang sudah ada sejak masa klasik sampai masa kolonial, daerah Magelang disebut sebagai kota heritage atau kota bersejarah yang menjadi saksi bisu perkembangan kota Magelang menjadi kota modern. 

 

Referensi 

Priyatmoko, H., Sampurno, S. A., & Adji, F. T. (2022). Sejarah Kekuasaan di Magelang: Era 

Klasik hingga Kolonial. Prosiding Seminar Nasional Ilmu Sosial Dan Teknologi 

(SNISTEK)4, 55–62. Retrieved from https://forum.upbatam.ac.id/index.php/prosiding/article/view/5214 

Anggraini, D., Mulyati, S. (2020). Analisis Tipologi Arsitektur Rumah Tradisional Jawa di Kota 

Magelang. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, 17(1).

Adyt Alkautsar, & La Ode Rabani. (2022). Arsitektur Indis dan Perubahan Sejarah Kota 

Magelang 1906-1942. Sasdaya: Gadjah Mada Journal of Humanities6(1), 34-48. 

Retrieved from  https://doi.org/10.22146/sasdaya.5248

Nafi, Muhammad. (2020, April 4). Pecinan, Wajah Kota Magelang Dalam Rona Keberagaman. 

Humas.magelangkota.go.id. Retrieved from Pecinan wajah kota magelang 

Incoming search terms:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.