[HIMAPEDIA] MENGULAS BANGUNAN UTAMA DI STASIUN PALBAPANG
Kedatangan VOC ke Hindia Belanda membawa pengaruh besar bagi peradaban masyarakat Hindia Belanda pada masa itu. Hingga pada akhirnya VOC runtuh dan tergantikan oleh sistem kolonialisme pada abad ke 19 ketika Perancis mulai menjajah Belanda. Adanya system ini pastinya memiliki pemimpin. Tiap-tiap pemimpin memiliki kebijakan masing-masing ketika menjabat. Salah seorang yang memimpin Hindia Belanda pada masa kolonialisme adalah Gubernur Jenderal van den Bosch.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van den Bosch, terjadi peristiwa Perang Jawa. Peristiwa tersebut menguras habis bahkan mencapai angka minus kas milik pemerintah kolonial. Dari situlah van den Bosch mengeluarkan kebijakan culturstelsel. Hasil dari kebijakan tersebut ternyata semakin meningkat namun tanpa didukung transportasi pengangkutan hasil yang mendukung. Oleh karena itu, dicetuskanlah transportasi baru, yaitu kereta api yang dinilai lebih efektif dan efisien dalam mengangkut hasil pertanian.
Pembangunan sarana kereta api pertama yakni jalur Semarang ke Kedu dan Yogyakarta yang dimulai pada tahun 1864 oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) (Hermawan, 2014). Dari situ, transportasi kereta api semakin menjamur hingga dibangun trem-trem di daerah pedalaman, salah satunya berada di Bantul, yaitu Statiun Palbapang.
Stasiun Palbapang tertelak di Palbapang, Bantul, DIY. Stasiun Palbapang selesai dibangun pada tahun 1894 setelah dimulainya pembangunan yang dimulai dari Stasiun Yogyakarta pada 1893. Pembangunan Stasiun Palbapang dilakukan oleh perusahaan kereta api swasta Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). NISM membangun stasiun ini sebagai perluasan pembangunan kereta api di Yogyakarta setelah sebelumnya pada tahun 1872 mereka sukses membangun jalur kereta api yang menghubungan Semarang-Vorstenlanden (Surakarta-Yogyakarta).
Jaringan kereta api yang dibagun adalah sebagai jaringan trem antara Yogyakarta dan Brosot, Bantul. Trem Yogyakarta-Brosot dimanfaatkan sebagai kendaraan untuk keperluan pengangkutan gula dari pedalaman Bantul untuk kemudian diangkut ke Stasiun Yogyakarta lalu diangkut menggunakan kapal menuju Eropa melalui pelabuhan yang berada di Cilacap atau Semarang.
Apabila dilihat dari arsitektur bangunannya, Stasiun Palbapang masuk dalam bangunan yang Indies post-independence style, arsitektur tersebut terletak pada atap bangunan yang bentuknya menyerupai bangun trapesium dan ventilasinya yang berbentuk lingkaran (Riza et al., 2020).
Bangunan akan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bawah, tengah, dan atas. Di bagian bawah bangunan dapat dilihat bahwa dahulunya bangunan ini dibangun beberapa senti dibawah jalan utama. Untuk masuk ke bangunan utama, kita perlu menuruni sebanyak tiga anak tangga yang berada di pintu utara. Tiap-tiap tangganya memiliki tinggi sekitar 30 cm. Finishing yang digunakan pada bangunan utama berupa ubin berwarna hitam dengan motif abstrak yang berukuran 20×20 cm.
Lanjut ke bagian kedua, yaitu bagian tubuh. Lebar pondasi bangunan sebesar 30 cm dengan hiasan dinding yang berbeda di tiap-siap sisinya. Pada sisi sebelah utara, di sisi Barat terdapat dua jendela kayu dan dipadukan dengan kaca yang mengapit sebuah pintu. Menuju ke Timur, terdapat juga tiga pintu lain dengan jenis yang berbeda dari pintu yang ada di Barat, tetapi tiga pintu ini memiliki jenis dan ukuran yang sama, yakni 133×118 cm. Ditambah lagi, terdapat satu pasang ventilasi bundar berdiameter 39cm dengan aksen tralis kotak-kotak yang posisinya berada di tiap-tiap atas pintu. Jarak antar sepasang ventilasi sekitar 85 cm. Sedangkan, jarak antar ventilasi ke atap sejauh 25 cm dan ke pintu sejauh 35 cm. Dapat dilihat bahwa tinggi tembok bangunan utama Stasiun Palbapang adalah 312 cm. Selain itu, terdapat hiasan dinding lain berupa hiasan batu alam setinggi 30 cm dari dasar bangunan atas (sebelum turun dari tangga). Selain itu, pada sisi bangunan bagian dalam, juga terdapat hiasan semen timbul yang dicat dengan warna hitam setinggi 10 cm.
Pada bagian dinding yang menghadap ke Timur terdapat satu buah jendela kayu dengan sepasang ventilasi diatasnya. Di dinding bagian Barat, tidak terdapat hiasan dinding sama sekali, hanya terdapat tembok polos saja. Lalu di dinding yang menghadap Selatan, dari sebelah Barat, terdapat hiasan dinding berupa sepasang jendela yang mengapit pintu dengan bentuk dan ukuran yang sama seperti di dinding yang menghadap sisi Utara. Apabila diperhatikan lebih detail, dinding yang menghadap utara terdapat banyak pintu, sedangkan dinding sisi yang menghadap Selatan terdapat tiga buah jendela kayu dengan ukuran 139×135 cm. Sekilas setelah saya perhatikan, di rumah saya juga terdapat jendela kayu yang ada di bangunan Stasiun Palbapang. Warna dinding di Stasiun Palbapang didominasi oleh warna putih dimana warna tersebut adalah salah-satu warna yang menjadi karakteristik arsitektur kolonial di Indonesia (Riza et al., 2020). Selain itu, hiasan dinding berupa jendela dan pintu dicat dengan warna biru.
Bagian terakhir, yaitu atas atau kepala, berupa atap. Bentuk atap bangunan Stasiun Palbapang adalah trapezium dengan dilengkapi genteng. Di bagian luar ruangan, terdapat plaform yang menutupi bagian atap. Jarak plaform dari ventilasi setinggi 25 cm.
Seiring dengan perkembangan zaman, Stasiun Palbapang kemudian berubah fungsi menjadi Terminal Palbapang yang diresmikan pada 20 Juli 1990 oleh Bupati Bantul, KRT. Suharyopadmo. Setelah dialih fungsikan, bangunan utama ini juga berubah fungsi. Saat ini, fungsi bangunannya menjadi kantor Dinas Perhubungan Bantul (Dishub Bantul). Perubahan lain yang tampak adalah dibangunnya taman yang didalamnya terpajang peninggalan berupa ban kereta, serta beberapa peninggalan bagian-bagian sarana kereta lain. Di samping itu, bangunan di sekitar bangunan utama sekarang difungsikan sebagai ruko-ruko oleh para penyewa untuk mencari nafkah.
Letak bekas Stasiun Palbapang masa kini masuk dalam kategori di tengah Kota Bantul sebab lokasinya berada di sisi Utara jalan yang menghubunngkan Bantul dengan Jalan Srandakan.
Daftar Referensi
Hermawan, Iwan. Kereta Api Mengurai Kebuntuan Transportasi di Jawa. Diakses dari https://www.academia.edu/34375376/KERETA_API_MENGURAI_KEBUNTUAN_TRANSPORTASI_DI_PULAU_JAWA_1
Riza, M.A.A., Ikaputra, Wihardyanto, D. (2018). Spatial System Station NIS Yogyakarta-Bantul Railway. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science. DOI: 10.1088/1755-1315/213/1/012047
Riza, M.A.A., Firmandhani, S.W., Suprapti, A. (2020). The Façade Characters of NIS Stations in the YogyakartaBantul Line. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science. DOI: 10.1088/1755-1315/402/1/012022
Penulis: Kencana Aziza Maharani
Editor: Maisy Pramaisella