Hari Jadi Kota/Kabupaten: Prasasti untuk Identitas Bersama
Oleh: Devina Ocsanda dan Meliani Sekar Tanjung Perwitasari
Prasasti menjadi tumpuan dalam penyusunan sejarah Indonesia, khususnya sejarah pada Masa Klasik (Hindu-Buddha). Penggunaan data prasasti tersebut terkait dengan beberapa hal. Pertama, prasasti ditulis sezaman dengan peristiwa yang terjadi (Dwiyanto, 1998). Kedua, pembuatan prasasti yang diperintahkan raja untuk rakyat melalui seseorang yang bisa menulis prasasti (citralekha) turut menjadikan prasasti menjadi data penting. Ketiga, aspek kehidupan yang tersurat maupun tersirat dalam prasasti, yaitu agama, ekonomi, politik, hukum, kesenian, pertanian, dan teknologi menjadikan prasasti sebagai sumber memadai.
Epigrafi merupakan ilmu pengetahuan tentang tulisan atau prasasti (Ayathrohaedi dkk., 1981). Epigrafi sejauh ini mengkaji prasasti lebih pada kedudukannya sebagai teks bukan sebagai artefak (Prasodjo, 1998). Kajian prasasti dapat meliputi media prasasti, bahan prasasti, bentuk prasasti, isi prasasti, paleografi, struktur prasasti, pembacaan prasasti, dan penafsiran prasasti. Di Indonesia sendiri kebanyakan prasasti mengandung isi mengenai penetapan sīma, tetapi terdapat pula prasasti yang mengandung isi mengenai keputusan peradilan, angka tahun, nama tokoh, hingga mantra. Epigrafi menghasilkan terjemahan dan tafsir terhadap suatu isi prasasti untuk penyusunan sejarah Indonesia.
Prasasti pada dasarnya berguna hanya untuk sumber penulisan sejarah baik sejarah nasional atau lokal. Dalam lingkup penulisan sejarah lokal, kelokalan yang terkandung dalam prasasti dapat digunakan untuk merekonstruksi sejarah ditinjau dari aspek agama, ekonomi, politik, hukum, kesenian, pertanian, dan teknologi (Dwiyanto, 1998). Dengan adanya rekonstruksi terhadap sejarah dapat menjadikan suatu daerah memiliki ikon atau karakteristik yang dapat dimanfaatkan dalam hal pembangunan daerah atau pengambilan keputusan terhadap pembangunan bagi masyarakat. Fungsi prasasti menjadi lebih dari biasanya apabila sudah dikenali sebagai ikon yang mungkin untuk pengembangan wisata.
Prasasti dalam beberapa kasus berfungsi sebagai pembentuk identitas bersama masyarakat. Prasasti menjadi perintis dalam penelusuran sejarah lokal yang diantaranya berbentuk narasi hari jadi. Hari jadi dalam konteks ini merupakan hari kelahiran atau diresmikannya suatu wilayah sebagai wilayah berpemerintahan. Penelusuran hari jadi identik dengan penyusunan sejarah lokal wilayah terkait. Upaya-upaya tersebut banyak dilakukan seperti di Kediri, Ngawi, Magelang, Sumenep, Banyumas, Lumajang, Cilacap, Jepara, Kendal, Kudus, Pemalang, Purworejo, Kebumen dan Purbalingga. Penelusuran hari jadi sebenarnya tidak melulu didasarkan pada sumber prasasti yang paling tua, melainkan pada sejauh mana sumbernya dapat ditemukan kembali dan dianggap bermakna bagi masyarakat dalam bentuk identitas bersama yang diperingati sebagai hari jadi.
Wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan Hari Jadi Berdasarkan Prasasti
Kota/kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur memilih menggunakan peristiwa penting atau disebut bersejarah untuk dasar penetapan hari jadi. Peristiwa tersebut bervariasi mulai dari Masa Klasik (Hindu-Buddha) hingga Masa Pascakemerdekaan. Peristiwa dari Masa Klasik (Hindu-Buddha) yang digunakan adalah peristiwa yang bersumber dari prasasti dan naskah seperti penetapan status perdikan (sīma) hingga penunjukkan suatu tokoh untuk memerintah wilayah tertentu. Peristiwa dari Masa Pengaruh Islam mayoritas berupa pengangkatan tokoh penting untuk memerintah suatu wilayah. Masa Kolonial cukup berbeda karena telah memiliki sistem hukum modern sehingga beberapa kota/kabupaten yang menggunakan hari jadi pada periode ini berlandaskan pada produk legal seperti staatsblad. Penggunaan produk legal ini berlanjut pada Masa Pasca Kemerdekaan Indonesia yang mana kota/kabupaten tertentu dimekarkan untuk kepentingan pemerintahan yang lebih efektif. Kecenderungan penggunaan sumber-sumber untuk penetapan hari jadi dapat dilihat pada diagram berikut.
Terdapat 13 wilayah dengan hari jadi berdasarkan prasasti dari 73 kota/kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Wilayah tersebut adalah Kota Magelang (Prasasti Mantyasih/907 M), Kota Salatiga (Prasasti Plumpungan/750 M), Kabupaten Pati (Prasasti Tuhanaru/1323 M), Kabupaten Pasuruan (Prasasti Cungrang/929 M), Kota Kediri (Prasasti Kwak/879 M), Kabupaten Tulungagung (Prasasti Lawadan/1205 M), Kabupaten Trenggalek (Prasasti Kamulan/1194 M), Kabupaten Ngawi (Prasasti Canggu/1358 M), Kabupaten Lumajang (Prasasti Mulamalurung/1255 M), Kabupaten Kediri (Prasasti Harinjing/804 M), Kabupaten Blitar (Prasasti Blitar I/1324 M), Kabupaten Nganjuk (Prasasti Anjuk Ladang/937 M), dan Kabupaten Malang (Prasasti Dinoyo/760 M). Prasasti yang digunakan lintas masa sesuai dengan pertimbangan yang telah dilakukan. Walaupun bukan merupakan sumber terbanyak (lihat gambar 2), data prasasti masih memiliki tempat dalam perumusan hari jadi. Setiap kota/kabupaten membentuk forum atau tim penyelidikan hari jadi untuk mencari nominasi sumber atau peristiwa penting bersejarah mengenai tonggak berdirinya pemerintahan. Melalui forum atau tim tersebut pada akhirnya waktu dan peristiwa yang signifikan dapat dipilih untuk hari jadi kota/kabupaten tersebut. Oleh karena itu, penggunaan sumber prasasti yang dikeluarkan sangat lama sebelum bentuk pemerintahan mendekati masa kini terbentuk ternyata masih memiliki relevansi.
Prasasti yang digunakan untuk sumber hari jadi dari kota/kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan prasasti penetapan status perdikan (sīma) suatu wilayah, kecuali Prasasti Dinoyo. Status perdikan tersebut berkaitan dengan hak salah satu penguasa, yakni anugraha. Hak-hak raja ini meliputi tiga hal, yaitu drěwya haji, buat haji atau gawai haji, dan anugraha (Van der Meer, 1979). Drěwya haji merupakan hak penguasa atas presentase hasil tanah petani. Buat haji atau gawai haji merupakan hak untuk mempekerjakan tenaga kerja (dapat secara paksa) untuk perawatan keraton, candi, pekerjaan skala besar, dll. Buat haji atau gawai haji misalkan saja terdapat dalam kasus petani berkewajiban menjadi buat haji untuk memelihara fasilitas pertanian yang disediakan penguasa. Anugraha merupakan hak penguasa memberi kebaikan pada siapa saja yang dipandang pantas. Melalui anugraha penguasa juga dapat memperluas pembangunan bangunan suci dan menyelenggarakan pekerjaan umum lain. Hak-hak raja ini tidak hanya dalam konteks agraris dengan petani sebagai subjek melainkan juga dalam konteks perdagangan. Misalnya saja Prasasti Canggu yang menyebutkan 33 buah desa penyeberangan di tepi Bengawan Solo dan 44 buah di tepi Sungai Brantas (Rangkuti, 2005). Pada Prasasti Dinoyo, anugrah terwujud dari penyelenggaraan upacara penggantian arca. Raja memberikan hadiah berupa tanah lapang, lembu, kerbau, didahului hamba laki-laki dan perempuan (Satari, 2009). Hal yang pasti dari keberadaan prasasti-prasasti ini adalah status daerah yang disebutkan dalam prasasti memiliki keistimewaan dan kedekatan politik dengan raja karena anugrah yang diturunkan dari raja. Pada penetapan status yang istimewa terdapat upacara atau pesta yang mendukung keistimewaan tersebut. Keistimewaan ini ditambah dengan sifat ketetapan raja yang selamanya dan akan mendapat hukuman jika melanggar.
Pencarian Sumber Tertua untuk Identitas Terkini
Prasasti yang sekalipun dikeluarkan jauh sebelum pemerintahan terkini terbentuk ternyata masih menjadi sumber untuk kepentingan identitas bersama di masa yang lebih kemudian. Identitas bersama ini dibentuk dari penetapan hari jadi yang bersama-sama diperingati seluruh masyarakat yang mana wilayah tempatnya tinggalnya memiliki sejarah panjang. Walaupun tidak semua daerah menggunakan prasasti sebagai tanggal hari jadi, masyarakat barangkali memiliki kebanggaan tersendiri dari sejarah kota/kabupatennya yang dimulai dari Masa Klasik (Hindu-Buddha).
Arkeologi (termasuk epigrafi) hadir tidak hanya untuk kepentingan masa lampau melainkan juga untuk kepentingan sekarang dan nanti. Identitas yang secara konsensus dibentuk oleh masyarakat memerlukan sumber masa lalu. Dengan taraf relevansinya sendiri, masyarakat memaknai data arkeologi yang masanya sempat terputus menjadi sesuatu yang sangat dekat bahkan melekat, yakni identitas bersama. Identitas bersama dari data arkeologi ini terus dipelihara selama pendukung konsensus, yakni masyarakat masih meyakini bahwa temuan tersebut memiliki kedekatan dengan diri dan kelompok masyarakat itu sendiri.
Referensi
Ayatrohaedi, Wibowo, A. S., Wuryantoro, E., Jafar, H., Magetsari, N., & Nurhadi, S. N. (1981). Kamus Istilah Arkeologi I. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dwiyanto, D. (1998). Manfaat Prasasti Bagi Penulisan Sejarah Lokal. Berkala
Arkeologi, 18(1), 1–6. https://doi.org/10.30883/jba.v18i1.771.
Prasodjo, T. (1998). Epigrafi Indonesia: Peran, Kedudukan, Dan Pengembangannya.
Berkala Arkeologi, 18(1), 7–16. https://doi.org/10.30883/jba.v18i1.772
Rangkuti, N. (2005). Jalan Masuk Kota Majapahit: Kajian Situs-Situs Arkeologi di Kecamatan Sumobito, Jombang, Jawa Timur. Berkala Arkeologi, 25(1), 53–68. https://doi.org/10.30883/jba.v25i1.910.
Satari, S. S. (2018). Upacara Weda di Jawa Timur: Telaah Baru Prasasti Dinoyo. AMERTA 27 (1). https://doi.org/10.24832/amt.v27i1.435.
Van der Meer. N. C. S. (1979). Sawah Cultivation in Ancient Java. Australian National University Press.