[RILIS DISKUSI BULANAN HIMA] Gothic, now and then; dari Artefak hingga Fashion
Gothic, Now and Then
Dari Artefak Hingga Fashion
Pembicara : Dr. Suzie Handajani, M.A (Dosen Antropologi Budaya FIB UGM)
Moderator: Tyassanti Kusumo Dewanti
Notulen : Sheila Ayu Rachmadiena & Irfan Waskitha Adi
Kamis (17/03) pukul 16.30, diskusi bulanan perdana HIMA baru saja dimulai. Peserta memasuki M404 sembari membawa teh panas dan aneka camilan, tak terkecuali pula pembicara kita sore itu, Mbak Suzie, yang juga turut memasuki ruangan. Kegiatan diskusi diawali dengan menata kursi membentuk lingkaran supaya hawa diskusi lebih hidup dan lebih interaktif.
Bermula dari brainstorming bersama Mbak Suzie perihal kepenulisan dan critical thinking, kemudian muncullah Gothic yang menjadi salah satu studi kasus tentang pemaknaan manusia yang berbeda-beda terhadap suatu hal, Gothic yang mengalami perubahan makna dari masa ke masa. Dimulai sekitar abad 12 yang ditandai munculnya bangunan gereja megah khas arsitektur Gothic dengan jendela-jendela besar nan tinggi, kaca warna-warni (bertujuan untuk memperbanyak cahaya yang masuk kedalam gereja) dan aksen frame runcing yang biasanya dijumpai di atas pintu (untuk menahan tekanan berat dari atas). Sebenanya asal nama gothic muncul setelah tren arsitektur gereja tersebut sudah tidak begitu populer. Ketika ada beberapa kalangan yang masih membangun gereja model tersebut, mereka dianggap menyimpang dan kemudian istilah gothic pun sering dilontarkan. Istilah ini sendiri merupakan hasil dari adanya penyimpangan atau pemberontakan dari arus utama.
Pada masa sesudah itu, mulailah muncul beberapa literatur berlatarkan ‘gereja’ tersebut dengan cerita seram dan menakutkan. Hingga kini literatur berlatar bangunan gothic pun masih dapat kita jumpai, sebagai contoh Frankenstein atau pun Drakula, malah kemudian sudah banyak pula yang ditayangkan menjadi sebuah film. Melalui fase ini, Gothic mulai dimaknai sebagai segala sesuatu yang berbau supranatural dan gelap. Selain literatur, muncul pula fashion Gothic yang gelap, hitam, berkesan misterius dan melahirkan sebuah konsep dark beauty dengan make up pucat, sentuhan pada pipi yang menegaskan garis rahang, eyeliner serta tak lupa lipstik yang gelap. Hingga saat ini, manifestasi Dark beauty juga masih bisa kita jumpai pada beberapa film, seperti Maleficent, Snow White and The Huntsman dan lain-lain. Fashion Gothic kemudian semakin menjalar dan menurun pada bentuk fashion lain, seperti Punk dan Emo.
Proses perkembangan Gothic dari sesuatu yang menakutkan menjadi sebuah literatur, film dan fashion menimbulkan suatu fenomena baru, yakni “Fear as Entertainment”, dimana hal menyeramkan justru dijadikan hiburan, seperti Dark Tourism yang menyuguhkan jalan-jalan atau plesir ke tempat-tempat mengerikan untuk memicu adrenalin dengan anggapan bahwa kita akan bertemu hantu. Adrenalin yang ditimbulkan akan memicu produksi ‘efek nagih’, sehingga industri dark tourism ini selalu diminati. Salah satu produk dark tourism yang kerap kita lihat di layar kaca adalah acara-acara uji nyali ataupun wisata angker. Uniknya, kadang acara-acara tersebut dilakukan di apartemen, hotel ataupun rumah nan megah, yang tidak berasosiasi dengan tempat tinggal hantu yang gelap, sunyi dan sepi. Dengan setting yang terus berubah-ubah, manusia diajarkan untuk memproses pikir tentang eksistensi hantu di wilayah yang bukan merupakan wilayah mereka sebenarnya, sehingga akan terasa lebih menyeramkan jika para hantu muncul di tempat yang tak seharusnya.
Yah begitulah dinamika si Gotik. Bermula dari arsitektur hingga kini merambah ke life style. Namun toh tak apa, mari kita saksikan ke mana arah dinamika ini ke depannya.. Salam. Sampai jumpa di diskusi bulanan HIMA berikutnya!
#GothicNowAndThen
#AllAboutGothic
#ArthefacTillFashion