[HIMAPEDIA] Sedikit Mengenal Pak Riboet: Sang Ahli Epigrafi Milik Indonesia

Riboet Darmosoetopo
Potret Riboet Darmosoetopo. (Dok. HIMA/Tyassanti Kusumo Dewanti)

(Yogyakarta, 19 Desember 1938 – Sekarang)

Riboet Darmosoetopo atau yang biasa disapa Pak Riboet adalah seorang arkeolog senior yang menekuni bidang epigrafi dan juga merupakan Alumnus Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Pak Riboet sendiri mendapatkan gelar sarjananya pada tahun 1971 dan gelar doktornya pada tahun 1997.

Pada awal kuliahnya Pak Riboet memilih Jurusan Sejarah, tetapi kemudian mengganti minatnya menjadi Jurusan Arkeologi. Hal tersebut dianggap wajar karena pada waktu itu perpindahan jurusan belum memiliki mekanisme yang jelas. Pada masa kuliahnya, Pak Riboet mengonsentrasikan minatnya pada sejarah kuno dan kemudian mengambil epigrafi. Dalam bidang epigrafi inilah yang kemudian membawanya menjadi seorang peneliti dan pengajar di Universitas Gadjah Mada. Selain itu, ketika sedang mengeyam pendidikan tinggi Pak Riboet juga diangkat menjadi asisten dosen (alm.) Sartono Kartodirdjo. Hal tersebut menjadikan Pak Riboet termasuk sebagai pegawai dan dibebaskan dari pembayaran uang kuliah. Sementara pada akhir studinya, Pak Riboet memilih untuk meneliti Prasasti Salimar IV yang isinya mengenai penetapan tanah perdikan Hutan Salimar oleh Sang Pamgat Balahara. read more

Incoming search terms:

[HIM-ART] Lomba Menggambar tingkat SMA dan Mahasiswa

Halo teman-teman! Ada kabar gembira nih buat mengisi kegiatan saat di rumah aja.
HIMA UGM mengadakan
“Lomba Menggambar Tingkat SMA dan Mahasiswa”

Adapun timeline nya
15 – 30 Juni 2020 : Pengumpulan karya
1 – 6 Juli 2020 : Penjurian
7 Juli 2020 : Pengumuman pemenang

Pemenang akan mendapatkan uang pembinaan dan sertifikat. Oleh karena itu, jangan sampai kelewatan ya!

Untuk syarat dan ketentuan lebih lengkap ada di poster atau menghubungi narahubung yang tertera.

Narahubung
Ariq : 0858-0134-9225
Dymas : 0813-9036-7081 read more

Incoming search terms:

[HIMAPEDIA] Dibalik Rindangnya Pepohonan Situs Menggung

Arca Mbah Menggung dan Durga Mahisasuramaardini. (Dok. HIMA/Jesica Riana)

Situs Menggung atau Candi Menggung merupakan tinggalan arkeologi yang terletak di dusun Nglurah, Desa Tawangmanggu, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar. Situs ini berada di sebuah areal perbukitan dengan elevasi 1.003 m dpl dengan banyak pohon-pohon besar yang tumbuh di sekitar situs. Di sisi Barat situs terdapat jalan dan permukiman penduduk. Sedangkan, di sisi Selatan terdapat sungai yang berjarak sekitar 50 m dari situs dan juga terdapat parit yang memanjang ke arah Barat lalu berbelok ke arah Utara pada sisi Barat situs (Heri Purwanto & Coleta Palupi Titasari, 2017). read more

Incoming search terms:

[HIMAPEDIA] Selayang Pandang Gereja Tertua di Tanah Gurindam

Potret Gereja Ayam Tanjungpinang. (Sumber: Dok. HIMA/Hot Marangkup Tumpal)

Bangsa Belanda yang datang ke Nusantara hingga melakukan ekspansi ke berbagai wilayah di Nusantara dapat dikatakan selalu meninggalkan jejak-jejak mereka baik dalam wujud tangible maupun intangible. Wilayah Kepulauan Riau (Riouw Archipel) yang terkenal dengan budaya Melayu juga tidak luput dari ekspansi Belanda. Salah satu tinggalan Belanda yang masih dapat dilihat hingga saat ini adalah Gereja GPIB Bethel Tanjungpinang. Saat kali pertama dibangun pada tahun 1883, gereja ini hanya digunakan untuk peribadatan bagi orang-orang Belanda dan kerabatnya, serta serdadu militer Hindia-Belanda yang memeluk agama Kristen Protestan di Tanjungpinang. Gereja tertua di Kepulauan Riau yang ketika diresmikan disebut “De Nederlandse Hervormde Kerk te Tandjoengpinang” ini sudah berstatus sebagai bangunan cagar budaya yang memiliki nomor Inventaris Cagar Budaya: 15/BCB-TB/C/01/2007. Dalam perkembangannya, gereja ini menjadi Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) setelah ditetapkan dan diakui berdasarkan Staatsblad Indonesia tahun 1948 No. 305 dan Surat Keputusan Wakil Tinggi Kerajaan di Indonesia tertanggal 1 Desember 1948 No. 2.

Berdasarkan catatan yang diterbitkan dengan judul “Berichten omtrent Indie, gedurende een tienjarig verblijf aldaar” (laporan tentang Hindia, selama sepuluh tahun tinggal di sana) diperoleh informasi bahwa bangunan gereja dalam bentuk yang sangat sederhana ini sudah ada sejak 14 Februari 1835. Tulisan tersebut diterbitkan oleh penerbit Ballot di Kota Deventer pada tahun 1846. Pendeta Eberhardt Herman Rottger adalah tokoh penting yang terlibat dalam pembangunan gereja ini. Ia bertugas sebagai misionaris di Riouw (Riau), Tanjungpinang dari tahun 1833 hingga 1842. Menurut sejarawan Provinsi Kepulauan Riau, Aswandi Syahri menyebutkan bahwa pembangunan gereja ini dibantu dalam bentuk material oleh Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau VII, Raja Abdurrahman. Bantuan serupa diberikan juga oleh Kapitan Cina pada masa tersebut. Hal ini mengisyaratkan tentang kerukunan beragama yang terjadi di Tanjungpinang kala itu.

Gereja ini terkenal dengan sebutan Gereja Ayam dimana sebutan ini dipopulerkan oleh masyarakat setempat. Hal ini disebabkan adanya hiasan berbentuk ayam di atas menara yang menyatu dengan atap bagian depan. Gereja yang berjuluk Gereja Ayam ini telah beberapa kali mengalami perubahan. Menara yang berfungsi sebagai tempat lonceng beserta “ayam”-nya itu, kemungkinan dibuat saat renovasi antara tahun 1920 hingga 1930-an. Bentuk ayam yang terbuat dari besi pipih itu berfungsi sebagai penunjuk arah angin. Bentuknya yang pipih membuatnya dapat bergerak 180 derajat mengikuti hembusan angin. Hiasan kemuncak bangunan sakral seperti masjid, gereja, pura, atau candi mempunyai arti tersendiri, baik sebagai simbolik maupun kepercayaan dan keagamaan. Hiasan kemuncak bangunan berupa ayam di gereja ini sendiri sengaja dibuat sebagai pengingat umat akan kisah dalam Alkitab mengenai Simon Petrus yang menyangkal Yesus tiga kali sebelum ayam berkokok dua kali. Diharapkan dengan simbol tersebut umat Kristen selalu kuat dalam iman mereka dan tidak akan goyah dalam kondisi seperti apapun sehingga tidak menyangkal Yesus sebagai Tuhan dan Sang Juru Selamat.  Dapat dikatakan bahwa kehadiran bangsa-bangsa Eropa di Indonesia sejak awal abad XVI telah memengaruhi berbagai unsur kebudayaan, salah satu di antaranya dalam hal hiasan kemuncak bangunan. Hiasan kemuncak ini dahulu awalnya banyak dipasang di atap-atap rumah penduduk di Belanda. Akan tetapi, sejak kapan binatang berkaki dua yang berwujud ayam jago ini menjadi hiasan dan bertengger di atas bangunan-bangunan sakral dan profan tidak lagi jelas. Dahulu orang menyebutnya Zo’on windvaan atau gallus (ayam jantan) sebagai hiasan ventilogium (penunjuk arah angin).

Di bagian depan gereja yang menghadap ke barat ini terdapat pintu yang menjorok ke depan sehingga membentuk seperti kanopi dengan atap pelana. Pintunya berbentuk lengkung sederhana. Di kanan kirinya terdapat jendela. Bentuk jendela itu seolah terdiri atas dua jendela dengan lengkung kecil, yang disatukan dengan lengkung besar di atasnya. Jendela seperti ini juga terdapat di sisi kiri (utara) dan kanannya (selatan). Gereja yang memiliki luas 19 x 9 (171 m2) ini bercat cokelat muda dihiasi garis-garis cokelat tua. Bagian depan atapnya bertrap seperti tangga dengan enam undakan (crow-stapped gable). Begitu juga dengan bagian belakang atap. Pada bagian kiri dan kanan sisi depan terdapat pilaster sederhana. Di bagian dasar gereja yang berdiri di atas lahan seluas  44 x 45 m (1980 m2) terdapat profil seperti candi yang bercat cokelat. Profil seperti ini juga terdapat di bagian antara tubuh bangunan dan atap dengan warna yang sama. Di bagian belakangnya, terdapat bangunan yang berukuran lebih kecil daripada bangunan yang memiliki menara namun keduanya masih tersambung. Tidak seperti bagian luar bangunan yang masih memperlihatkan keasliannya, bagian dalam sudah mengalami perubahan. Penambahan keramik pada lantai, pilar dan tangga tidak lagi mengesankan gereja ini sebagai bangunan tua. Unsur kekunoannya memang tidak tampak lagi, kecuali beberapa deret kursi kuno yang terutama berada di balkon. Fungsi awal dan fungsi sekarang bangunan ini tidak mengalami perubahan, yakni dari awal hingga saat ini tetap berfungsi sebagai tempat ibadah umat kristiani.

Tulisan karya : Hot Marangkup Tumpal (Arkeologi 2018)

Editor : Candrika Ilham Wijaya (Arkeologi 2019)

 

Daftar Referensi

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/gpib-bethel-tanjungpinang-cagar-budaya-di-kota-gurindam/

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/wp-content/uploads/sites/28/2018/08/Cagar-Budaya-Kota-Tanjung-Pinang.pdf

Soekiman, Djoko. 1980. Hiasan Kemuncak Bangunan. Berkala Arkeologi. 1(1): 70-79.

Incoming search terms:

Memaknai Kata Sandi pada Bedug Masjid Cipto Mulyo Pengging, Boyolali

Masjid Cipto Mulyo tampak depan
Masjid Cipto Mulyo tampak depan (Sumber: koleksi pribadi).

Oleh : Rizal Hendra Pratama (Arkeologi 2018)

Mungkin orang agak sukar menemukan keberadaan Masjid Cipto Mulyo yang ada di kawasan wisata Umbul[1] Pengging di Kecamatan Banyudono, Boyolali ini. Awalnya penulis memiliki tujuan utama melihat kekunoan Umbul Pengging yang memang terkait erat dengan adanya sebuah pesanggrahan[2] peninggalan Kasunanan Surakarta pada masa silam. Banyak sekali umbul yang ada di wisata Umbul Pengging diantaranya adalah Umbul Temanten, Ngabean, dan Sungsang. Pemanfaatan sebagai kawasan wisata berupa pemandian bisa dikatakan mengurangi esensi dari bangunan umbul pengging yang sebenarnya memiliki fungsi sebagai tempat bersantai, singgah sebentar atau bermeditasinya keluarga Raja sehingga penuh dengan kesan suasana sepi, tenang, dan sunyi.

Ketika sudah cukup menikmati beningnya air Umbul Temanten dan Ngabean, penulis berniat untuk menyusuri satu umbul yang letaknya agak jauh dari kedua umbul tersebut yakni Umbul Sungsang. Sewaktu perjalanan, intuisi diri memaksa penulis untuk memasuki sebuah jalan kecil, entah apa yang ada di balik jalan kecil tersebut. Dari ujung gang tempat penulis berpijak hanya terlihat tembok kusam yang memanjang kearah kanan dan kiri penulis. Hanya jalan itu saja yang tidak tertutup tembok. Setelah melangkah lebih jauh ternyata tembok tersebut memanjang mengikuti kelokan sungai. Tanpa sadar penulis sudah berada diantara kedua tembok, persisnya diatas sebuah jembatan. Dari arah itu penulis melihat bangunan Masjid. Tertera pada sebuah tulisan yang berbunyi Masjid Ciptomulyo di serambinya. Bangunan serambi memiliki atap bergaya limasan, sedangkan bangunan utama memiliki atap tumpang susun dua. Atap tumpang identik dengan arsitektur masjid – masjid tradisional di Jawa. Di serambi terdapat rijkplaank yang mengingatkan pada bangunan bergaya Eropa. Pada bagian Rijkplaank yang berbentuk segitiga tertera tulisan berwarna hitam mencolok dari kejauhan yang bertuliskan PB X. Keterangan itu memberikan isyarat bahwa masjid tersebut dibangun pada masa pemerintahan Paku Buwono ke X seusia dengan Umbul Pengging. Tampaknya ‘Sunan kaya’ ini ingin membangun kompleks pesanggrahan yang lengkap dengan sarana ibadah. Terdapat inskripsi yang juga menerangkan bahwa masjid Cipto Mulyo dibangun oleh Paku Buwono X pada tahun 1838. Namun, penulis tidak berani menyimpulkan apakah itu tahun masehi, hijriyah, atau tahun jawa. Meskipun demikian, apabila dilihat dari masa pemerintahan Paku Buwono yang dimulai tahun 1866 – 1939 Masehi, maka agaknya kurang tepat apabila tahun 1838 merupakan tahun masehi. Adanya molo[3] yang mirip dengan yang ada di Masjid Kauman Surakarta, membuat semakin yakin bahwa Masjid Ciptomulyo memiliki kaitan erat dengan Keraton Surakarta. Selain itu, dibelakang Masjid terdapat pusara salah satu pujangga beken dari Keraton Surakarta yaitu Yosodipuro II. Hal yang unik dari Masjid Ciptomulya adalah arah kiblatnya, biasanya kiblat berada di arah barat dan sedikit miring ke kanan, namun pada Masjid Cipto Mulyo ini miringnya ke kiri sehingga pada saat ini dibuat semacam garis petunjuk untuk arah kiblat yang benar. Dalam perjalannanya, masjid ini sudah mengalami renovasi tiga kali, namun masih tetap mempertahankan arsitektur kekunoannya kecuali bagian lantai dan tembok serambi yang sudah dikeramik.

Molo pada Masjid Cipto Mulyo. Gambar diambil dari arah barat tepatnya di kompleks makam Yosodipuro II. (Sumber: Koleksi Pribadi)
Molo pada Masjid Cipto Mulyo. Gambar diambil dari arah barat tepatnya di kompleks makam Yosodipuro II. (Sumber: Koleksi Pribadi)

Salah satu hal yang menarik perhatian penulis adalah keberadaan bedug yang ada di pojok serambi masjid. Penggunaan bedug memang bukan merupakan sesuatu yang baru pada fenomena masjid tradisional di Jawa. Biasanya bedug berpasangan dengan kentongan. Letaknya sendiri jika tidak di serambi biasanya di halaman masjid dan dibuatkan wadah tersendiri seperti Masjid Menara Kudus yang bedugnya diletakan di atas menara, atau Masjid Jami’ Lasem yang kental dengan arsitektur Cina juga memiliki tempat khusus untuk bedhuk di halaman masjid (Handinoto dan Hartono, 2007: 23). Mengenai asal usul budaya bedug sendiri terdapat berbagai macam hipotesa. Hipotesa pertama mengatakan bahwa bedug merupakan akulturasi antara kebudayaan Cina dan Islam di Jawa. Hal ini tampak dengan adanya penggunaan bedug di kuil – kuil agama orang Cina seperti Kelenteng (Handinoto dan Hartono, 2007: 26) Terdapat Cerita khusus yaitu kedatangan ekspedisi Ceng Ho di Jawa yang membawa kebudayaan bedug dari Cina untuk diperkenalkan di Jawa hingga populer sampai masa sekarang (Saputro, 2019). Seorang Arkeolog bernama Dwi Cahyono bahkan menarik asal usul bedug pada masa yang lebih jauh yaitu pada masa prasejarah. Bukti yang menguatkan argumen Cahyono adalah budaya pembuatan moko dan nekara pada masa logam yang ditabuh untuk keperluan ritual, mas kawin, dan untuk meminta hujan. Dalam kidung Malat Pupuh XLIX dijelaskan bahwa bedug atau yang disebut teg – teg merupakan alat musik yang ditabuh sebagai tanda perang. Kidung Malat sendiri dipercaya ditulis pada masa Majapahit (Isneni, tanpa tahun).

Dalam alam pikir masyarakat tradisional Jawa, bedug bukan hanya sekedar alat pemanggil suara azan, bedug menjadi sarana penting untuk berkomunikasi sehingga bedug cukup dikultuskan, dalam artian menjadi salah satu perlengkapan yang harus ada dalam sebuah Masjid di Jawa meski tanpa pakem tertulis. Kaitannya dengan hari raya, seperti Idul Fitri dan Lebaran Haji, penulis punya pengalaman cerita tutur yang diceritakan oleh simbah penulis yang lahir pada tahun 1940. Pada waktu beliau masih muda masih melihat fenomena penabuhan bedug di penghujung puasa menjelang lebaran Idul Fitri dan Lebaran Haji, bedug dibunyikan dengan pukulan yang sangat panjang di Masjid Agung Demak. Tabuhan tersebut memberikan semacam tanda bahwa bulan puasa segera berakhir dan menyambut bula baru, yaitu Syawal yang penuh dengan kebahagiaan dimana semua saudara berkumpul. Suara bedug tersebut terdengar sangat nyaring hingga terdengar sampai rumah penulis yang jaraknya 70 km dari Masjid Demak, suatu hal yang sebenarnya cukup liar untuk dimasukkan nalar. Ungkapan ini mungkin memiliki maksud bahwa bedug menjadi semacam tanda untuk menyampaikan berita penting seperti hari raya telah tiba, atau pertanda waktu salat yang disampaikan secara broadcast atau sistem kethok tular (informasi yang menyebar secara beruntun).

Inskripsi pendek tang terdapat pada gawangan kentongan bagian atas (Sumber: Koleksi Pribadi)
Inskripsi pendek tang terdapat pada gawangan kentongan bagian atas (Sumber: Koleksi Pribadi)

Di Masjid Ciptomulyo sendiri Sunan Pakubuwono memenuhi persyaratan tanpa pakem yang jelas tersebut dengan memberikan bedug pada serambi masjid. Bagian atas kentongan bedug terdapat tulisan PB X. Selain itu, pada bagian atas gawangan[4] kentongan terdapat inskripsi pendek beraksara jawa baru yang berbunyi “Rahayap ning Rurasthi” yang berarti orang – orang (rakyat) di pedesaan. Makna dibalik ungkapan tersebut belum diketahui secara pasti. Penulis dengan segala keterbatasan akan memberikan sedikit pemaknaan dibalik ungkapan tersebut. Apakah hal ini senada dengan konsep pesanggrahan yang penuh dengan sepi dan sunyi dan suasana tersebut erat dengan suasana pedesaan. Sehingga lokasi yang dipilih untuk masjid didirikan sekarang, lengkap dengan segala fasilitas pesanggrahan didasarkan atas kaidah – kaidah tersebut. Atau masjid dan kentongan tersebut dibangun oleh masyarakat desa sekitar atas prakarsa Sunan Paku Buwono X. Hal ini tampak pada arsitektur masjid yang sederhana mulai dari ukiran – ukirannya bahkan bedug, kentongannya sendiri yang tampak polos dan bersahaja termasuk gawangannya. Lalu, bagaimana dengan Yasadipura II yang dimakamkan dibelakang masjid, apakah masjid dan pesanggrahan itu digunakan untuk menghormati pujangga kenamaan tersebut. Masjid dan pesanggrahan digunakan untuk singgah sementara setelah berziarah yang tentunya dilakukan oleh keluarga Keraton. Mengingat terdapat sebuah teori bahwa makam memang berkaitan erat dengan sumber – sumber air sehingga memang lokasi tersebut sengaja dipilih sebagai Makam Yasadipura II yang meninggal pada tahun 1884 masehi sedangkan masjid dibangun pada tahun 1838 dengan jenis tahun yang belum diketahui. Diperlukan riset yang lebih mendalam dengan sumber – sumber yang lebih memadai untuk dapat menarik kesimpulan dengan lantang di balik maksud dari ungkapan rahayan ning rurasthi diatas. Penulis sangat berharap akan kritikan dari pembaca barangkali terdapat kesalahan dalam membaca aksara yang terdapat pada gawangan kentongan bagian atas maupun kesahan dalam memberikan arti dari bacaan untuk kemajuan tulisan ini. Mengingat masih kental dengan suasana lebaran, penulis mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1441 Hijriyah, mohon maaf lahir dan batin.

[1] Wadah menggantung kentongan

[1] Kolam pemandian.

[2] Tempat untuk Raja bersantai, menerima tamu, dan sarana meditasi sehingga erat dengan kesan sakral dan sunyi.

[4] Kemuncak sebuah bangunan (masjid)

 

Editor :

Candrika Ilham Wijaya (Arkeologi 2019)

Hot Marangkup Tumpal (Arkeologi 2018)

 

Referensi:

Handinoto dan Hartono. 2007. Pengaruh Pertukangan Cina pada Bangunan Masjid Kuno di Jawa Abad 15 – 16. Dalam Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Vol. 35, No. 1, Edisi Juni 2007. Hlmn 23 – 40.

Isneni, Hendri F. Tanpa tahun. Tak – Tak – Tak, Dung, Ini Sejarah Bedug. Dalam Artikel Historia.id, diakses pada tanggal 21 Mei 2020.

Saputro, Christian. 2019. Hikayat Bedug Dari Cengho hingga Menjadi Ikon Islam Nusantara. Dalam Artikel Alif.id, diakses tanggal 21 Mei 2020.

 

Incoming search terms:

Pemerintah Kolonial dalam Menangani Wabah Penyakit

Menelaah respon pemerintah kolonial terhadap epidemi di Jawa pada abad-20 dari perspektif arkeologi

Pada masa kolonial, ada beberapa epidemi/wabah yang penyebarannya cukup membuat khawatir pemerintah kolonial di Indonesia karena penyebarannya yang masif dan tidak adanya obat pada masa itu yang mampu menyembuhkan penyakit tersebut. Wabah-wabah tersebut diantaranya adalah Cacar, Kusta, Pes, Malaria, Kolera, dan Tuberculosis/TBC. Penanganan terhadap masing-masing wabah dilakukan sesuai dengan jenis penyebabnya, perantaranya, serta ketersediaan pengobatan terhadap wabah yang ada pada saat itu, sehingga setiap wabah memiliki cara penanganan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.

“Tingkat keparahan wabah bergantung pada letak geografis, keadaan sanitasi, kesadaran hidup bersih dari masyarakat setempat, dan kemajuan transportasi pada masa itu,” kata Lengkong Sanggar Ginaris, mahasiswa program magister arkeologi Universitas Gadjah Mada dalam diskusi via aplikasi zoom tentang “Pemerintah Kolonial dalam Menangani Wabah Penyakit” yang diselenggarakan oleh Divisi P3M HIMA, Minggu, 17 Mei 2020.

Lengkong menjelaskan pada awalnya pelayanan kesehatan di Indonesia dikhususkan untuk kepentingan militer karena jauh lebih banyak prajurit yang meninggal di barak daripada di medan tempur. Pelayanan kesehatan ini dilakukan oleh Geneeskundige Dienst. Pada 1911, Geneeskundige Dienst dipecah menjadi Burgerlijke Geneeskundige Dienst untuk melakukan pelayanan kesehatan kepada masyarakat sipil. Burgerlijke Geneeskundige Dienst kemudian berubah nama menjadi Dienst der Volkgezondheid pada 1927. Tugas-tugas Dienst der Volkgezondheid meliputi perencanaan program kesehatan secara intensif; tindakan-tindakan karantina; manajemen rumah sakit umum dan klinik rawat jalan; penelitian obat dan nutrisi; produksi vaksin; pelatihan dokter umum, dokter gigi, perawat, bidan, vaksinator, dan paramedis lainnya; serta pengumpulan semua laporan statistik kesehatan di seluruh wilayah Indonesia.

Dalam melakukan penanganan wabah, pemerintah kolonial juga bekerjasama dengan lembaga-lembaga swasta, seperti institut penelitian, zending, dan misionaris. Berbagai sarana-prasarana dan kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah kolonial dalam rangka menangani wabah penyakit. Sarana dan prasarana penanggulangan wabah yang dibangun oleh pemerintah kolonial diantaranya adalah rumah sakit, tempat karantina, pabrik obat & vaksin, laboratorium, pembenahan rumah tinggal, saluran drainase tertutup, dan jaringan pipa air bersih. Beberapa bangunan tersebut masih dapat kita jumpai pada saat ini.

Rumah sakit pertama di Indonesia dibuka oleh VOC di Batavia pada 1 Juli 1626 untuk kepentingan militer. Sedangkan rumah sakit sipil pertama didirikan pada 1640 untuk masyarakat Tionghoa di Batavia. Selama abad ke-19, pemerintah kolonial lebih banyak membangun rumah sakit militer yang dibangun di kota-kota garnisun militer, seperti Cimahi, Magelang, Ambarawa, Purworejo, Malang, Gombong, dan Ngawi. Di luar kota-kota garnisun militer, rumah sakit atau poliklinik dibuka oleh zending, misionaris, atau perusahaan perkebunan dan pertambangan. Pembukaan rumah sakit oleh lembaga-lembaga tersebut selain untuk pelayanan kesehatan, juga untuk kepentingan penyebaran agama (bagi zending dan misionaris) atau untuk menjaga produktivitas buruh (bagi perusahaan perkebunan dan pertambangan). “Karena apabila buruh sakit maka produktivitas perusahaan juga akan menurun,” ungkap Lengkong.

Pada abad ke-19, didirikan Stadsverbandhuis yang menjadi cikal bakal rumah sakit umum di kota-kota besar sekarang. Kemudian, pada abad ke-20 dibentuk pula Centrale Burgelijke Zikeninrichting di Semarang, Surabaya, dan Batavia. Diantara ketiganya, Centrale Burgelijke Zikeninrichting di Batavia adalah yang paling besar. Kini, Centrale Burgelijke Zikeninrichting Batavia berubah menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Selain rumah sakit, di Batavia juga didirikan laboratorium yang kini menjadi Lembaga Eijkman, serta sekolah calon dokter yang kini menjadi FK UI.

Komplek rumah sakit pemerintah kolonial terdiri dari bangsal perawatan yang dipisahkan untuk orang Eropa dan pribumi, kamar operasi, kamar jenazah, kantor staf, rumah dinas dokter/perawat, binatu, dan dapur. Rumah sakit pada masa itu terlihat seperti barak militer, dimana pasien-pasien dirawat di bangsal memanjang tanpa ada sekat pemisah. Kondisi yang sebenarnya justru akan membuat penularan penyakit menjadi semakin mudah, baik dari pasien ke pasien lainnya maupun dari pasien ke tenaga medis. Rumah sakit-rumah sakit pemerintah kolonial kebanyakan berada di kota-kota besar seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya, sehingga pelayanan kesehatan di kota-kota yang lebih kecil seringkali mengalami ketertinggalan. Lembaga-lembaga swasta seperti zending, misionaris, atau perusahaan-perusahaan perkebunan kemudian mengisi kekosongan tersebut dengan membangun rumah sakit-rumah sakit di kota-kota yang lebih kecil, meski dengan kepentingannya sendiri-sendiri.

Kebijakan selanjutnya dari pemerintah kolonial dalam menangani wabah adalah melakukan vaksinasi. Beberapa penyakit seperti cacar dan pes memang dapat ditanggulangi dengan vaksin. Dasar hukum vaksinasi cacar dikeluarkan oleh pemerintah kolonial pada 1820 melalui ‘Peraturan Pelaksanaan Vaksinasi Cacar’ atau ‘Reglement op de uitoefening der koepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie’.

Vaksin cacar dibuat dengan mengambil bibit virus cacar sapi yang tidak membahayakan manusia. Pembuatan vaksin pertama di Hindia Belanda dilakukan oleh dr. A. Schuckink Kool di Meester Cornelis (Jatinegara) pada 1884. Pada 1890 Rumah Sakit Tentara Weltevreden-Batavia ditunjuk sebagai tempat pembuatan vaksin (Parc Vaccinogen atau Landskoepok Inrichting). Kemudian, institut pembuatan vaksin pemerintah dipindah ke Bandung. Pada 1896, Institut Pasteur dari Prancis juga membuka cabangnya di Bandung. Akhirnya, dibangun gedung pabrik pembuatan vaksin cacar Instituut Pasteur di Bandung pada 1918 (kini menjadi kantor PT. Biofarma).

Sasaran vaksinasi adalah penduduk pribumi yang sering berkontak dengan orang Eropa; orang Eropa yang baru tiba di Indonesia; bayi berusia 6-9 bulan; serta tentara, kuli kontrak, dan tahanan. “Mereka juga turut divaksin untuk mencegah penyebaran penyakit di perumahan pekerja, penjara, maupun barak militer,” kata Lengkong.

Pelaksanaan vaksinasi dilakukan oleh seorang Inspektur yang berada di setiap karesidenan. Setiap minggu, inspektur melakukan vaksinasi di tempat ia ditugaskan atau di daerah-daerah sekitarnya. Apabila tempat yang dituju terlalu jauh, maka tugas vaksinasi dilakukan oleh mantri suntik (vaccinateur) pribumi yang sudah dilatih. Pelatihan terhadap para mantri pribumi ini kemudian melahirkan sebuah sekolah yang kita kenal dengan nama STOVIA. Setiap 7 tahun sekali, tiap kampung/desa akan didatangi oleh mantri cacar, dimana penduduk yang hendak divaksin dikumpulkan oleh Wedana atau Demang setempat. Hasilnya, pada 1930 bayi yang sudah divaksin di Jawa, Madura, Bali, dan Lombok telah mencapai 1.279.401 bayi. Bahkan, pada tahun 1928, angka kematian akibat cacar di Jawa dan Madura tidak lebih dari 11 orang.

Pada abad ke-19, khasiat kina sebagai obat malaria ditemukan dan semenjak saat itu tanaman ini menjadi andalan dalam menangani penyakit malaria di Indonesia dan dunia. Kina sebenarnya bukan merupakan tanaman asli Indonesia, melainkan dari Amerika Latin. Kina pertama kali dibawa ke Indonesia oleh Junghuhn pada 1854 dan ditanam di perkebunan kina milik pemerintah di Bandung Selatan. Sejak 1872, perkebunan milik swasta juga diperbolehkan untuk menanam kina. Pada awalnya, kulit kayu kina yang menjadi bahan baku obat malaria masih perlu dibawa ke Eropa untuk diolah menjadi obat. Namun, akibat murahnya harga kulit kayu kina sementara harga obat menjadi mahal, maka diputuskan agar kina diproduksi di Indonesia. Pabrik kina pertama di Indonesia didirikan di Bandung pada 1897 dan menjadi 1 dari hanya 12 pabrik kina yang ada di dunia.

Kebijakan berikutnya dari pemerintah kolonial dalam menangani wabah adalah membangun tempat-tempat karantina. Pada saat itu, penyakit seperti kusta dan TBC belum bisa ditangani secara maksimal karena masih terbatasnya pengetahuan dunia medis sehingga satu-satunya jalan adalah mengkarantina penderita di suatu tempat yang jauh dan terpisah dari penduduk sehat.

“Misalnya, para kuli kontrak dari Tionghoa sebelum dipekerjakan di perkebunan diharuskan untuk menjalani karantina selama 40 hari. Setelah dinyatakan bebas dari penyakit, mereka baru diperbolehkan untuk bekerja,” imbuh Lengkong.

Setiap penyakit memiliki tempat karantinanya masing-masing. Tempat karantina khusus untuk penderita kusta dinamakan Leprosie. Yang menarik adalah, Leprosie dibangun semirip mungkin dengan pemukiman warga biasa dengan fasilitas selengkap mungkin, mulai dari klinik, tempat penggilingan beras, sekolah, hingga gereja. Salah satu bekas Leprosie yang masih dapat dijumpai ada di Sumatera Utara. Bagi penderita TBC, karantina dilakukan di tempat yang disebut Sanatorium. Sanatorium dibangun di dataran tinggi atau pegunungan karena adanya anggapan bahwa TBC dapat disembuhkan apabila pasien dipindahkan ke tempat yang udaranya bersih seperti daerah dataran tinggi atau pegunungan.

Kebijakan selanjutnya yang ditempuh oleh pemerintah kolonial dalam menanggulangi wabah adalah peningkatan sanitasi. Wabah seperti kolera terjadi karena banyak penduduk yang masih BAB sembarangan sehingga mencemari air tanah. Merebaknya wabah kolera menjadi pertimbangan pemerintah kolonial untuk meningkatkan sanitasi perkotaan melalui Hygienische Technische Diensten. Peningkatan sanitasi yang dilakukan pemerintah kolonial diantaranya adalah pemasangan jaringan air keran; pembuatan MCK umum; dan pembuatan saluran limbah rumah tangga.

“Bangunan tinggalan Belanda yang berkaitan dengan sarana air bersih yang masih dapat kita jumpai saat ini, seperti tempat penampungan air, tempat mesin pompa, atau MCK, sebenarnya merupakan upaya pemerintah kolonial untuk memerangi wabah kolera,” tutur Lengkong.

Kebijakan berikutnya yang ditempuh oleh pemerintah kolonial dalam menangani wabah penyakit adalah pembenahan perkampungan dan rumah penduduk pribumi. Kondisi rumah penduduk yang saat itu masih menggunakan atap daun, tiang bambu, dan anyaman bambu dinilai buruk untuk kesehatan karena minim penerangan, sirkulasi udara tidak terkendali, dan menjadi sarang tikus yang merupakan sumber wabah pes, sehingga penyebaran wabah pes dan wabah-wabah lainnya semakin meluas. Kebijakan ini menargetkan rumah-rumah yang terletak di wilayah perkampungan urban dikarenakan kondisi lingkungannya lebih buruk dibandingkan perkampungan rural atau pedesaan. Pada akhir tahun 1928, sudah ada 1.021.000 rumah yang diperbaiki oleh pemerintah kolonial melalui kebijakan ini. Proyek pembenahan perkampungan pribumi ini juga menjadi pemicu tumbuhnya industri genteng dan bata di berbagai daerah, seperti Sokka (Kebumen) dan Jatiwangi (Cirebon) dikarenakan permintaan terhadap produk-produk tersebut yang semakin tinggi selama berlangsungnya kebijakan ini.

“Jadi, sebelum abad ke-20, rumah penduduk masih terbuat dari daun, ijuk, dan kayu. Kemudian, setelah wabah, mulai muncul kebiasaan untuk membangun rumah dengan bahan-bahan yang lebih ramah untuk kesehatan seperti genteng dan bata,” ungkap Lengkong. Selain itu, jarak antar rumah juga mulai diatur agar sirkulasi udara dan sinar matahari dapat berlangsung dengan baik. Pembenahan perkampungan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah. Perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan buruh pribumi, seperti perusahaan gula, perusahaan kereta api, atau perusahaan perkebunan, juga turut melakukan pembenahan terhadap pemukiman buruhnya.

Sebuah rumah dapat dikatakan sebagai rumah sehat apabila memenuhi setidaknya empat kriteria, yaitu penerangan cukup, sirkulasi udara baik, antar rumah memiliki jarak, serta bagian dalam rumah yang tidak lembab. Oleh karena itu, rumah pada masa kolonial dibangun dengan jendela yang besar dan tinggi agar sinar matahari dan udara dapat tersirkulasikan dengan baik. Kemudian, rumah pada masa kolonial banyak yang memiliki dinding yang terbuat dari lapisan batu kali pada bagian luarnya. Hal ini bertujuan agar air yang terdapat pada dinding dapat terserap oleh batu kali tersebut sehingga bagian dalam rumah tidak menjadi lembab.

Upaya lainnya yang dilakukan pemerintah kolonial dalam menangani wabah penyakit adalah pemberantasan sarang nyamuk. Seperti yang kita ketahui, sumber air yang terbuka, terutama yang tidak mengalir atau alirannya lambat, merupakan sarang yang ideal bagi perkembangbiakan nyamuk. Oleh karena itu, pada akhir abad ke-19, pusat-pusat kegiatan orang Eropa yang ada di pesisir utara seperti Batavia dan Semarang mulai memindahkan pemukimannya dari yang awalnya berada di dekat laut menjadi bergeser ke arah selatan. Proyek pemberantasan sarang nyamuk oleh pemerintah kolonial ini meliputi beberapa program yang berupa, pengeringan kolam; pembuatan saluran drainase tertutup; menghubungkan kolam ikan air asin dengan laut; pemeliharaan saluran air dengan baik; penanaman padi secara serentak di persawahan yang airnya berasal dari saluran yang sama; mengeringkan sawah yang tidak digarap dalam dua masa penanaman; menanam tepi aliran/anak sungai dengan tumbuhan yang rindang untuk menutupi air dari sinar matahari; serta memasukkan ikan tawes dan ikan kepala timah ke dalam kolam untuk memakan bibit-bibit nyamuk malaria.

Selain itu, pemerintah kolonial juga menyebarkan selebaran-selebaran yang isinya mengajak pada penduduk untuk menjalani hidup sehat, seperti yang dilakukan pemerintah kolonial pada saat wabah flu spanyol merebak di Indonesia. Kebijakan ini terpaksa ditempuh oleh pemerintah kolonial karena mereka sebenarnya juga tidak tahu apa sebenarnya penyakit flu spanyol dan bagaimana cara penanganannya. Dikarenakan gejalanya yang mirip dengan masuk angin, maka pemerintah kolonial hanya bisa memberikan himbauan kepada para penduduk untuk menjalani hidup sehat.

Pemerintah kolonial sebenarnya juga sempat mengeluarkan kebijakan lockdown dalam rangka menanggulangi wabah penyakit. Namun sayangnya, kebijakan ini diprotes oleh para pengusaha yang ingin menjalankan usahanya kembali, seperti yang terjadi di Malang. Akhirnya, pemerintah kolonial memenuhi tuntutan para pengusaha tersebut dan mencabut kebijakan lockdown yang sebelumnya mereka terapkan.

Secara keseluruhan, upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat Indoensia baru mendapat perhatian dari pemerintah kolonial pada awal abad ke-20. Merebaknya berbagai wabah penyakit dan tingginya angka kematian yang disebabkan oleh wabah-wabah tersebut menyebabkan pemerintah kolonial mulai memberikan perhatian pada sektor kesehatan di tanah jajahan. Hal ini ditunjukkan dengan dibangunnya berbagai sarana dan prasarana kesehatan serta dijalankannya berbagai kebijakan yang bertujuan untuk menanggulangi wabah penyakit. Upaya penanggulangan wabah penyakit tidak hanya difokuskan untuk kalangan Eropa saja, melainkan untuk semua kalangan yang ada di Indonesia. Meski pada kenyataannya, masih ada sedikit penggolongan kelas seperti yang ditunjukkan dalam pembagian bangsal rumah sakit yang dipisahkan antara orang Eropa dengan orang pribumi.

Dalam kaitannya dengan wabah corona yang sedang merebak saat ini, dapat diambil refleksi bahwa pemerintah kolonial memisahkan orang-orang sakit dari orang-orang sehat, seperti yang ditunjukkan dengan pembangunan tempat-tempat karantina dan rumah sakit-rumah sakit khusus untuk penyakit tertentu. Hal ini sebenarnya juga masih dapat diterapkan pada kondisi saat ini, dimana pemerintah dapat membangun tempat karantina dan rumah sakit khusus untuk para pasien Covid-19 sehingga penularan dan penyebaran penyakit tersebut dapat ditekan. Selain itu, hal ini juga bertujuan agar penanganan rumah sakit-rumah sakit terhadap penyakit-penyakit lainnya masih dapat berjalan dengan optimal.

Oleh : Muhammad Azzam Al Haq (Arkeologi 2019)

Editor : Candrika Ilham Wijaya (Arkeologi 2019)

Incoming search terms: