Mengenal Diatom dalam Kajian Arkeologi Mikroskopik

Tulisan karya : M. Dziyaul F. Arrozain (Arkeologi 2017)

Apa kesan kalian saat membaca kata “mikrofosil” di artikel-artikel arkeologi? Tidak dipungkiri sebagian dari kita telah familiar dengan beberapa jenis mikrofosil, seperti serbuk sari (pollen), pati (starch), dan bahkan fitolit (fitolit). Ketiga hal tersebut memang merupakan mikrofosil yang sering digunakan dalam riset arkeologi. Tapi tahukah kalian, selain ketiga mikrofosil tersebut ternyata juga ada mikrofosil lain yang ikut berperan signifikan dalam riset arkeologi? Iyaa, mikrofosil itu adalah diatom (diatom).

Diatom adalah organisme yang hanya mempunyai satu sel atau dikenal juga organisme bersel tunggal. Ukuran diatom sangat bervariasi, mulai dari 2 – 200 mikrometer (μm). Anyway, diatom juga masih tergolong alga, lho! Dalam sistem klasifikasi makhluk hidup lima kingdom (kerajaan), diatom tergolong organisme dari kingdom Protista. Ia tergolong protista yang menyerupai tumbuhan dikarenakan mempunyai klorofil yang berguna untuk proses fotosintesis. Artinya, diatom masih sepupu dari rumput laut, cuma ukurannya sangat mini! Tapi akhir-akhir ini, diatom sudah ganti kingdom. Waduhh! Iya, sistem klasifikasi lima kingdom sudah mulai ditinggalkan dan diganti oleh sistem tiga domain – fyi, kedudukan domain di atas kingdom sehingga jumlah kingdom dalam sistem ini ada banyak. Nah di sistem baru ini, diatom dimasukkan ke dalam Domain Eukaryota dengan Kingdom Chromalveolata [1] [2] (Gambar 1.).

Gambar 1. Tabel Klasifikasi Diatom. (Diakses dari https://www.newworldencyclopedia.org/entry/Diatom).
Gambar 1. Tabel Klasifikasi Diatom. (Diakses dari https://www.newworldencyclopedia.org/entry/Diatom)

Meskipun hanya mempunyai satu sel, diatom juga mempunyai bagian-bagian tubuh. Diatom mempunyai inti sel (nucleus), badan golgi (golgi complex), mitokondria (mitochondria), pirenoid (pyrenoid), kromatofor (chromatophore), dinding sel (cell wall), vakuola (vacuoles), dan cytoplasmic strand [3]. Seperti yang disinggung sebelumnya, diatom juga memiliki kloroplas (chloroplast) dalam klorofil yang membuatnya dapat berfotosintesis dan menghasilkan energi secara mandiri (autotroph).

Di antara bagian-bagian yang sudah disebutkan di atas, ada lagi bagian dari diatom yang sangat signifikan, lho! Itulah dinding sel. Dinding tersebut menyelubungi seluruh bagian diatom. Dinding sel terbentuk dari zat silika dan dilapisi zat pektin. Dikarenakan tersusun dari zat silika, maka dinding ini cukup kokoh untuk melindungi diatom dari kerusakan eksternal. Ia seolah-olah menjadi “baju zirah”nya diatom. Selain itu juga, melalui dinding yang bersilika tersebut, diatom juga memiliki warna yang cukup transparan. Hal tersebut berguna untuk membantu proses fotosintesis sebagai medium masuknya sinar matahari.[4].

Oh yaa, diatom secara umum dibedakan menjadi dua bentuk (morfologi), yakni centrales dan pennales[5]. Diatom centrales memiliki ciri bentuk sel yang simetri radial, serta hidup secara planktonic – melayang-layang di tubuh air. Sedangkan, diatom pennales mempunyai sel bersimetri bilateral yang biasanya berbentuk memanjang, serta hidup secara bentik atau mendiami dasar perairan.

“Kalau diatom mirip alga tumbuhan, apakah ia juga tinggal di laut seperti rumput laut?” Hmm, pertanyaan yang menarik. Diatom diketahui tinggal di lingkungan berair. Artinya, Ia mempunyai habitat bukan hanya di laut, melainkan juga di danau, sungai, kolam, rawa, dan lain-lain. Bahkan beberapa diatom diketahui mempunyai habitat di lingkungan tanah. Tetapi, mesti di lingkungan tanah yang memiliki tingkat kelembaban dan kadar air yang tinggi[6]. Dapat dikatakan diatom ini spesialisasi organisme lingkungan air. Oleh karena itu, keberadaan diatom sering dianggap sebagai indikator lingkungan yang berair. Lantas, apakah diatom menjadi indikator saat masih hidup atau sudah mati?

Seringnya sih, diatom digunakan sebagai indikator lingkungan saat sudah mati. Alasannya sederhana. Saat masih hidup, diatom masih tinggal di habitat berair yang relatif masih dapat kita lihat atau justifikasi dengan jelas. Namun saat telah mati, keberadaan “fosil” diatom sangat signifikan sebagai indikator tersebut.

Signifikansi fosil diatom tidak lepas dari tafonominya di suatu lingkungan. Saat diatom sudah mati, Ia akan terendapkan di dasar lingkungan berair dan mulai mengalami dekomposisi. Organel-organel sel diatom akan terurai, kecuali dinding sel. Masih ingat dengan dinding sel diatom? Dikarenakan terbentuk dari silika yang merupakan zat anorganik, maka dinding sel tersebut tidak dapat terurai oleh dekomposer. Kondisi ini membuat dinding-dinding sel diatom dapat terpreservasi dengan baik. Selain itu, bentuknya yang seperti baju zirah memungkinkan Ia menduplikasi bentuk morfologi sel diatom secara keseluruhan. Oleh sebab itu, dinding sel tersebut merepresentasikan bentuk asli diatom. Kalau diingat-ingat, proses tersebut mirip dengan tafonomi yang dialami fitolit (phytolith) yang sama-sama duplikasi silika dari dinding sel tumbuhan.

Oleh karena keberadaannya yang sangat signifkan ini, beberapa ahli mulai mencoba mengembangkannya lebih luas dari ranah geosains (geosciance), salah satunya arkeologi. Apa saja aplikasi diatom dalam kajian arkeologi? Iya, sudah dapat ditebak. Diatom dapat merekonstruksi kondisi lingkungan purba (palaeoenviroment) situs. Analisis tersebut dilakukan melalui justifikasi keberadaan diatom dalam tiap layer sedimen kotak galian. Akumulasi dan identifikasi diatom, serta justifikasi secara geologi akan merepresentasikan adanya perubahan lingkungan pada situs tersebut[7]. Dalam melakukan analisis tersebut, tidak jarang ditemukan mikrofosil lain lho, seperti fitolit dan serbuk sari (Gambar 2.). Tentunya, elaborasi dengan kedua mikrofosil tersebut dapat mempertajam interpretasi mengenai rekonstruksi lingkungan purba.

Gambar 2. Diatom diantara fitolit dari sedimen Situs Gua Kidang, Blora dengan perbesaran 400x). (Dok. HIMA/M. Dziyaul F. Arrozain)
Gambar 2. Diatom diantara fitolit dari sedimen Situs Gua Kidang, Blora dengan perbesaran 400x). (Dok. HIMA/M. Dziyaul F. Arrozain)

Selain kajian rekosntruksi lingkungan, diatom juga dapat merekosntruksi budaya irigasi kuna. Riset yang dilakukan di layer endapan pertanian di La Quemada, Meksiko mendapatkan adanya akumulasi diatom air tawar tipe perairan dangkal dengan oksigenisasi yang baik. Hal tersebut terjustifikasi dari adanya pemanfaatan air sungai dan kolam sebagai sumber air untuk irigasi pertanian[8]. Diatom juga berperan sebagai indikator asal sumber bahan baku tanah liat gerabah (sourcing). Meskipun cukup rumit dan tidak semua lempung mengandung diatom, namun beberapa gerabah dapat dijustifikasi keberadaan diatomnya melalui lempung maupun residu permukaan, serta diidentifikasi jenisnya[9]. Analisis tersebut dapat melengkapi analisis sourcing dari kajian petrogafi.

Melihat beragamnya aspek budaya yang dapat direkosntruksi melalui diatom, bukan tidak mungkin kajian mikrofosil ini dapat berkembang lebih intensif ke depannya, terutama di wilayah yang cukup “basah” seperti Indonesia. Banyaknya aktivitas budaya yang berkaitan dengan air atau memanfaatan lingkungan perairan yang dilakukan sejak dahulu, memberikan peluang besar untuk dikaji melalui diatom. Meskipun terkadang diatom tidak dapat menginterpretasikan secara komprehensif, namun dapat dilengkapi melalui elaborasi dengan temuan mikrofosil lainnya. Yang harus diingat juga, sebagai arkeolog, tetap memperhatikan konteks arkeologi maupun konteks sistem, serta meminimalisir terjadinya bias data. Dengan begitu, diatom akan dapat memberikan hasil rekonstruksi budaya yang akurat dan komprehensif. Bagaimana, diatom itu menarik bukan?

Editor :

Candrika Ilham Wijaya (Arkeologi 2019)

Hot Marangkup Tumpal (Arkeologi 2018)

Referensi:

[1] Medlin, L.K. (2011). “A Review of the Evolution of the Diatoms from the Origin of the Lineage to Their Populations”. In Seckbach, J & J.P. Kociolek (eds) Cellular Origin, Life in Extreme Habitats and Astrobiology Vol.19: The Diatom World. New York: Springer. Hlm. 95-122.

[2] New World Encyclopaedia. Diatom. Diakses dari https://www.newworldencyclopedia.org/entry/Diatom.

[3] Julius, M.L. & E.C. Theriot (2010). “The diatoms: a primer”. In J.P. Smol & E.F. Stoermer (eds) The Diatoms: Applications for the Environmental Earth Sciences. Cambridge: Cambridge University Press. Hlm. 11-13.

[4] Sabater, S. (2009). “Diatoms”. In G.E. Likens (ed) Encyclopaedia of Inland Water. London: Academic Press. Hlm. 149.

[5] Nugroho, S.H. (2019). “Karakteristik Umum Diatom dan Aplikasinya pada Bidang Geosains”. Oseana. Vol. 44. No. 1. Page:72-73; Taylor, J.C. et al (2007). An Illustrated Guide to Some Common Diatom Species from South Africa. Water Research Commission. Hlm. xv-xviii.

[6] Sheath, R.G. & J.D. Wehr (2015) “Introduction to freshwater Algae”. In J.D. Wehr et al Freshwater Algae of North America 2nd. London: Academic Press. Hlm. 9.

[7] Ognjanova-Rumenova, N (2008). “Palaeoenvironment and Archaeology: The Use of Diatom Analysis in Archaeology”. Geoarchaeology and Archaeomineralogy. Proceedings of the International Conference, 29-30 October 2008 Sofia, Publishing House “St. Ivan Rilski”, Sofia. Hlm. 291-294.

[8] Weiner, S. (2010). Microarchaeology: Beyond the Visible Archaeological Record. Cambridge: Cambridge University Press. Hlm. 150.

[9] Kligmann, D.M. (2012). “Diatoms and Ceramic Provenance: A Cautionary Tale”. Archaeometri. 54 (1). Hlm. 129-143. DOI: 10.1111/j.1475-4754.2011.00609.x

 

Incoming search terms:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.