Upacara Adat Saparan Bekakak sebagai Warisan Budaya dari Kraton Ambarketawang

Farizza Nur Styanto

Pendahuluan 

Setiap satu tahun sekali, tepatnya pada hari Jumat minggu kedua di bulan Safar berdasarkan penanggalan Hijriah, pemerintah Kalurahan Ambarketawang yang terletak di Kapanewon Gamping mengadakan rangkaian Upacara Adat Saparan Bekakak. Pada tahun 2025, upacara tersebut dilaksanakan pada tanggal 7 dan 8 Agustus melalui beberapa rangkaian kegiatan. Pada hari pertama diadakan Malam Midodareni, Pentas Macapat, dan Pagelaran Wayang Kulit. Memasuki hari kedua diadakan Karawitan, Upacara Saparan Bekakak, hingga Kirab Saparan Bekakak yang ditutup dengan penyembelihan Bekakak dan dibagikan kepada masyarakat di Gunung Gamping

Mengenal Gunung Gamping 

Sesuai namanya, di Kapanewon Gamping terdapat cagar alam berupa batu gamping yang diperkirakan terbentuk 50 juta tahun lalu yang terletak di Dusun Tlogo, Ambarketawang (Istanto, 2018). Hingga pada tahun 1937, Gunung Gamping masih berdiri utuh dan memanjang. Namun dikarenakan adanya kegiatan pertambangan, Gunung Gamping semakin mengecil dan hanya tersisa sebongkah batu kapur besar. Di dekat monumen ini, pernah berdiri bangunan bersejarah Kraton Ambarketawang dan merupakan tempat diadakannya puncak upacara adat Saparan Bekakak. 

Sejarah Berdirinya Kraton  Ambarketawang 

Dengan adanya Perjanjian Giyanti yang memisahkan Kasultanan Mataram Islam menjadi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasultanan Pakualaman, dibagikanlah tanah kepada Pangeran Mangkubumi di sebelah barat. Karena Pangeran Mangkubumi belum mempunyai istana sebagai pusat pemerintahan, maka pada tanggal 9 Oktober 1755 Pangeran Mangkubumi memerintahkan Adipati Jayaningrat untuk membuat kraton sementara di wilayah yang dinamakan Ambarketawang (tanggal inilah yang dipilih untuk menjadi hari lahirnya Kalurahan Ambarketawang).

Nama Ambarketawang diambil dari nama Ambar yang berarti harum dan ka-tawang yang berarti tinggi. Sehingga  Ambarketawang dapat diartikan sebagai tempat yang tinggi dan harum (Nusarini dan Marwati, 2014). Pemilihan tempat ini dikarenakan memiliki pertahanan alami yang kuat berupa Gunung Gamping yang memanjang di sisi tenggara (Putra dan Kumalasari. 2017). Selain itu, batuan gamping yang ada disini juga dipakai untuk bahan pembangunan Benteng Keraton Yogyakarta. Berdasarkan folklore yang berkembang masyarakat, dahulunya tempat ini disebut sebagai Purapara dan telah ada sejak masa Mataram Kertasura. Purapara sendiri berarti tempat untuk singgah bagi orang-orang yang sedang bepergian ataupun berburu (Jogjacagar, 2016).

Latar Belakang Perkembangan Upacara Adat Saparan Bekakak 

Keberadaan Kraton Ambarketawang menjadi latar belakang munculnya upacara adat Saparan Bekakak yang rutin diadakan setiap setahun sekali pada saat bulan Sapar pada penanggalan Jawa. Upacara ini diusulkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I untuk menghormati Kyai Wirasuta dan istrinya, Nyai Wirasuta. Kyai Wirasuta adalah seorang Abdi Dalem Penangsong, yakni seorang pengikut yang membawa payung kebesaran dan mengikuti Sri Sultan Hamengkubuwono I kemanapun pergi (Tashadi, dkk. 1992).

Saat Kraton Yogyakarta jadi, Kyai Wirasuta tidak mengikuti sultan untuk pindah. Beliau dan keluarga memilih tinggal untuk merawat Kraton Ambarketawang dan memelihara hewan-hewan ternak. Tetapi pada suatu saat, Kyai Wirasuta dan Nyai Wirasuta tertimpa oleh reruntuhan batuan gamping dan jasadnya tidak ditemukan. Sultan kemudian mengusulkan upacara adat Bekakak untuk mendoakan Kyai Wirasuta dan Nyai Wirasuta serta memohon keselamatan bagi masyarakat di Ambarketawang (Boli. 2022).

Bekakak memiliki makna sebagai pengorbanan manusia atau hewan, tetapi upacara ini tidak menggunakan manusia ataupun hewan sungguhan. Melainkan menggunakan dua pasang patung yang terbuat dari tepung beras ketan dan berisi gula merah dengan bentuk pengantin dengan ornamen masing-masing bergaya khas Yogyakarta dan Surakarta. Pasangan pengantin tersebut merepresentasikan Kyai Wirasuta dan Nyai Wirasuta sebagai cikal bakal dari penduduk Ambarketawang (Boli, 2022).

 

 

Tata Upacara Adat Saparan Bekakak 

‎Terdapat beberapa hal khusus untuk membuat Bekakak, bahan dibuat oleh para perempuan dan yang membentuk Bekakak adalah laki-laki. Selain bekakak, dibuat juga pendampingnya seperti ogoh-ogoh, kembang mayang, sajen-sajen, hingga gunungan. Proses Upacara Saparan Bekakak sendiri dimulai dari Midodareni, Kirab Bekakak, Penyembelihan Bekakak, dan Sugengan Ageng. Sebelum kirab dimulai, pada malam sebelumnya dua pasang pengantin bekakak dimasukkan ke jali dan jodhang berisi sesaji diikuti sepasang suami istri gendruwo yang diberangkatkan ke balai desa Ambarketawang dengan arak-arakan.

 

‎Keesokan harinya setelah waktu Ashar, berbagai berbagai kalangan masyarakat, terutama warga Kapanewon Gamping berkumpul untuk melaksanakan arak-arakan berkeliling Ambarketawang. Kirab Bekakak memiliki rute awal Lapangan Ambarketawang Gamping dan berakhir di Gunung Gamping. Di sinilah kedua pasangan pengantin akan disembelih dan potongannya akan dibagikan ke masyarakat beserta sesaji dan gunungan yang sebelumnya telah telah diarak bersamaan. Selain itu diadakan beberapa kegiatan lain berupa berbagai pentas seni tradisional yang bertujuan untuk melestarikan kebudayaan Jawa dan meningkatkan antusiasme masyarakat.

 

Keadaan Kraton Ambarketawang di Masa Kini 

Saat ini, situs Petilasan Kraton Ambarketawang menyisakan reruntuhan tembok setebal 60 cm. Di sebelah utara terdapat urung-urung (saluran air) yang mengarah ke selatan, menuju wilayah yang dulunya bernama Kestalan. Nama Kestalan ini berasal dari kata staal yang dalam bahasa Belanda berarti kandang kuda. Hal ini menandakan bahwa wilayah Kestalan ini difungsikan sebagai kandang kuda dan penyimpanan kereta (Tashadi, dkk. 1992). Wilayah Kestalan ini sekarang telah menjadi wilayah dari dusun Tlogo RT 01.

Tlogo dalam bahasa Jawa berarti telaga, menandakan adanya sebuah telaga yang pernah ada di daerah ini. Diperkirakan air dari telaga ini yang mengairi urung-urung tersebut. Keberadaan telaga pernah dibuktikan pada tahun 1972, Bapak CB Caraka Pawaka (Kabag Sosial Desa Ambarketawang) bersama penduduk melakukan penggalian tanah di utara bekas kraton dan mendapati mata air yang mempunyai debit air ± 5 m3/detik (Tashadi, dkk. 1992). Sampai sekarang, nama Tlogo tersebut masih dipakai sebagai nama dusun.

Di masa lampau, wilayah yang berada di dalam benteng Kraton Ambarketawang  disebut  sebagai Klangenan yang berarti tempat untuk bercengkerama. Wilayah di dalam benteng ini berfungsi sebagai tempat untuk beristirahat, mandi, dan bersemadi, bagi Sultan Hamengku Buwana I (Tashadi, dkk. 1992). Pada saat ini wilayah dalam benteng hanya menyisakan reruntuhan beteng, kraton, sumur kuno, dan kebun kosong yang pada saat ini masih disebut Kebun Klangenan oleh masyarakat. Selain itu terdapat juga bangunan baru berupa pendapa yang masih difungsikan oleh masyarakat umum beserta sebuah monumen petilasan yang menandakan bahwa di wilayah ini sebelumnya pernah berdiri Kraton Ambarketawang.

 

 

Penutup

Upacara adat Saparan Bekakak di Kalurahan Ambarketawang tidak hanya sekadar tradisi tahunan belaka, tetapi juga sebagai wujud penghormatan kepada leluhur serta bentuk kearifan lokal yang diwariskan lintas generasi. Berawal dari sejarah Kraton Ambarketawang bersama Cagar Alam Gunung Gamping yang hingga kini masih terdapat bukti tangible, hingga kisah Kyai dan Nyai Wirasuta yang direpresentasikan sebagai Upacara Adat Saparan Bekakak. Keberadaan Petilasan Kraton Ambarketawang dan Gunung Gamping menegaskan keterkaitan antara sejarah, alam, hingga kebudayaan dalam kehidupan masyarakat Ambarketawang, terutama dalam berkembangnya Upacara Adat Saparan Bekakak.

 

 

Daftar Pustaka

 

Boli, Patrisius Kia (2022). Nilai Sejarah Dan Makna Kebudayaan Bekakak Di Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Journal Of Social Science Research, 2(1), 624-632.

Istanto, Feri (2018). Sejarah Kapanewon Gamping. Diakses pada 14 Agustus 2025, melalui https://gamping.slemankab.go.id/sejarah-kapanewon-gamping/

Jogjacagar (2016). Petilasan Pesanggrahan Ambarketawang. Diakses pada 21 Agustus 2025, melalui https://jogjacagar.jogjaprov.go.id/detail/564/displayrecords-i-nama-warisan

Nusarini dan Marwati, L.S. (2014). Proses Penamaan Desa di Kabupaten Sleman: Tinjauan Semantik. Literasi, 4(2), 207–214.

Putra, R. S. Dan Kumalasari, Dyah (2017). Kraton Yogyakarta Tahun 1755-1816. Jurnal Pendidikan Sejarah, 5(1), 75-83.

Tashadi, dkk. (1992). Upacara Tradisional Saparan Daerah Gamping dan Wonolelo Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Jenis-Jenis Hiburan Masa Klasik di Jawa Melalui Data Relief dan Prasasti

Oleh: Refalina Agung Afifah

Masa klasik atau yang sering juga disebut sebagai masa Kerajaan Hindu-Buddha merupakan salah satu periode dalam sejarah Indonesia yang merujuk pada abad ke-4 hingga awal abad ke-16. Dimulainya masa Kerajaan Hindu-Buddha ditandai dengan berdirinya Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, dan berakhir dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Munculnya kerajaan-kerajaan yang beragama Hindu dan Buddha merupakan salah satu bentuk dari pengaruh India yang masuk ke area Asia Tenggara kepulauan.

Masa klasik merupakan salah satu masa yang paling penting dalam sejarah Indonesia, karena di masa ini, sejarah Indonesia mulai dituliskan dalam bentuk prasasti dan relief. Walaupun kebanyakan isi dari prasasti panjang yang ditemukan di Indonesia merupakan catatan tentang upacara penetapan sima, data prasasti tetap dapat digunakan untuk mencari tahu tentang bagaimana masyarakat pada masa klasik hidup. Relief umumnya digunakan untuk menggambarkan cerita-cerita epik seperti Ramayana dan cerita Panji, namun terdapat juga relief yang menggambarkan kehidupan sosial pada masa dibangunnya candi tersebut, sehingga data tersebut dapat digunakan untuk mencari tahu hal-hal apa saja yang ada di masyarakat ketika relief tersebut dipahatkan. Salah satu data yang dapat dilihat dari prasasti dan relief adalah bentuk-bentuk hiburan yang dinikmati oleh masyarakat yang hidup pada masa klasik.

Terdapat beberapa relief yang menggambarkan bentuk-bentuk hiburan di masa Kerajaan Hindu-Buddha, dan banyak juga prasasti yang menyebutkan tentang jenis-jenis hiburan yang ada di masa tersebut. Beberapa jenis hiburan yang umum disebutkan pada prasasti dari masa klasik adalah seni pertunjukan, diantaranya adalah pertunjukan wayang, tari, musik, dan lawak.

Pertunjukan Wayang

Pertunjukan wayang merupakan salah satu bentuk hiburan yang umum disebutkan dalam prasasti peninggalan masa klasik. Beberapa kata yang digunakan dalam prasasti yang memiliki hubungan dengan pertunjukkan wayang diantaranya adalah awayang, ringgit, aringgit, dan haringgit. ‘Ringgit’ merupakan kata yang memiliki arti wayang. Bahkan, kata tersebut masih digunakan hingga kini sebagai bentuk bahasa Jawa krama dari kata wayang.

Kata-kata tersebut biasanya muncul dalam prasasti ketika prasasti tersebut menyebutkan pekerjaan para saksi yang menghadiri upacara penetapan sima, ataupun mendeskripsikan pekerjaan apa saja yang ada di suatu daerah dan peraturan-peraturan baru yang berlaku setelah daerah tersebut ditetapkan sebagai daerah sima.

Gambar 1. Sumber: KITLV (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/803970)

 

Salah satu contoh prasasti yang menyebutkan profesi penampil wayang adalah Prasasti Garaman yang diterjemahkan oleh Boechari. Prasasti tersebut berasal dari masa kekuasaan Rakai Halu dan ditulis pada tahun 975 Saka. Selain menyebutkan peraturan-peraturan baru yang berlaku di Desa Garaman setelah daerah tersebut dijadikan tanah sima, prasasti tersebut juga menyebut beberapa profesi dari warga yang tinggal di sana, salah satunya adalah penampil wayang. Kata yang digunakan dalam prasasti tersebut untuk menyebut wayang adalah ariṅgit.

Prasasti lain yang menyebutkan profesi penampil wayang adalah Prasasti Kuti yang berasal dari masa kekuasaan Sri Lokapala dan ditulis pada tahun 762 Saka. Prasasti tersebut menyebutkan kata hariṅgit, dengan kata dasar riṅgit yang berarti wayang. Prasasti tersebut juga menyebutkan beberapa pekerjaan lain, isinya serupa dengan prasasti-prasasti sima lain dari era yang sama.

Selain kedua prasasti tersebut, prasasti lain yang menyebutkan profesi penampil wayang adalah Prasasti Sangguran, yang ditulis pada tahun 850 Saka pada masa pemerintahan Dyah Wawa. Prasasti tersebut menyebutkan pasak-pasak atau persembahan yang diberikan kepada orang-orang yang datang menjadi saksi dalam upacara penetapan sima tersebut, salah satunya adalah penampil wayang yang bernama Rahina, dimana ia mendapatkan perak dan kain sebagai pasak-pasak. Disebutkan juga bahwa di malam hari setelah upacara penetapan sima, terdapat pertunjukan wayang yang ditampilkan oleh Rahina.

Pertunjukan Tari

Pertunjukan tari merupakan salah satu pertunjukan yang juga umum digelar pada masa Kerajaan Hindu-Buddha. Selain dari data prasasti, adanya pertunjukan tari di masa klasik juga dapat dilihat dari adanya relief candi yang menggambarkan tokoh-tokoh dalam posisi yang dapat diasumsikan sebagai pose menari. Pose yang disebut adalah pose-pose tarian yang disebutkan dalam kitab Natyasastra maupun yang muncul di candi-candi Siwa lain di India. Kaidah tari India yang muncul dalam relief-relief candi di Indonesia diantaranya adalah sikap berdiri (sthana), sikap dasar kaki, gerak kaki (cari), sikap dasar torso, dan sikap tangan.

Gambar 2. Relief tari perang di Candi Borobudur. Sumber: Adegan dan Ajaran Hukum Karma pada Relief Karmawibhangga

Gambar 3. Panel yang menggambarkan Siwa di sisi luar Candi Siwa, Prambanan. Sumber: Alessandra Iyer

 

Salah satu relief candi yang menggambarkan tokoh yang sedang menari adalah salah satu panel dalam relief Karmawibhangga di Candi Borobudur, dimana digambarkan beberapa tokoh yang sedang melakukan tari perang, dilihat dari pemosisian tubuh, lengan, dan kaki, serta aksesori yang dikenakan dan dibawa oleh tokoh-tokoh tersebut. Selain di Candi Borobudur, terdapat juga relief yang menggambarkan Dewa Siwa yang sedang menari di relief Candi Prambanan, namun tarian tersebut tentu saja lebih merujuk kepada jenis tarian religius dan bukan jenis tarian yang digunakan dalam pertunjukan hiburan.

Selain muncul dalam pahatan relief Candi Borobudur dan Prambanan, pertunjukan tari juga disebutkan dalam beberapa prasasti. Salah satu jenis tari yang ada pada masa klasik adalah tari topeng, karena kata tapuk, dan kata lain yang terkait seperti matapukan, hanapukan, dan hatapukan, memiliki arti topeng, dan kata tersebut muncul beberapa kali di prasasti yang berbeda-beda.

Salah satu prasasti yang menyebutkan tari topeng adalah Prasasti Garaman, dimana penari topeng, yang disebutkan menggunakan kata matapukan, disebutkan beserta beberapa profesi lainnya, salah satunya adalah penampil wayang. Prasasti tersebut menyebutkan bahwa setelah daerah tersebut ditetapkan sebagai daerah sima, jika orang dengan profesi-profesi tertentu melakukan pelanggaran, hanya tetua desa yang boleh menerima denda. Profesi tertentu yang disebutkan dalam prasasti diantaranya adalah penari topeng dan penampil wayang. Prasasti lain yang menyebutkan kata topeng adalah prasasti Kuti, dimana muncul kata mambaŋ hanapuka dan hatapukan.

Seni Musik

Pada masa Kerajaan Hindu-Buddha, terdapat banyak alat musik yang memiliki fungsi yang berbeda-beda. Keberadaan alat musik, atau setidaknya pengetahuan masyarakat klasik tentang keberadaan suatu alat musik, dapat dilihat dari data arca, relief dan prasasti, dimana penggambaran alat musik merupakan sesuatu yang umum ditemukan dalam arca dan relief. Hal tersebut dikarenakan terdapat tokoh dalam mitologi Hindu-Buddha yang membawa alat musik sebagai laksananya. Terdapat alat musik yang umumnya digunakan untuk upacara keagamaan, namun terdapat juga alat musik yang digunakan untuk hiburan.

Salah satu sumber data relief tentang alat musik di masa klasik adalah relief yang berada di Candi Borobudur. Relief di candi tersebut menunjukkan beberapa jenis alat musik yang diperkirakan telah ada dan digunakan oleh masyarakat pada masa tersebut. Relief di Candi Borobudur menunjukkan kelompok masyarakat yang memainkan alat musik, sehingga dapat dipastikan bahwa alat musik pada masa Kerajaan Hindu-Buddha tidak hanya muncul dalam ikonografi tokoh mitologi dan upacara keagamaan, namun juga digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa jenis alat musik yang muncul dalam relief Borobudur diantaranya adalah kendang, siter dan kecapi, simbal, suling, saron, dan gambang.

Candi lain yang memiliki relief yang menggambarkan alat musik adalah Candi Sari, dimana terdapat Bodhisattva yang membawa alat musik sebagai laksananya. Jenis alat musik yang muncul dalam relief Candi Sari diantaranya adalah tongkat sitar dan kecapi tiga senar.

Gambar 4. Relief pemain musik di Candi Borobudur. Sumber: Adegan dan Ajaran Hukum Karma pada Relief Karmawibhangga

Gambar 3. Relief Bodhisattva dengan kecapi tiga senar di Candi Sari. Sumber: Wikimedia Commons

 

Selain dalam data relief, terdapat juga data prasasti yang menyebutkan tentang adanya seni musik gamelan pada masa Kerajaan Hindu-Buddha. Salah satu prasasti yang menyebutkan tentang musik pada masa klasik adalah Prasasti Poh yang ditulis pada tahun 905 Saka, dimana para seniman, diantaranya adalah para pemain musik dan penari, diundang sebagai saksi dalam upacara penetapan sima, dan kemungkinan juga seniman-seniman tersebut menggelar pertunjukan. Gamelan yang ditabuh adalah padahi, regang, dan tuwung.

Selain alat musik, pertunjukan musik pada masa klasik juga memiliki penyanyi. Hal tersebut dapat dilihat dari data prasasti yang menyebutkan kata-kata widu mangidung, dimana kata-kata tersebut dapat diartikan sebagai penyanyi wanita atau pesinden. Beberapa prasasti yang menyebutkan kata widu mangidung diantaranya adalah Prasasti Tihang yang ditulis pada tahun 836 Saka pada masa pemerintahan Rakai Hino, dan Prasasti Garaman.

Pertunjukan Lawak

Lawak merupakan pertunjukan dimana para penampil akan menggunakan humor dan lelucon untuk menghibur para penonton, dan jenis pertunjukan tersebut merupakan salah satu pertunjukan yang umum dilakukan pada masa klasik. Hal tersebut dapat dilihat dari data prasasti yang menyebutkan tentang adanya pelawak sebagai salah satu profesi yang disebutkan dalam prasasti. Kata yang digunakan dalam prasasti untuk menyebut profesi pelawak adalah abañol.

Kata abañol muncul dalam beberapa prasasti, salah satunya adalah Prasasti Sangguran. Dalam prasasti tersebut, disebutkan bahwa ada tiga orang pelawak yang diundang sebagai saksi dalam upacara penetapan sima di Desa Sangguran, yaitu si Lulut, si Sepat, dan si Hireng. Ketiga pelawak tersebut diberikan pasak-pasak berupa satu lembar kain per orang. Disebutkan juga bahwa setelah upacara penetapan sima, ketiga pelawak tersebut menampilkan pertunjukan lawak, sebelum kemudian terdapat pertunjukan wayang. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masa tersebut pertunjukan lawak adalah salah satu jenis pertunjukan yang umum digelar dan digemari oleh masyarakat.

Prasasti lain yang menyebutkan profesi pelawak adalah Prasasti Poh, dimana pelawak diundang sebagai saksi dalam upacara penetapan sima, dan Prasasti Kuti yang menyebutkan pelawak sebagai salah satu profesi dalam deretan profesi lainnya.

Penutup

Dapat disimpulkan bahwa data relief dan prasasti merupakan salah satu sumber data utama yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana masyarakat pada masa klasik hidup, dan melalui kedua sumber data tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat berbagai jenis hiburan yang dinikmati oleh masyarakat pada zaman tersebut, mulai dari hiburan yang dinikmati oleh masyarakat biasa, hingga masyarakat berstatus tinggi. Melalui data-data tersebut, dapat dilihat juga bahwa masih banyak kebudayaan yang sudah ada sejak masa klasik yang masih ada hingga sekarang, seperti wayang dan gamelan. Dan alangkah baiknya jika kebudayaan-kebudayaan tersebut terus dilestarikan hingga jauh di masa depan.

Referensi

Aziz, F. & Pamungkas, J. H. (2018). Instrument Musik Pada Masa Kerajaan Majapahit. AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, 6(1), 56.

Boechari. 2012e. “Transkripsi (Dan Terjemahan) Aneka Prasasti.” Pp. 473–528 dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti2, diedit oleh N. Susanti, H. Djafar, E. Wuryantoro, dan A. Griffiths. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Brandes, J.L.A 1913, Oud-Javaansche Oorkonden (OJO) Nagelaten Transscripties van wijlen Dr.J.L.A.Brandes uitgegeven door Dr.NJ.Krom. VBG. Deel LX. Batavia:Albrecht & Co.

Griffiths, A., Sastrawan, W. J., & Bastiawan, E. (2024). Restoring a Javanese Inscription to its Proper Place. Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, 180(2–3), 133–211. https://doi.org/10.1163/22134379-BJA10060

Haryono, T. (2019). Seni Pertunjukan Masyarakat Jawa Kuno. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bkborobudur/seni-pertunjukan-masyarakat-jawa-kuna/ . Diakses pada tanggal 11 Juli 2025

Iyer, A. (1995). Dance in Ancient Java The Dance Sculptures of the Śiwa Temple at Prambanan. East and West, 45(1/4), 395–403. http://www.jstor.org/stable/29757229

Kunst, J. (1949). Hindoe-Javaansche Muziek Instrumenten Speciaal die van Oost Java. Batavia: Koninklijk Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. 1927. Hague: Martinus Nijhoof.

Nastiti, T. S. (2023). JEJAK-JEJAK PERADABAN HINDU-BUDDHA DI NUSANTARA. KALPATARU, 23(1), 35–50. Diakses melalui https://ejournal.brin.go.id/kalpataru/article/view/2615

Sadono, S., Pandanwangi, B., & Kasputra, D. (2025). Beragam Seni Pertujukkan di Era Jawa Kuno. Jurnal Sejarah Indonesia, 8(1), 27–37. https://doi.org/10.62924/jsi.v8i1.33057

Santiko, H., & Nugrahani, D. S. (2012). Adegan dan ajaran hukum karma pada relief Karmawibhangga. Balai konservasi borobudur.

Nilai Moral dalam Kisah Angsa dan Kura-kura: Relief Tantri di Petirtaan Candi Penataran

Oleh: Irkam Asroni

Pendahuluan

Candi Penataran yang terletak di lereng barat daya Gunung Kelud tepatnya di Desa Penataran-Blitar, merupakan kompleks candi Hindu-Buddha terbesar di Jawa Timur. Kompleks ini memiliki dua petirtaan (kolam suci). Petirtaan yang lebih besar terletak di luar tembok candi dan terletak agak jauh sedangkan petirtaan yang lebih kecil terletak di sebelah tenggara candi induk dengan dihiasi relief-relief kisah fabel. Relief-relief tersebut menampilkan berbagai cerita binatang dari tradisi Pancatantra-Tantri. Salah satu relief istimewa menggambarkan kisah Tantri Kamandaka, khususnya episode Angsa dan Kura-kura. Pertanyaannya, mengapa kisah rakyat yang tampak menghibur ini diukir pada dinding petirtaan suci, dan nilai moral apakah yang dikandungnya?

 

Gambar 1. Candi Induk Penataran (kiri), Petirtaan di Penataran (kanan)

(Sumber: KITLV diakses pada Juni 2024)

 

Mengenal Tantri Kamandaka

Tantri Kamandaka adalah kumpulan cerita fabel tua berbahasa Jawa Kuno. Menurut Hooykaas (1973) dikutip dari Patt (1979), tantri ini adalah salah satu naskah Jawa Kuno tertua yang masih ada (diperkirakan abad ke-13–14 M) dan sejatinya adalah olahan ulang dari fabel-fabel binatang dari buku pertama Pañcatantra India. Dalam versi Jawa ini, tokoh-tokoh utama adalah hewan-hewan seperti kerbau, buaya, serigala, angsa, dan kura-kura, yang dibingkai dalam cerita tentang tokoh Nandaka (kerbau) dan tokoh Tjandrapalig (singa). Dibanding versi aslinya, Tantri Kamandaka memuat latar samping cerita (frame story) yang jauh lebih luas, yaitu seorang putri istana bernama Tantri – putri seorang menteri – yang mengisahkan semua cerita binatang ini kepada raja dan akhirnya menjadi permaisurinya (Patt, 1979).

Dari segi tema, koleksi Tantri Kamandaka termasuk dalam literatur Pañcatantra (dalam tradisi Jawa disebut tantri), bukan literatur Jataka Buddhis (Klokke, 1993). Cerita-cerita Pancatantra umumnya mengandung petuah tentang kebijaksanaan duniawi dan kepemimpinan. Sebagaimana ditegaskan salah satu pengkajian, cerita-cerita Pañcatantra bertujuan memberi petunjuk tentang ketatanegaraan dan kebijaksanaan kehidupan sehari-hari (Klokke, 1993). Demikian pula Tantri Kamandaka, meski mengambil bentuk fabel humoris, sarat dengan nilai moral praktis. Cerita-cerita ini mengajarkan sifat-sifat kebajikan seperti kerendahan hati, kewaspadaan, serta pentingnya pikiran sehat dalam menghadapi situasi sehari-hari. Tradisi lisan dan naskah Jawa menyebut relief-relief cerita ini sebagai “relief Tantri” karena memang berdasarkan kumpulan kisah tantri tersebut (Klokke, 1993).

Relief Angsa dan Kura-Kura di Petirtaan Penataran

Relief Angsa dan Kura-kura di Petirtaan Penataran dipahat di dinding barat petirtaan berangka tahun Saka 1337 (1415 M) (Patt, 1979). Relief ini terdiri dari tiga adegan beruntun. Adegan pertama yang terletak di kanan bawah tampak dua kura-kura memegang ujung sebuah tongkat yang dipegang seekor burung (angsa) yang duduk di tanah. Burung itu kemudian mengangkat tongkat dengan dua kura-kura yang tergantung di ujungnya. Adegan ini adalah inisiasi kisah, menambah konteks yang tidak ditemui di relief lain yaitu burung mengambil tongkat dan menyuruh kura-kura berpegangan (Klokke, 1993). Pada adegan kedua dan ketiga menggambarkan dua serigala (atau anjing hutan) berdiri di sebelah kiri, menatap ke atas; selanjutnya kedua serigala tersebut menyerang dan menggerayangi dua kura-kura yang telah jatuh ke tanah. Di atas mereka, burung masih tampak terbang membawa tongkat. Secara lengkap, relief tersebut menggambarkan skenario “Angsa dan Kura-kura”, yang juga terdapat di relief candi lain seperti Mendut dan Jago (Klokke, 1993). Analisis ikonografis mencatat penyesuaian lokal: misalnya satu burung (bukan dua), dua kura-kura (bukan satu), serta satu/dua serigala (menggantikan manusia) sesuai kebiasaan relief Jawa Timur (Klokke, 1993). Namun secara umum urutan peristiwa di relief Penataran konsisten dengan versi Tantri: sepasang kura-kura diangkat oleh angsa, memamerkan diri, lalu jatuh dan menjadi mangsa para serigala.

Gambar 2. Relief Tantri pada Petirtaan Candi Penataran

(Sumber: KITLV diakses pada Juni 2024 diolah oleh penulis)

 

Makna dan Ajaran Moral

Kisah Tantri secara tradisional dimaksudkan sebagai kumpulan petuah duniawi (Klokke, 1993). Cerita Angsa dan Kura-kura mengandung pesan moral tentang kerendahan hati dan bahaya kesombongan. Dalam naskah Tantri dikisahkan bahwa kedua kura-kura awalnya di bawah landasan kerendahan hati namun kemudian sombong saat melihat diri di udara, sehingga tergelincir dan dimangsa serigala. Pelajaran utamanya adalah jangan cepat terbuai oleh pujian dan tempatkan hati rendah, selagi senantiasa waspada terhadap konsekuensi perkataan sendiri. Menurut Maruti (2017), kisah ini juga melambangkan persahabatan dan kepercayaan: angsa digambarkan cerdik dan setia kawan, sedangkan kura-kura menjadi simbol kemarahan dan ketidakmampuan menahan emosi. Keberadaan relief tersebut di petirtaan menegaskan fungsi moralnya: meski penggambarannya polos dan menghibur, Cerita-cerita Tantri ini justru menjadi sarana efektif penyampaian nilai-nilai moral praktis (Patt, 1979).

Secara umum, Hari Lelono (2016) menegaskan bahwa relief pada candi sengaja diciptakan sebagai media pendidikan moral budi pekerti pada masa Jawa Kuna, termasuk juga di dalamnya relief-relief pada Candi Penataran. Sebagaimana dikaji, kisah-kisah Tantri (relief dengan angka tahun Saka 1337) menggantikan peran kisah Jataka di candi-candi Hindu Majapahit akhir. Cerita-cerita ringan dan humoris ini mencerminkan duniawi dan bersifat menghibur, tetapi “peran mereka sebagai cerita pengajaran moral” justru menjadi poin penting (Patt, 1979). Artinya, walau terlihat sederhana, relief ini mengandung ajaran budi pekerti yang harus direnungkan.

Simbolisme air di petirtaan juga menambah dimensi spiritual. Secara umum air suci di kolam candi dianggap suci (amṛta) dan melambangkan pemurnian dan kelahiran kembali. Namun, penelitian menekankan bahwa relief Penataran tidak menampilkan simbol air suci secara eksplisit (Patt, 1979). Meskipun demikian, fungsi petirtaan sebagai tempat mandi suci tetap penting. Ritual mandi di tirta (pemandian suci) lazim di kompleks candi Majapahit dan dianggap melambangkan pemurnian jasmani dan rohani (Patt, 1979). Dengan demikian, kisah moral yang diringkas di relief Angsa dan Kura-kura dapat dipahami sebagai bahan renungan setelah ritual pembersihan fisik—penekanan pada nilai-nilai batiniah setelah menyucikan tubuh. Secara implisit, air di latar relief mengingatkan bahwa menyucikan diri juga berarti menyaring kesombongan dan mendalami kebijaksanaan.

Penutup

Relief Tantri Kamandaka yang terpahat di petirtaan Candi Penataran bukan sekadar hiasan dinding batu, melainkan cermin bijaksana dari nilai-nilai moral dan budaya yang diwariskan oleh leluhur. Melalui kisah sederhana seperti “Angsa dan Kura-kura”, relief ini menyampaikan pelajaran penting tentang kerendahan hati, kewaspadaan, dan kebijaksanaan hidup yang semua dikemas dalam bentuk yang mudah dipahami oleh masyarakat luas. Kehadiran kisah rakyat di tempat suci ini menunjukkan betapa erat hubungan antara ajaran budaya dan praktik spiritual dalam kehidupan masyarakat masa lampau. Seni candi menjadi media yang tidak hanya indah secara visual, tetapi juga sarat makna. Oleh karena itu, keberadaan relief-relief seperti ini layak mendapat perhatian lebih sebagai warisan intelektual dari zaman Majapahit yang kaya akan nilai. Upaya pelestarian Candi Penataran bukan hanya soal menjaga batu-batu tua dari kerusakan, tetapi juga soal merawat pesan-pesan luhur yang terkandung di dalamnya, agar tetap hidup dan menginspirasi generasi masa kini dan mendatang.

Daftar Pustaka

Klokke, M. J. (1993). The Tantri Reliefs on Ancient Javanese Candi. KITLV Press.

Lelono, T. M. H. (2016). Relief Candi sebagai Media Efektif untuk Menyampaikan Informasi Moral-Didaktif pada Masa Jawa Kuna. Berkala Arkeologi, 36(1), 99–115.

Maruti, E. S. (2017). PEMBELAJARAN DONGENG TANTRIKAMANDAKA DALAM PELAJARAN BAHASA JAWA DI SEKOLAH DASAR. Jurnal Bidang Pendidikan Dasar, 1(1), 22–32

Patt, J. A. (1979). The use and symbolism of water in ancient Indonesian art and architecture (Doctoral dissertation, University of California, Berkeley). University Microfilms International.

Konservasi Berbasis Masyarakat terhadap Sisa Batuan Candi di Kompleks Makam Sasanalaya Candi Dusun Candi Karang

 Karya : Sheba Nur Majjid;24/535146/SA/22922; Prodi Arkeologi

ABSTRAK

Wilayah Sleman memiliki banyak temuan klasik yang salah satunya merupakan reruntuhan sisa candi yang berada di Makam Sasanalaya Candi. Situs ini mengalami alih fungsi menjadi makam, yang dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap candi sebagai bangunan kuburan serta pengaruh Islam yang kuat. Munculnya kepercayaan lokal terhadap tokoh spiritual seperti Nyai Champa dan Nyi Ageng Serang menjadikan kawasan ini disakralkan dan digunakan untuk kegiatan keagamaan rutin. Hal ini mendorong bentuk konservasi berbasis adat dan komunitas di dalam masyarakat sendiri.

Kata Kunci: Konservasi, Candi, Alihfungsi, Apropriasi, Budaya Lokal, Masyarakat

PENDAHULUAN

Wilayah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan salah satu pusat temuan situs candi dari masa klasik, khususnya tinggalan-tinggalan Kerajaan Mataram Kuno. Kondisi geografisnya yang dipengaruhi oleh aktivitas vulkanik Gunung Merapi dan Gunung Merbabu menghasilkan tanah yang subur dan layak huni sejak masa lampau. Wilayah yang terletak di antara Borobudur dan Prambanan merupakan area yang sangat kaya akan situs-situs candi, yang tersebar dengan kepadatan tinggi. Candi-candi tersebut memiliki berbagai ukuran dan tersebar di berbagai lokasi, mulai dari dataran rendah, lereng gunung, hingga kawasan perbukitan. Di antara lereng Gunung Merapi-Merbabu dan Perbukitan Gendol terbentang sebuah dataran subur yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, baik berupa sawah maupun ladang, yang menopang kehidupan masyarakat Mataram Kuno pada masa itu (Wirasanti, 2023). Salah satu sebaran situs candi di Sleman berada di Kecamatan Ngaglik, tepatnya di Dusun Candi Karang, RT 04/RW 09, Sardonoharjo. Sebaran situs di wilayah ini berupa reruntuhan batu Candi yang berada di Sasanalaya Candi.

Kawasan Dusun Candi Karang awalnya menyimpan sejumlah tinggalan arkeologis klasik yang tersebar di sekitar kompleks makam (Sasanalaya) dan masjid. Berdasarkan kesaksian masyarakat di wilayah yang dahulu bernama Kalurahan Tjandi (kini Candi Lama), ditemukan sejumlah artefak seperti batu dinding candi, arca, hingga makara. Namun, karena kurangnya perlindungan dan dokumentasi, sebagian besar tinggalan tersebut kini telah hilang dan hanya tersisa reruntuhan batuan candi di kompleks makam. Upaya pendataan dan pengamanan baru dilakukan setelah adanya perhatian dari Dinas Kebudayaan.

Kondisi ini mencerminkan betapa lemahnya upaya konservasi yang dilakukan oleh pihak berwajib. Minimnya dokumentasi, pengawasan, dan pemahaman masyarakat terhadap nilai penting tinggalan tersebut juga memperkeruh keadaan karena ada beberapa arca dan batuan candi yang hilang dicuri orang. Oleh karena itu, konservasi dan perlindungan berbasis masyarakat sangat diperlukan untuk kasus ini karena lokasinya yang sangat erat dengan kegiatan sehari-hari masyarakat yaitu, makam.

PEMBAHASAN

Keberadaan tinggalan batuan candi di kompleks makam ini telah mengalami banyak perubahan fungsi dari masa ke masa. Besar kemungkinan bahwa kawasan tersebut dahulu merupakan bagian dari kompleks candi yang ditinggalkan akibat perubahan sosial, bencana alam, atau perpindahan komunitas pendukungnya. Seiring waktu, masyarakat setempat memanfaatkan bekas struktur tersebut sebagai area pemakaman. Alih fungsi ini tidak lepas dari pemahaman keliru yang berkembang di masyarakat, yang kerap mengidentifikasi candi sebagai bangunan makam (cungkup) atau kuburan. Pandangan ini berbeda dengan pendapat  Soekmono (1974) bahwa candi memiliki fungsi sebagai kuil. Selain itu, daur ulang candi menjadi makam banyak terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia seiring dengan derasnya arus perkembangan kebudayaan Islam. Beberapa contoh peninggalan klasik yang bertransformasi menjadi makam seperti pada temuan batu bata di pemakaman gubah Sultan Muhammad Mansyur dan gubah Ki Ranggo Wirosentiko, Plembang. Idris, dkk. (2019) pada penelitiannya menyebutkan Pemanfaatan bangunan candi menjadi bangunan makam nampaknya merupakan hal yang umum di Palembang. Pemanfaatan bangunan makam dilakukan pada reruntuhan candi dengan memanfaatkan bagian kaki candi Hindu-Buddha yang tersisa pada makam gubah Sultan Muhammad Mansyur dan gubah Ki Ranggo Wirosentiko.

Contoh lain dari alihfungsi bangunan candi ini adalah reruntuhan Candi Negeri Baru yang terletak di kompleks Makam Iranata, Ketapang, Kalimantan Selatan. Sekitar 75 meter di sebelah utara reruntuhan bekas candi bata tersebut, terdapat sebuah kompleks makam yang dikenal dengan nama Makam Iranata. Kompleks makam ini tidak hanya menjadi tempat peristirahatan terakhir Pangeran Iranata sebagai tokoh utama, tetapi juga memuat sejumlah makam lain dari tokoh-tokoh yang tidak diketahui identitasnya. Selain makam, di kompleks ini juga ditemukan sebuah lingga bagian atas yang berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar 30 cm (Sekti & Atmojo, 2013). Alih fungsi candi menjadi masjid atau makam di beberapa daerah menunjukkan bahwa hal ini sudah lazim terjadi, sebagai akibat dari kuatnya pengaruh Islam dan proses penyesuaian budaya yang terjadi di masyarakat setempat.

Proses pergeseran fungsi ini disebut dengan apropriasi. Apropriasi adalah proses pengambilan atau pemanfaatan unsur budaya dari satu kelompok oleh kelompok lain, yang sering kali terjadi tanpa pemahaman penuh mengenai pemaknaan  dan makna aslinya. Proses ini biasanya dilakukan masyarakat untuk mengalihfungsikan suatu kebudayaan supaya tidak kehilangan nilai spiritualitas yang telah ada sebelumnya. Apropriasi ini dapat menjadi suatu ancaman atau malah menjadi sarana pelestarian dari kebudayaan yang diambil alih. Ada banyak ancaman terhadap warisan budaya, terutama karena semakin banyak kelompok masyarakat yang ingin mengklaim benda-benda tersebut sebagai bagian dari budaya mereka sendiri (Basset, 2013). Namun terkadang, dengan mereka mengistimewakan atau menyakralkan benda tersebut, malah membuat eksistensinya menjadi lebih lestari.

Reruntuhan candi yang berada di kompleks makam Sasanalaya Candi mulai mengalami apropriasi oleh masyarakat setempat sejak munculnya keyakinan akan adanya petilasan di sisi timur situs tersebut. Petilasan ini dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Nyai Champa dan Maqom Nyi Ageng Serang, meskipun hingga kini belum ditemukan bukti arkeologis yang mendukung klaim tersebut. Kepercayaan lokal ini mendorong masyarakat untuk menyusun

kembali batuan candi yang tersisa, membentuknya menyerupai gerbang menuju petilasan sebagai simbol penghormatan terhadap tokoh yang mereka sakralkan.

Meskipun identitas dan keaslian petilasan ini masih diperdebatkan, aktivitas masyarakat seperti pengajian rutin setiap malam Selasa Wage dan nyadran menjadikan tempat ini sebagai ruang sakral dalam kehidupan sosial dan spiritual warga Dusun Candi Karang. Dalam konteks ini, praktik sakralisasi dan kegiatan berbasis adat-istiadat secara tidak langsung telah berperan sebagai bentuk konservasi yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Tinggalan candi menjadi lebih terlindungi karena masyarakat memiliki rasa hormat dan keterikatan secara batin terhadap situs tersebut, sehingga mengurangi risiko perusakan atau pengambilan artefak secara sembarangan karena dipercaya akan menghadirkan hal sial apabila tempat itu dirusak.

 

Gambar 1. Tampak depan batu reruntuhan candi yang disusun (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2025) 

 

Gambar 2. Tradisi Nyadran di Makam Candi (Sumber: Padukuhan Candi Karang, 2023) 

Walaupun kegiatan-kegiatan masyarakat ini merupakan salah satu upaya konservatif dalam menjaga keberlangsungan artefak ini, masyarakat awam tentulah memiliki keterbatasan dalam upaya konservasi secara fisik. Masyarakat tidak mempunyai basic bagaimana cara untuk merawat batuan-batuan candi tersebut supaya tidak rusak. Penyimpanan reruntuhan di ruang terbuka juga membuat reruntuhan batu candi tersebut riskan rusak karena panas dan hujan. Karena keterbatasan itu, terdapat beberapa sisa batuan yang mulai mengalami keausan dan berjamur.

 

 

 

Kondisi batu reruntuhan candi semakin memburuk akibat paparan cuaca yang tidak menentu dan posisinya yang berada di ruang terbuka. Oleh karena itu, Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) dan Dinas Kebudayaan sebaiknya turut berperan dalam upaya pelestarian situs ini. Jika objek ini belum menjadi prioritas penanganan langsung, langkah awal yang bisa diambil adalah memberikan pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat agar dapat terlibat aktif dalam upaya konservasi secara fisik.

KESIMPULAN DAN PENUTUP

Alih fungsi candi di Dusun Candi Karang menjadi area makam menunjukkan bahwa proses perubahan fungsi tinggalan arkeologis merupakan bagian dari dinamika budaya masyarakat. Kepercayaan terhadap tokoh-tokoh spiritual seperti Nyai Champa dan Nyi Ageng Serang memperkuat makna sakral situs ini di mata masyarakat. Walaupun belum ada bukti kuat terkait petilasan tersebut, tradisi rutin yang dilakukan telah menciptakan bentuk konservasi sosial berbasis adat dan kepercayaan lokal. Namun, kondisi fisik batuan candi masih membutuhkan perhatian lebih dari pihak terkait. Pelestarian tidak harus selalu bersifat teknis, melainkan bisa dimulai dari edukasi dan pelibatan masyarakat dalam menjaga dan menghargai tinggalan budaya yang ada di lingkungan mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Bassett, A. (2013). Pseudo-archaeology: The Appropriation and Commercialization of Cultural Heritage. In Spectrum (Vol. 3, Issue 1).

Idris, M., Chairunisa, E. D., & Saputro, R. A. (2019). Akulturasi Budaya Hindu-Budha Dan Islam Dalam Sejarah Kebudayaan Palembang. Kalpataru: Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah, 5(2), 103-111.

Wirasanti, N. (2023). Candi dan Lingkungan abad IX-X Masehi di wilayah Jawa Bagian Tengah. UGM PRESS.

Sakti, B., & Atmojo, W. (2013). MAKAM-MAKAM DAN CANDI DI NEGERI BARU DALAM PERKEMBANGAN SEJARAH BUDAYA DI KABUPATEN KETAPANG (Vol. 7, Issue 2).

Soekmono. 1974. Candi Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Revitalisasi Benteng Vastenburg: Menjaga Warisan Kolonial di Jantung Surakarta

Raras Shafiazzahra Wibowo

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Gadjah Mada

 

Revitalisasi Benteng Vastenburg: Menjaga Warisan Kolonial di Jantung Surakarta

Di tengah hiruk-pikuk perkembangan Kota Surakarta yang terus melaju ke arah modernitas, berdiri sebuah bangunan tua yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah kota ini—Benteng Vastenburg. Terletak strategis di pusat kota, benteng ini merupakan salah satu peninggalan penting dari masa kolonial Belanda. Dibangun pada tahun 1745, Benteng Vastenburg tidak hanya menyimpan kisah masa lalu, tetapi juga menyimpan potensi besar sebagai ruang edukasi dan pariwisata budaya yang hingga kini belum dimanfaatkan secara optimal.

Sejarah Singkat dan Lokasi Strategis

Benteng Vastenburg dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada pertengahan abad ke-18. Pendirian benteng ini bertujuan sebagai pusat pengawasan dan pertahanan terhadap masyarakat lokal di wilayah Surakarta yang pada waktu itu masih berada di bawah kekuasaan Keraton Kasunanan. Dari segi arsitektur dan fungsinya, benteng ini mencerminkan strategi kolonial Belanda yang mengutamakan kontrol atas pusat-pusat kekuasaan lokal demi memperkuat hegemoni mereka.

Gambar 1: Benteng Vastenburg circa 1930 (Sumber: KITLV https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/802024?solr_nav%5Bid%5D=e632af48a2c68d2f8276&solr_nav%5Bpage%5D=0&solr_nav%5Boffset%5D=2 )

Letaknya yang sangat strategis—diapit oleh Keraton Kasunanan, Balai Kota Surakarta, Pasar Gede, dan Gereja St. Antonius—menunjukkan peran penting kawasan ini dalam jaringan sosial, ekonomi, dan politik kota di masa lalu. Tidak mengherankan jika kawasan ini sering dianggap sebagai pusat sejarah dan kebudayaan kota Surakarta.

 

Gambar 2: Benteng Vastenburg Tampak Atas (Sumber: Google Earth)

 

Tantangan Konservasi dan Pemanfaatan Saat Ini

Meskipun memiliki nilai sejarah yang tinggi, Benteng Vastenburg hingga kini belum mendapatkan perhatian yang memadai dalam hal konservasi maupun revitalisasi. Beberapa upaya memang telah dilakukan, seperti penggunaan area sekitar benteng sebagai ruang publik dan lokasi kuliner malam (seperti Galabo), namun sayangnya hal ini lebih mengedepankan aspek komersial daripada edukatif. Akibatnya, banyak pengunjung yang datang hanya untuk berwisata kuliner tanpa memahami nilai sejarah dari bangunan yang mereka datangi.

 

Gambar 3: Wisata Kuliner Galabo Surakarta (Sumber: https://atourin.com/destination/surakarta/galabo-solo )

Kondisi fisik bangunan yang sebagian besar sudah tidak utuh turut memperparah situasi. Minimnya fasilitas penunjang seperti toilet umum, tempat sampah, papan informasi sejarah, maupun tempat duduk yang layak membuat benteng ini semakin terpinggirkan dari kehidupan masyarakat modern. Aktivitas berbasis sejarah dan edukasi juga masih sangat terbatas, sehingga peran Benteng Vastenburg sebagai ruang belajar sejarah nyaris tak terlihat.

Konservasi yang Terencana dan Menyeluruh

Menghadapi tantangan tersebut, perlu adanya upaya konservasi lanjutan yang lebih terarah dan berkelanjutan. Konservasi yang dimaksud bukan semata-mata renovasi fisik, tetapi juga menyangkut pelestarian nilai dan fungsi sejarahnya. Salah satu prinsip utama dalam konservasi bangunan bersejarah adalah menjaga keaslian struktur dan arsitektur. Oleh karena itu, upaya pelestarian Benteng Vastenburg sebaiknya difokuskan pada pemeliharaan bentuk dan karakter arsitektur kolonialnya.

Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah perawatan rutin untuk menjaga kondisi fisik bangunan yang masih tersisa. Dinding-dinding tua perlu dibersihkan dan diperkuat tanpa mengubah bentuk aslinya. Selain itu, perbaikan jalan akses dan pencahayaan di sekitar area benteng sangat penting untuk memberikan kenyamanan dan keamanan bagi para pengunjung.

Langkah selanjutnya adalah penyediaan fasilitas pendukung yang layak. Misalnya, pembangunan lahan parkir yang cukup luas, toilet umum yang bersih dan terawat, tempat sampah yang memadai, serta bangku-bangku yang dapat digunakan pengunjung untuk bersantai. Fasilitas ini, meskipun sederhana, memiliki peran penting dalam meningkatkan kenyamanan dan menarik minat masyarakat untuk datang dan berinteraksi di sekitar benteng.

Peran Masyarakat dan Pendidikan dalam Konservasi Benteng

Salah satu aspek yang tak kalah penting dalam pelestarian Benteng Vastenburg adalah keterlibatan aktif masyarakat. Konservasi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau lembaga formal, tetapi juga menuntut partisipasi warga kota sebagai pemilik budaya dan identitas lokal. Masyarakat dapat berperan dalam berbagai bentuk, mulai dari menjaga kebersihan kawasan, terlibat dalam kegiatan budaya, hingga mengorganisasi acara yang bertemakan sejarah lokal. Bentuk pelibatan ini dapat meningkatkan rasa memiliki dan kesadaran kolektif terhadap pentingnya merawat warisan sejarah.

Selain itu, institusi pendidikan juga memegang peranan vital dalam mendukung keberlanjutan pelestarian. Sekolah-sekolah di Surakarta dan sekitarnya bisa menjadikan Benteng Vastenburg sebagai bagian dari kurikulum kontekstual—misalnya dengan mengadakan studi lapangan, lomba penulisan sejarah, atau pementasan teater bertema perjuangan masa kolonial. Kegiatan semacam ini tidak hanya meningkatkan pemahaman siswa terhadap sejarah lokal, tetapi juga menghidupkan kembali fungsi sosial benteng sebagai ruang interaksi dan edukasi.

Di era digital seperti sekarang, pemanfaatan media sosial dan platform digital juga bisa dijadikan sarana untuk mengedukasi masyarakat luas tentang pentingnya konservasi Benteng Vastenburg. Komunitas pecinta sejarah, mahasiswa, dan content creator dapat menyebarkan informasi sejarah, foto arsip, serta cerita-cerita lokal yang menarik untuk membangkitkan kembali ketertarikan generasi muda terhadap peninggalan sejarah ini. Dengan begitu, pelestarian tidak lagi bersifat top-down, melainkan menjadi gerakan kultural yang tumbuh dari kesadaran akar rumput.

Edukasi Sejarah sebagai Fungsi Utama

Salah satu aspek yang paling krusial namun sering terabaikan adalah pemanfaatan benteng sebagai sarana edukasi sejarah. Mengingat kondisi bangunan yang sudah tidak memungkinkan untuk dijadikan museum secara langsung, solusi alternatif dapat ditempuh. Salah satunya adalah dengan membangun pusat edukasi di sekitar area benteng. Pusat edukasi ini bisa berbentuk gedung kecil atau galeri informasi yang menampilkan sejarah benteng, perkembangan arsitektur kolonial, hingga dinamika sosial masyarakat Surakarta pada masa kolonial.

Gambar 4: Gerbang Depan Benteng Vastenburg (Sumber: Kompas https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/01/13/124822178/benteng-vastenburg-lokasi-fungsi-dan-arsitekturnya?page=all )

Pusat edukasi ini juga bisa memanfaatkan teknologi digital untuk menyajikan informasi dalam bentuk interaktif, seperti layar sentuh, audio visual, hingga augmented reality (AR) yang mampu menghadirkan pengalaman sejarah secara lebih menarik. Kegiatan semacam ini tentu akan jauh lebih efektif dalam menarik minat generasi muda yang terbiasa dengan pendekatan digital.

Tak kalah penting, kerja sama antara pemerintah kota, komunitas sejarah, akademisi, dan sektor swasta harus diperkuat. Kegiatan edukatif seperti tur sejarah, pameran, diskusi publik, atau pertunjukan seni tradisional yang dilaksanakan secara berkala dapat menghidupkan kembali peran Benteng Vastenburg sebagai pusat kebudayaan kota.

 

Menjaga Jati Diri Kota

Revitalisasi Benteng Vastenburg tidak hanya berkaitan dengan pelestarian fisik bangunan, tetapi juga soal menjaga jati diri Kota Surakarta sebagai kota budaya. Kota ini dikenal luas sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, dan keberadaan benteng sebagai peninggalan kolonial menjadi bagian dari narasi sejarah panjang yang membentuk identitas kota.

Dalam konteks ini, pelestarian Benteng Vastenburg juga dapat berperan dalam memperkuat pariwisata berbasis sejarah. Ketika benteng ini berhasil direvitalisasi dengan pendekatan yang tepat, maka daya tariknya tidak akan hanya terbatas pada wisatawan lokal, tetapi juga mampu menarik wisatawan nasional maupun mancanegara yang tertarik pada sejarah kolonial dan warisan arsitektur.

Benteng Vastenburg adalah simbol penting dari perjalanan sejarah Kota Surakarta yang tak seharusnya dilupakan. Di tengah derasnya arus modernisasi dan komersialisasi ruang kota, benteng ini tetap harus berdiri sebagai pengingat akan masa lalu—sekaligus jembatan untuk membangun kesadaran sejarah masyarakat masa kini dan mendatang.

Dengan konservasi yang tepat, fasilitas yang memadai, serta pendekatan edukatif yang menarik, Benteng Vastenburg memiliki potensi besar untuk menjadi ruang publik yang tidak hanya fungsional, tetapi juga bermakna. Sudah saatnya benteng ini dikembalikan perannya sebagai salah satu ikon budaya dan sejarah kota, bukan sekadar bangunan tua yang terlupakan di tengah kota. 

 

REFERENSI

Artikel Jurnal

Hernowo, B. (2015). Studi Tentang Lokasi Benteng-Benteng Di Surakarta (1672, 1743, 1756, 1832). ATRIUM: Jurnal Arsitektur, 1(1), 39-47.

Ismadi, & Yuuwono, B. A. (2021). PERPADUAN WISATA SEJARAH DENGAN WISATA AIR DI KAWASAN BENTENG VASTENBURG SURAKARTA. Jurnal Teknik Sipil Dan Arsitektur, 26(2), 18-28.

Skripsi

Jayanto, D. I. (2018). Revitalisasi Benteng Vastenburg Solo (Preseden Keberhasilan Benteng Vredeburg Yogyakarta). Universitas Muhammadiyah Swasta, Program Studi Arsitektur.

Marsa A. A., M. (2019). Revitalisasi Benteng Vastenburg Sebagai Mal Pelayanan Publik Surakarta Dengan Pendekatan Inclusive Public Design. Universitas Muhammadiyah Surakarta, Program Studi Arsitektur.

Rizqiardi, D. F. (2010). Revitalisasi Benteng Vastenburg Sebagai Pusat Seni dan Museum Seni Kontemporer. Universitas Sebelas Maret, Program Studi Arsitektur.

Yudanto, F. J. (2019). Penataan Kawasan Benteng Vastenburg Sebagai Ruang Kreatif Di Solo. Universitas Muhammadiyah Surakarta, Program Studi Arsitektur.

Website

Kebudayaan, D. P. (n.d.). Vastenburg, Benteng Teguh dari Solo. Retrieved from kebudayaan.kemdikbud.go.id: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/dpk/vastenburg-benteng-teguh-dari-solo/

Bulletin

Priatmojo, D. (2009). Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya: Konservasi, Nilai Ekonomi, Manfaat Bagi Masyarakat Luas. Edisi November-Desember. Bulletin Penataan Ruang.

Seminar

Soedarmono, K. (2002). Sejarah dan Nasionalisme di Benteng Vastenburg. Solo Heritage Society.

 

 

Tanjung Tiram: Simpul Strategis Perdagangan dan Budaya di Pesisir Timur Sumatra Utara

Oleh: Galih Nugroho

Tanjung Tiram merupakan kawasan pelabuhan tradisional yang memiliki peran penting dalam sejarah maritim di pesisir timur Sumatra Utara, khususnya dalam konteks jalur perdagangan Selat Malaka. Lokasi ini menjadi penghubung antara daerah pedalaman dengan dunia luar melalui pertukaran komoditas. Hal tersebut menjadikan Tanjung Tiram tidak hanya sebagai simpul perdagangan, tetapi juga titik temu budaya dan agama dari berbagai peradaban Asia.

Pesisir timur Sumatra Utara telah lama dikenal sebagai jalur penting dalam jaringan perdagangan maritim Asia Tenggara. Salah satu pelabuhan bersejarah di kawasan ini adalah Tanjung Tiram, yang secara geografis terletak di Kabupaten Batubara. Letaknya yang strategis, diapit oleh muara Sungai Kanan dan Sungai Kiri, menjadikannya lokasi ideal bagi aktivitas perdagangan dan pelayaran sejak masa pra-kolonial hingga modern. 

httpsdigitalcollections.universiteitleiden.nl_Tanjung Tiram Simpul Strategis Perdagangan dan Budaya di Pesisir Timur Sumatra Utara_Galih Nugroho - Galih Nugroho
httpsdigitalcollections.universiteitleiden.nl_Tanjung Tiram Simpul Strategis Perdagangan dan Budaya di Pesisir Timur Sumatra Utara_Galih Nugroho (2) - Galih Nugroho
httpsdigitalcollections.universiteitleiden.nl_Tanjung Tiram Simpul Strategis Perdagangan dan Budaya di Pesisir Timur Sumatra Utara_Galih Nugroho (3) - Galih Nugroho

Gambar: a. Dermaga pelabuhan (kiri); b. para nelayan (kanan); c. Pantai Timur Sumatra Utara (bawah) Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

Pada masa lalu, Tanjung Tiram mendapat pengaruh dari beberapa Kesultanan Melayu, seperti Kesultanan Siak, Aceh, Deli, dan Asahan. Peran pelabuhan pada masa lalu tidak hanya terbatas pada aktivitas ekonomi, tetapi juga menjadi pusat penyebaran agama dan budaya. Islamisasi terjadi melalui jalur perdagangan yang dibawa oleh pedagang Arab dan Gujarat, sebagaimana dibuktikan oleh temuan batu nisan khas Aceh dari abad ke-17 dan 18 di wilayah ini (Suryadi, 2014). Mulanya para pedagang berhenti untuk menukarkan barang bawaannya sembari menunggu angin. Selama masa tersebut mereka membangun wilayah hunian dan juga melakukan kontak dengan warga setempat. Melalui proses ini terjadilah kontak budaya yang lambat laun mempengaruhi budaya di tempat tersebut.

Pada masa ini, kepemimpinan lokal, seperti panglima laut dan pemuka adat, berperan sebagai perantara antara otoritas kesultanan dan masyarakat pesisir. Struktur sosial masyarakat Tanjung Tiram terbentuk dari sistem kepemimpinan adat dan agama yang berjalan seiring (Reid, 1988). Gelar-gelar tradisional seperti “Datu”, “Paduka Sri”, dan “Nahkoda” menunjukkan adanya struktur sosial yang berkaitan erat dengan aktivitas pelayaran.

Memasuki masa kolonial Belanda, Tanjung Tiram terintegrasi ke dalam sistem ekonomi kolonial. Wilayah Batubara dikenal sebagai sentra perkebunan karet dan tembakau, dengan perusahaan-perusahaan seperti Deli Maatschappij dan Senembah Maatschappij mendominasi aktivitas ekonomi (Lindblad, 2002). Sistem tanam paksa dan konsesi lahan menyebabkan pergeseran dari pertanian subsisten ke orientasi ekspor. Beberapa pabrik didirikan untuk mengolah hasil kebun tersebut, misalnya saja pabrik karet, sabun, dan minyak sawit.

httpsdigitalcollections.universiteitleiden.nl_Tanjung Tiram Simpul Strategis Perdagangan dan Budaya di Pesisir Timur Sumatra Utara_Galih Nugroho (4) - Galih Nugroho
httpsdigitalcollections.universiteitleiden.nl_Tanjung Tiram Simpul Strategis Perdagangan dan Budaya di Pesisir Timur Sumatra Utara_Galih Nugroho (5) - Galih Nugroho
httpsdigitalcollections.universiteitleiden.nl_Tanjung Tiram Simpul Strategis Perdagangan dan Budaya di Pesisir Timur Sumatra Utara_Galih Nugroho (6) - Galih Nugroho

Gambar: a. pabrik minyak sawit (kanan); b. pabrik karet (tengah); pabrik sabun (kiri) Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

Pelabuhan Tanjung Tiram menjadi simpul distribusi hasil bumi dari pedalaman menuju pasar internasional. Infrastruktur seperti gudang, dermaga, dan permukiman buruh tumbuh seiring kebutuhan kolonial.  Infrastruktur lain yang dibangun adalah jaringan kereta api yang digunakan untuk mengangkut komoditas. Pada masa sekarang jaringan kereta api itu beberapa masih dipakai baik sebagai jalur kereta oleh PT KAI maupun oleh perkebunan swasta misalnya Bakrie Sumatra Plantations. Kebutuhan akan 

Gambar: Kereta api pengangkut pabrik minyak Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

Buruh diselesaikan dengan program membuka program migrasi buruh dari daerah lain seperti Jawa dan Tapanuli yang pada akhirnya meningkatkan keberagaman etnis dan budaya di wilayah ini. Namun, pendidikan dan pelayanan kesehatan masih sangat terbatas dan hanya diperuntukkan bagi kepentingan kolonial (Furnivall, 1948).

Keberadaan pelabuhan ini sebagai simpul penting maritim juga diperkuat oleh temuan arkeologis. Anderson mencatat keberadaan reruntuhan bata di hulu Sungai Batubara yang diyakini sebagai peninggalan budaya India, yang masuk melalui jalur sungai dan pelabuhan Tanjung Tiram (Anderson & Tarling, 1971). Di pesisir Desa Bogak, ditemukan bangkai kapal abad ke-18, bersama lempeng logam, ubin porselen, keramik China, serta koin Inggris dan Belanda dari rentang tahun 1734 hingga 1790 (Hati et al., 2018). Tinggalan arkeologis berupa bangunan istana juga ada di lokasi ini, yaitu Istana Lima laras. Istana Lima Laras  dibangun oleh Sosok lokal bernama Datu Muhammad Yuda, penguasa Batubara ke-12 sebagai simbol kejayaan perdagangan lokal yang terhubung dengan pelabuhan ini. 

Setelah kemerdekaan, Tanjung Tiram mengalami beberapa transformasi sosial dan administratif. Transformasi sosial diantaranya adalah Revolusi Sosial di Sumatra Timur pada 1946 mengubah tatanan sosial lama, dan Orde Baru membawa pembangunan infrastruktur seperti jalan dan sekolah (Anderson, 2001). Pada tahun 2007 wilayah ini mengalami transformasi administratif berupa pembentukan Kabupaten Batubara  sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Asahan. Saat ini Kabupaten Batubara berfokus pada sektor perkebunan, perikanan dan kelautan menjadi prioritas pengembangan.

Namun, tantangan lingkungan dan sosial seperti abrasi pesisir dan degradasi ekosistem laut, perdagangan narkotika, imigran ilegal, serta keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, masih menjadi isu utama hingga kini. Upaya pelestarian tinggalan sejarah dan pengembangan potensi wisata maritim diharapkan mampu menjadikan Tanjung Tiram sebagai pelabuhan rakyat yang berdaya saing.

Interaksi intensif dengan berbagai bangsa seperti dari masa klasik hingga masa kolonial membuat Tanjung Tiram menjadi titik pertemuan budaya. Akulturasi ini tampak pada bahasa, kuliner, hingga tradisi lokal. Perpaduan budaya ini juga memengaruhi struktur sosial dan pola pikir masyarakat pesisir yang terbuka dan adaptif. 

Dengan kekayaan sumber daya laut, tinggalan arkeologis, nilai historis, dan posisi strategisnya di jalur perdagangan, Tanjung Tiram mempunyai potensi besar sebagai pusat ekonomi, pariwisata dan pendidikan yang berbasis maritim. Penguatan sektor perikanan tangkap, industri pengolahan hasil laut, serta wisata sejarah dan bahari bisa mendorong kebangkitan ekonomi lokal. Namun, tentu saja semua itu harus dibarengi dengan pelestarian lingkungan dan pelibatan aktif masyarakat lokal agar pembangunan berjalan berkelanjutan.

Tanjung Tiram adalah cerminan sejarah panjang interaksi maritim yang kompleks di kawasan pesisir timur Sumatra Utara. Peranannya sebagai pusat perdagangan, pelayaran, penyebaran agama, serta titik temu budaya menjadikannya sebagai lokasi yang penting dalam kajian sejarah dan arkeologi maritim Indonesia. Tinggalan sejarah dan arkeologi di kawasan ini menjadi bukti nyata kontribusi Tanjung Tiram dalam sejarah regional Selat Malaka.

Daftar Pustaka

 

Suryadi. (2014). “Batu Nisan Aceh dan Penyebaran Islam di Nusantara,” Jurnal Warisan Budaya, 9(1), 45–60.

 

Reid, Anthony. (1988). Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680: Expansion and Crisis. Yale University Press.

 

Lindblad, J. Thomas. (2002). Bridges to New Business: The Economic Decolonization of Indonesia. KITLV Press.

 

Furnivall, J.S. (1948). Colonial Policy and Practice: A Comparative Study of Burma and Netherlands India. Cambridge University Press.

 

Anderson, J., & Tarling, N. (1971). Mission to the east coast of Sumatra in 1823.

Hati, L. P., Harahap, F., Suprayitno, & Saidin, M. (2018). “The maritime historical background of Bogak Port (8–20 century), Tanjung Tiram District, Batubara Regency, North Sumatra Province,” International Journal of Culture and Art Studies, 1(1), 28–35.

 

Anderson, B.R.O’G. (2001). Revolusi Pemuda. Yogyakarta: Insist Press.