Wayang Tingklung : Dalang yang Multitasking

Oleh: Ardia Shiva
Gambar 1. Objek Pameran Wayang Petruk di Museum Kotagede, Intro Living Museum

Indonesia memiliki kesenian budaya yang beragam, mulai dari tarian, nyanyian, hingga pertunjukkan seni. Salah satu kesenian yang digemari masyarakat Indonesia adalah pertunjukkan wayang. Wayang memiliki jenis yang beragam seperti Wayang Orang, Wayang Kulit, dan Wayang Golek. Setiap jenis pertunjukkan wayang tersebut biasanya juga memiliki gaya yang berbeda-beda. Keanekaragamannya dapat dilihat dari setiap unsurnya, misalnya perbedaan bentuk pada wayang kulit gaya Surakarta dan Yogyakarta (Sunaryo, 2008). 

Pertunjukkan wayang kulit ditampilkan dengan cara yang berbeda di daerah Kotagede, Yogyakarta. Wayang kulit di Kotagede dikenal dengan sebutan Wayang Tingklung. Pertunjukkan wayang ini menggunakan wayang purwa dengan gagrak Yogyakarta. Namun, yang membedakan dengan pertunjukkan wayang kulit lainnya adalah cara memainkannya. Wayang kulit yang biasanya menjadi pertunjukkan megah, komplit dengan seperangkat alat musik gamelan beserta sinden-sinden namun tidak dengan Wayang Tingklung di Kotagede ini. Wayang Tingklung dimainkan tanpa adanya gamelan dan sinden. Wayang ini hanya terdiri dari seorang dhalang, wayang, cempala (pemukul kotak) dan kepyak. Semua suara gamelan, nyanyian dan suara wayang dimainkan oleh seorang dalang. 

Cerita yang biasanya dimainkan pada wayang tingklung masih sama seperti cerita wayang kulit pada umumnya, yaitu cerita Ramayana dan Mahabarata. Perbedaan yang terasa dalam pertunjukkan ini adalah kesederhanaan, tidak terlalu ramai, tidak memakan banyak tempat dan tidak memakan banyak biaya. Kesederhanaan yang ditampilkan dari wayang tingklung ini membuat suasana pertunjukkan semakin tenang dan cerita yang dibawakan lebih mudah tersampaikan kepada penonton. 

Hal yang menjadi ciri khas pertunjukkan wayang tingklung ini adalah suara dalang yang mampu berdendang menggantikan suara gamelan dan sinden. Sang dalang juga dibantu dengan alat-alat pendukungnya, seperti sebuah kotak kayu dan adanya cempala serta kepyak yang terbuat dari logam untuk menghasilkan suara-suara. Memainkan wayang Tingklung perlu memiliki koordinasi tubuh yang mumpuni. Seorang dalang dalam pertunjukkan wayang Tingklung hampir semua tubuhnya melakukan kegiatan, seperti tangan yang harus bermain menggerakkan wayang, kaki yang harus membunyikan kepyak, dan mulut yang harus bersuara untuk menceritakan lakon wayang sekaligus memainkan suara gamelan dan menggantikan sinden. 

Saat ini informasi mengenai wayang tingklung sedang disebarluaskan melalui museum yang ada di Kotagede, yakni Museum Kotagede, Intro Living Museum. Salah satu ruang pamer di museum ini menampilkan beberapa objek wayang yang digunakan untuk pertunjukkan wayang Tingklung. Terdapat pula videografis yang menjelaskan sekilas tentang Wayang Tingklung. Menurut infografis yang ada di Museum Kotagede, wayang Tingklung biasa disebut juga dengan istilah Wayang Cangkeman. Hal ini didasari oleh keyakinan masyarakat terhadap mitos larangan menabuh gamelan di Tanah Kauman, Kotagede, karena wilayah ini adalah wilayah para Ulama. 

Di Kotagede sendiri, pertunjukkan wayang Tingklung ini masih dimainkan oleh seorang dalang handal dan legendaris bernama Pak Mudjiran. Pertunjukkan ini memang cukup sulit dijumpai saat ini, para penggiatnya juga sudah banyak yang berumur lansia, sehingga keberadaan kesenian ini perlu dilestarikan. Penelusuran tentang kesenian wayang tingklung sendiri masih tergolong sedikit, baik dari sejarah, perkembangan, dan unsur-unsur lainnya. Latar belakang lokasinya yang berada di kawasan Kotagede, menjadikan kesenian ini patut untuk digali lagi informasinya, karena Kotagede dahulunya adalah wilayah Kerajaan Mataram Islam yang sangat terkenal. Sehingga, penelitian mengenai Kotagede maupun kesenian Wayang Tingklung akan membantu dalam pelestarian. 

Referensi : 

Sunaryo, A. (2008). WAYANG KULIT GAYA SURAKARTA DAN YOGYAKARTA, PERUPAAN DAN PERBEDAANNYA. Imajinasi, 4.