[OPINI] Lempar Koin di Situs Kuno: Siapa yang Mata Duitan?

Ilustrasi lempar koin pada situs.
Ilustrasi lempar koin pada situs. (goldeneaglecoin.com)

Tulisan karya : Ardhias Nauvaly (Arkeologi 2018)

Beberapa waktu silam saya menyambangi salah satu landmark Kota Semarang yang masyhur akan nilai sejarah. Ya, Lawang Sewu. Seperti halnya lokasi bersejarah lain, selalu ada unsur yang mengikuti dan malah menjadi salah satu poin menarik dari situs tersebut. Itulah yang biasa disebut mitos. Entah mengapa, manusia selalu memandang masa lalu sebagai paruh waktu yang penuh kekuatan tak terjamah atau katakanlah, gaib. Mungkin ini bentuk pengakuan manusia akan ketidakmampuannya dalam mengunjungi masa yang sudah-sudah itu. Maka dari itu, manusia melimpahkan semua ketidaktahuannya dalam bentuk cerita atau mitos. Salah satu bentuk mitos di Lawang Sewu ialah barangsiapa yang melempar koin ke bunkernya maka––katakanlah––akan mendapat kesejahteraan. Saya pun coba lempar koin kesana.

Walhasil, saya cukup sejahtera karena bisa dapat ilham untuk menelurkan tulisan ini.

Entah siapa dan dimana hal ini dimulai, yang jelas ritual ini menggejala hampir di semua situs kuno. Di Indonesia sendiri sangat banyak situs yang terdapat ritual melempar koin. Kolam Penataran, Bunker Lawang Sewu, hingga Taman Sari. Bahkan ritual ini pun buka cabang di situs-situs kekinian. Saya pernah lihat kolam ikan koi di pom bensin pun ada uang koinnya. Tak habis pikir.

Boro-boro memuja koi dengan koin, bayar toiletnya saja saya mesti berkelit dengan bilang, “Dibayarin teman di belakang, Mas.”

Betapa amoralnya!

Tak hanya beredar di Nusantara, ihwal ini pun juga terjadi di mancanegara. Trevi Fountain-nya Roma yang dibangun 1 abad jelang masuk tahun masehi pun tak lepas dari lemparan koin. Bahkan pernah ada laporan bahwa dalam 1 tahun Trevi Fountain sanggup menghasilkan 1,5 juta Dollar (Lavanga, 2017). Tak perlu lah ya dibuatkan guyonan macam “kalau dibuat beli pentol bisa dapet sekian pentol”.

Lantas, apa sebenarnya yang mendorong kemunculan cerita-cerita macam ini? Untuk siapa sebenarnya koin-koin itu?

.

Hal dasar yang paling membedakan manusia dan kera-kera lainnya adalah kemampuan bercerita (Harari, 2011). Bukan hanya soal apa-apa yang bisa diindera, namun juga soal-soal abstrak. Salah satu cerita abstrak itu ialah mitos, yang pada kasus kali ini ialah mitos lempar koin. Cerita dan mitos, secara konsep merupakan wujud simbol. Mengacu pada postulat Mircia Eliade, simbol diciptakan oleh manusia untuk menyampaikan pesan, dimana alfabet juga bisa dikatakan simbol (Saliba, 1976). Kembali pada konteks mitos, simbol mengambil kedudukan sebagai penjelas atas sesuatu yang-tak-terbatas kepada manusia yang serba terbatas (Saliba, 1976). Cerita-cerita, tentang kultus koin misalnya, dikreasi oleh masyarakat baik secara individu ataupun kolektif untuk menjelaskan suatu kepercayaan yang abstrak.

Aturan main pun nyaris seragam dimanapun situsnya.

“Barangsiapa yang melempar koin maka akan mendapat berkah, kemakmuran, terhindar dari marabahaya, dan hal-hal manis lainnya”.

Kisah kolektif yang mampu menjelaskan fenomena ini adalah ritual pengorbanan. Semua kepercayaan membutuhkan dua hal agar mampu terpancang kokoh di hati para penganutnya, yaitu ritual dan pengorbanan (Harari, 2011). Apapun agamanya, nyatanya masih ada ritual melempar koin demi mengharap janji manis Ilahi. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya ialah, mengapa mesti koin?

.

Ritual dan pengorbanan menuntut anasir paling berharga dari penganutnya. Pada kisah Islam misalnya, Ibrahim diminta untuk mengorbankan hal duniawi yang paling ia cintai, yaitu Ismail – anak kandungnya. Jauh sebelum itu, anak Adam diminta untuk mengurbankan hasil jerih payahnya. Apalagi kalau bukan ternak dan tani. Jelas kala itu belum ada pekerjaan macam selebgram. Kalau ada, bisa jadi kurbannya berupa sedekah followers ataupun berbagi adsense. Alangkah canggihnya.

Kondisi pada kisah tersebut barang tentu beda dengan era sekarang. Apa hal yang paling berharga saat ini? Tak perlu pikir panjang, kita bisa katakan serempak.

Uang.

Hampir semua Sapiens percaya bahwasanya uang ialah sumber segala kenikmatan duniawi. Semuanya, kecuali mereka yang tak punya uang. Untuk itulah, dalam kehidupan mistik pun cerita-cerita soal kesaktian uang ini merasuk tak terkendali. Jadilah muncul berbagai hak-hak religius yang bisa ditukar dengan kurban uang, Di Katolik misalnya, dulu ada istilah indulgensi dimana umatnya mesti menukar surat tebus dosa dengan uang (Brecht, 1993). Islam pun mengajarkan kita untuk menyisihkan harta demi kaum fakir demi meraih surga. Okelah, uang dalam jumlah besar memang bisa dikatakan suatu pengorbanan. Dan pada akhirnya setimpal dengan ganjaran yang dijanjikan seputar kesucian diri dan kenikmatan surgawi. Namun apa yang bisa dibeli dari koin-koin selain toilet dan parkir? Mengapa mesti koin?

.

Padahal jika dipikir-pikir, ritual melempar koin ini dapat menimbulkan perkara yang tidak perlu. Saya berpikir bagaimana bisa kita menyumbang koin berlambang garuda yang notabene kendaraan dewa Wisnu (Rao, 1914), di candi seorang raja beraliran Siwa. Selain salah server, tindakan yang diniatkan memohon doa restu ini malah mengundang sumpah serapah dari ruh terkait. Ibarat mewakafkan batu karbala ke masjid Sunni. Bukan main ngelunjaknya!

Atau begini, saya melempar koin tempo hari ke bunker Lawang Sewu dengan polosnya. Tanpa berpikir bahwa koin itu bergambar Garuda Pancasila dan berwajahkan tokoh pahlawan kemerdekaan. Oleh karena kepolosan yang semi-tolol tadi, saya alpa bahwa ini situs peninggalan Kolonial Belanda, musuh masyarakat Nusantara kala itu. Bila ruh-ruh disana menganggap ini sebagai sindiran dan ajakan reuni di medan tempur, wah gawat bukan main itu Kawan!

Bukannya mendapat karomah dan limpahan rezeki, bisa-bisa negeri ini mengalami penjajahan kembali untuk kesekian kali. Kalau dulu karena rempah-rempah, kali ini karena koin yang salah alamat. Ada benarnya pula Bung Karno berteriak bahwa perjuangan kita lebih susah karena melawan bangsa sendiri. Ealah ternyata musuh itu terkabul dalam wujud kepolosan anak- cucunya yang dipoles ketidakmujuran seperti itu tadi.

Selain itu, sempat terlintas di benak saya bahwa arwah mana yang butuh uang? Kalau ternyata di alam baka sana uang tetaplah alat tukar konkret, untuk apa selama ini kita berbuat baik. Toh, yang penting punya uang banyak guna bekal dunia, juga akhirat. Dan jikalau saja ternyata skenarionya seperti itu, saya tak yakin ruh-ruh tersebut, terlebih ruh dewata mau menerima uang-uang koin itu. Mana sudah aus hingga tak nampak nominalnya, ternyata bekas kerokan bapak-ibunya pula.

.

Jadi, kembali lagi pertanyaannya. Dalam mitos melempar koin, siapa yang mata duitan? Dewa, Tuhan, dan ruh leluhur kah? Atau justru manusia itu sendiri yang malah mendewakan koin lebih dari dewa itu sendiri?

Editor :

Candrika Ilham Wijaya (Arkeologi 2019)

Hot Marangkup Tumpal (Arkeologi 2018)

 

Daftar Pustaka

Brecht, M. (1993). Martin Luther. Philadelphia: Fortress Press.

Harari, Y. N. (2011). Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia. Jakarta: KPG.

Lavanga, C. (2017). Rome’s Trevi Fountain Holds Nearly $1.5 Million in Loose Change. Diakses pada 26 Mei 2020, dari nbcnews.com: https://www.nbcnews.com/news/world/rome-s-trevi-fountain-holds-nearly-1-5-million-loose-n745921.

Rao, T. A. (1914). Elements of Hindu Iconography. Madras: The Law Printing House.

Saliba, J. A. (1976). ‘Homo Religiosus’ in Mircea Eliade. Leiden: E. J. Brill.

 

Incoming search terms:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.