Menyoal Arca Harihara Dieng
Tulisan karya : Antonius Satrio Wicaksono (Arkeologi 2018)
“Sivaya Visnu rupaya Siva rupaya Vaisnave. Sivasya hrdayam Visnu Visnocha hrdayam Sivah.”
“Siwa dalam bentuk Wisnu dan Wisnu dalam bentuk Siwa. Hati Siwa serupa Wisnu dan hati Wisnu serupa Siwa.”
Begitulah penggalan sloka yang bertalian dengan Hariharamurti. Manifestasi dewa Wisnu (Hari) dan dewa Siwa (Hara) dalam satu wujud individu[1].
Kultus akan dua dewa Trimurti yang eka rupa ini secara gamblang tampak dari eksisnya arca Harihara yang tersebar di seantero Asia. Termasuk Indonesia di mana salah satu arcanya ditemukan di Dieng, Jawa Tengah.
Kalau umumnya karakter Siwa berada di sebelah kanan sementara Wisnu di sebelah kiri[2], ciri Siwa dan Wisnu pada Harihara Dieng tak dipisahkan dengan tegas. Uniknya lagi, atribut Siwa jumlahnya lebih dominan ketimbang Wisnu.
Kedua tangan belakang Harihara memegang laksana Siwa, yaitu aksamala (tasbih) di tangan kanan dan camara (pengusir lalat) di tangan kiri. Tangan kanan depan memegang laksana Wisnu yaitu sangkha (cangkang siput), sedang tangan kiri depan bersikap samadi. Tali yang menyelempang dari bahu kiri ke pinggang kanan, atau yang disebut upawita, memiliki kepala ular yang adalah ciri khas Siwa. Selain itu, kepala Harihara tak dimahkotai separuh jatamakuta serta separuh kiritamakuta. Sebab hanya ada jatamakuta milik Siwa[3].
Walhasil, alih-alih menyuguhkan perpaduan harmonis antara Siwa dan Wisnu, tampilan Harihara Dieng lebih cocok dikatakan sebagai pengejawantahan Siwa yang menyandang secuil aspek Wisnu.
Sekali peristiwa, saya sempat mengulik riwayat Harihara Dieng kepada salah seorang pengampu matkul Ikonografi. Bu Nia, begitulah akrab disapa. Rupa-rupanya, arca yang sekarang disimpan di Museum Kailasa ini sudah ditemukan sejak zaman Belanda. Namun dokumentasinya kelewat ala kadarnya.
Tentu saja ‘Dieng’ adalah kunci. Setidaknya bagi penanggalan relatif yang berdasar pada pembandingan antar arca. Berhubung kesamaan langgam mengacu pada kesamaan periode dan daerah geografis.
Dalam hal ini, tampilan Harihara Dieng tak ubahnya kebanyakan arca di Jawa Tengah. Ditandai dengan rautnya yang lemah lembut, mencirikan kehalusan rasa, dan mempunyai ekspresi kedewataan (devine expression)[4]. Soal busana, arca Harihara Dieng juga sepadan dengan langgam Sailendra selazimnya arca-arca di Jawa Tengah[5]. Makanya, tak butuh keraguan untuk mencap identitasnya sebagai output peradaban Mataram Kuna.
Meskipun begitu, secara spesifik tarikh arca Harihara Dieng nampaknya sezaman ‘Klasik Awal Tua’. Hal ini dikarenakan hiruk pikuk zaman klasik di Dieng, terlebih selagi menjadi episentrum kegiatan religius, lebih bergema pada kisaran abad ke-7 M hingga ke-9 M jika disesuaikan dengan usia percandian di sana[6].
Wilayah yang dulu disebut Dihyang ini sebetulnya kental dengan pemujaan Siwa. Candi-candinya secara umum bermodel parswadewata, yakni konstelasi kuil di mana kedudukan Siwa selaku dewa utama didampingi oleh relasi-Nya, seperti Durga, Agastya, dan Ganesha. Meski diperoleh jua bukti pemujaan Wisnu (seperti selembar gold-foil berelief Wisnu dari Gemuruh, Banjarnegara), ikon Siwaistis yang bercokol di Dieng jauh lebih berlimpah. Mulai dari yang aniconic macam Lingga-Yoni, maupun yang iconic macam arca Siwa Trisirah, Siwa-Parwati, dan Siwanandisawahanamurti.
Demikianlah dapat diperjelas bahwa sekte Saiwa, yaitu komunitas yang menitikberatkan persembahyangannya kepada Siwa Mahadewa[7], lebih mendominasi tlatah Dieng dibanding sekte Waisnawa yang notabene pemuja Wisnu.
Hal tersebut kelihatannya menjadi jawaban dari anomali yang dimiliki Harihara Dieng. Sebab terdapat kesamaan pola antara pengekspresian arca dengan dominansi sekte. Bahwasanya hal-hal bernafaskan Siwaistis bisa dibilang superior sedangkan Wisnu tergolong inferior. Cenderungnya, status Saiwa yang lebih mayor inilah yang mengarahkan sudut pandang pada ditonjolkannya komposisi Siwa.
Tak dapat dinafikan memang bahwa arca biasanya dibuat atas suatu titah dan menuruti ketentuan. Apalagi dengan ukuran Harihara yang cukup besar, seyogianya ada turun tangan pihak tertentu yang menentukan maksud produksi arca sebelum sang seniman beraksi. Maksud itulah yang perlu dimengerti. Sehingga dugaan apakah arca merupakan buah sinkretisme Saiwa-Waisnawa, apakah mengisyaratkan hadirnya aliran tersendiri yang memang mengkultuskan Harihara, dapat terjawab.
Sayangnya, faktor riil yang melatarbelakangi produksi arca teramat sukar dilacak karena tidak disokong dengan asosiasi yang mantap. Karena arca ini belum diketahui ada digubris dalam prasasti atau tidak sehingga tarikhnya tidak mutlak dan nihil sejarah penyerta. Berbeda dengan, misalnya, munculnya arsitektur Buddhis di Mataram Kuna yang jelas berhubungan dengan dualisme keyakinan menurut sejarah dinasti. Lagipula pada kasus candi, tahun pembangunannya kerap tertera pada prasasti. Baik tersurat maupun tersirat dalam sengkalan. Bahkan, diceritakan terus terang musabab pendiriannya.
Oleh sebab itu, mencari tahu perkara ‘siapa dan mengapa’ pada Harihara Dieng sedianya bakal berbuntut spekulasi. Tapi kalau hendak berpendapat, saya sendiri berpijak pada konsep bahwa penciptaan budaya bendawi sedikit banyak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sebagaimana dituturkan banyak ahli dan budayawan kondang. Kemudian, meyakini bahwa eksesifnya atribut Siwa pada arca rasanya merupakan respons terhadap kultur Siwaistis selaku budaya yang mayor. Pengertian lain, pola atribut arca Harihara mencerminkan kondisi sosial Dieng pada masanya. Khususnya menyoal keberanekaan sekte berikut level supremasi.
Editor :
Candrika Ilham Wijaya (Arkeologi 2019)
Hot Marangkup Tumpal (Arkeologi 2018)
[1] Bhattacharyya, D. C., Iconology of Composite Images, New Delhi, Munshiram Manoharlal Publishers, 1980, hlm. 11.
[2] Rao, T. A. G., Elements of Hindu Iconography, Madras: The Law Printing House, 1914, hlm. 271.
[3] BP3 Jateng, Dewa Dewi Masa Klasik, Jawa Tengah: BP3, 2010, hlm. 39.
[4] Lihat: Jaya, I. B. S., Kajian Seni Arca pada Masa Klasik di Bali, Bali: Universitas Udayana, 2018, hlm. 2-4.
[5] Lihat: Utomo, B. B., Arca-arca Berlanggam Sailendra di Luar Tanah Jawa, Amerta, 31(1), 2013, hlm. 1-24.
[6] Lihat: Soekmono, R., Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, Yogyakarta: Kanisius, 1973, hlm. 86-87.
[7] Raju, P. T., Structural Depths of Indian Thought, New York: State University of New York Press, 1985, hlm. 10-14.