Kota dan Urbanisasi Awal di Asia Tenggara
Fig. 1 Pagoda Baw Baw Gyi di Sriksetra, by Jakub Hałun – Own work, CC BY-SA 4.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=51060827
Fig. 2 Kuil Asrama Moha Russei di Angkor Borei, By Tonbi ko – Own work, CC BY-SA 4.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=50024835
Kota bisa kita definisikan secara formal dan fungsional. Mendefinisikan kota secara formal berarti mendefinisikannya berdasarkan ciri fisiknya, sedangkan definisi fungsional berdasarkan fungsinya. Redfield dan Singer membagi kota fungsional menjadi dua yaitu orthogenic atau pusat pemerintahan dan budaya, dan heterogenic yaitu pusat perdagangan dengan penduduk multietnis. Pembentukan kota dan urbanisasi merupakan dampak meningkatnya kompleksitas dari sebuah masyarakat.
Angkor Borei
Fig. 3 Peta awal dari situs Angkor Borei berdasarkan survei/mapping pada ekskavasi tahun 1995 dan 1996 oleh Miriam T. Stark, et al
Angkor Borei merupakan salah satu situs arkeologi yang terletak di Delta Sungai Mekong dan diperkirakan sebagai pusat kekuasaan Kerajaan Funan. Situs ini memiliki dinding yang mengelilingi area sekitar 300ha, selain itu Angkor Borei juga memiliki parit selebar 22 meter, sebagaian parit ini dibentuk menggunakan sistem drainase alami dan sebagian dibuat dengan menggali tanah lalu membelokkan air sungai. Penanggalan struktur bata di dalam dinding kota menunjukkan bahwa situs ini sudah dihuni jauh sebelum dokumen Cina menyebutkan keberadaan Funan dan masih dihuni walaupun Funan sudah tidak disebutkan lagi di dalam dokumen Cina.
Sriksetra dan Sistem Irigasinya
Fig. 4 Perkembangan irigrasi Sriksetra dari Fase pertama sampai dengan fase keempat, peta oleh Stargardt & Gabriel Amable, University of Cambridge
Akhir abad masehi dan zaman besi merupakan masa di mana orang Pyu menetap di sepanjang Sungai Irrawady. Berawal dari parit dan fortifikasi yang sederhana, orang Pyu secara berangsur membentuk situs urban dengan sistem irigasi yang kompleks. Sriksetra adalah salah satu dari situs tersebut. Terletak di lereng yang menurun dari ketinggian 148m hingga 63m dengan jarak hanya 2,5km, Sriksetra berhasil membangun saluran irigasi yang dapat mendukung pertanian padi di situasi di mana air hujan tidak mendukung agrikultur padi melalui kanal, parit, kolam, dan tangka air. Kontrol air di Sriksetra juga melindungi kuburan unik di Sriksetra dari banjir kiriman yang datang pada musim hujan.
Jenis Penguburan di Sriksetra
Fig. 4 Kubur Teras Masal di Sriksetra, foto oleh Stargardt (Kiri) serta Kubur Batu dengan silsilah raja Pyu yang ditulis dalam bahasa Pyu (Kanan), foto oleh Depertemen Arkeologi Myanmar
Kubur di Sriksetra juga memiliki bentuk yang unik, bahkan jika dibandingkan dengan kubur Pyu lainnya seperti di Beikthano dan Halin. Kubur di Pyu berbentuk teras dimana bejana yang mengandung abu jenazah. Bejana ini disusun lalu dilapisi oleh tanah, di atas tanah lalu diletakkan lagi bejana, proses ini berlangsung sebanyak dua hingga tiga kali. Kubur lainnya yang terdapat di Sriksetra adalah kubur batu, jenis kubur ini ditujukan untuk kalangan elit di kota. Kubur Batu di Sriksetra dilengkapi aksara Pyu yang menyebutkan nama dalam Bahasa Sanskrit yang diasimilasikan ke Bahasa Pyu.
Masyarakat Sriksetra sudah mengenal hierarki sosial terlihat dari perbedaan penguburannya. Peran sosial di sana juga sudah terspesialisasi dengan profesi mulai dari petani, tukang bata, arsitek, serta pemahat. Sistem irigasi kompleks di Sriksetra tentu membutuhkan tenaga ahli baik untuk mendesain saluran irigasi maupun untuk membangunnya, setidaknya mereka membutuhkan arsitek dan orang yang mengetahui lingkungan sekitar kota. Kubur batu di Sriksetra juga memiliki aksara yang ditulis dengan rapih, ukuran hurufnya sama dan jarak antara hurufnya juga seragam. Tulisan semacam ini tidak mungkin dipahat oleh sembarang orang, setidaknya dibutuhkan ahli pahat yang menguasai aksara Pyu.
Kota Cina
Fig. 4 Gerabah yang dilapisi warna hijau dari Dinasti Song dan Stoples batu (kiri) yang hanya diwarnai dibagian mulutnya, jenis stoples ini sudah ada sejak dinasti Tang, namun masih digunakan pada dinasti Song dan Yuan. Foto oleh Edward McKinon
Kondisi arkeologi urban di Sumatra dan Asia Tenggara Maritim sangatlah berbeda dengan di Asia Tenggara Daratan, di mana banyak situs urban dan pra urban dalam bentuk parit dan benteng ditemukan dalam jumlah yang cukup substansial. Kontras dengan tinggalan arkeologinya, situs urban sudah disebutkan dalam dokumen sejarah sejak abad ke-7 masehi, ketika seorang pendeta Buddha Bernama I-Tsing melakukan perjalanan dari Cina, ia berhenti di kota pelabuhan bernama Fo-Shih. Apa yang dimaksud dengan Fo-Shih adalah Sriwijaya, jadi Fo-Shih kemungkinan merujuk kepada Palembang.
Situs yang menunjukkan kehidupan urban paling awal adalah Kota Cina. Terletak di Pantai Timur Sumatra Utara, Kota Cina merupakan situs urban tertua di Asia Tenggara yang di telah dilakukan studi secara intensif. Aspek paling menonjol dari situs ini adalah beragamanya tinggalan arkeologis di sini yang menunjukkan bahwa kehidupan kosmopolis di Kota Cina.
Ditulis oleh: Ramadhan Arkan Paramandana