[HIMAPEDIA] Problematika Dalam Arkeologi Gender Menjadi Salah Satu Tujuan SDG

Secara umum, pengertian gender diartikan sebagai adanya suatu nilai dan simbol pembeda dalam lingkungan masyarakat, dengan lahirnya suatu individu yang dapat dibedakan secara biologis, yaitu laki-laki dan perempuan yang dapat dilihat dari segi maskulinitas dan feminitas. (Saptari dan Holzner 1997:21). 

Topik pembahasan tentang gender ini mulai menarik perhatian pada tahun 1970-an dalam studi arkeologi sejak adanya pengaruh feminisme, dan bahkan menjadi sub disiplin dalam bidang keilmuan arkeologi sekitar tahun 1980-an dengan ilmu yang berjudul “Arkeologi Gender” (Johnson 2000:118) yang mana pembahasan terhadap ilmu ini lebih menitik beratkan terhadap peran, aktivitas, identitas yang ada pada laki-laki dan perempuan, serta membahas tentang perbedaan laki-laki dan perempuan yang dilihat dari segi sosial dan biologis dalam suatu masyarakat (Renfew dan Bahn  2005:127; Gilrischt 1997:2)          

                                                                          

       Sumber: (Wikipedia.com)                           sumber:(Bapeda.jogjaprov.go.id)

 

Perbedaan yang dilihat dari faktor biologis tersebut menjadi  suatu problematika dalam gender yaitu adanya ketidaksetaraan gender yang mengakibatkan terjadinya bias gender, hal tersebut masih menjadi masalah yang sepenuhnya belum bisa teratasi. Oleh karena itu, masalah ini masuk dalam tujuan SDGs nomor 5 yaitu tentang “kesetaraan gender” yang mana harapannya dapat tercapai pada tahun 2030 mendatang.


Sustainable Development Goals (SDGs) adalah suatu rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia yang memiliki tujuan untuk mewujudkan terciptanya kondisi bumi yang lebih baik lagi beserta dengan isi yang ada didalamnya dan  mengakhiri semua permasalahan yang tengah dihadapi dunia pada saat ini, yang telah dirangkum didalam 17 tujuan dengan 169 target. Contohnya seperti  kemiskinan, mengurangi kesenjangan yang terjadi dilingkungan masyarakat, kesetaraan gender, melindungi alam, menjaga laut, serta memperbaiki iklim. Dan harapan para pemimpin yang ada diseluruh dunia adalah dapat dicapainya 17 tujuan tersebut pada tahun 2030 mendatang.

 

Kesetaraan gender sangatlah penting, dikarenakan mampu memberdayakan masyarakat, hal itu disebabkan kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan untuk berkembangnya suatu negara menjadi lebih baik lagi, dan mampu memerangi kemiskinan, dan juga dapat memerintah secara efektif. Pemberdayaan perempuan penting untuk meningkatkan perekonomian dalam suatu negara (Sri Mulyani). Namun, Faktanya bias gender selalu menjadi permasalahan yang terjadi baik di Indonesia maupun di luar negri, dan selalu membatasi perempuan, dan bahkan mendiskriminasi perempuan, menganggap rendah perempuan, dan membedakan hak antara laki-laki dan perempuan baik dari segi sumber daya ekonomi, hak akses kepemilikan yang lebih sering dikontrol laki-laki, keuangan, warisan, dan hukum.

Dalam arkeologi, bias gender ini terjadi karena adanya paham androsentris (Conkey dan Spector 1984: 14-24). Paham androsentris adalah konstruksi patriarki, yang memberikan secara lebih dan memprioritaskan kaum laki-laki diatas kaum perempuan, yang dilihat dari bagaimana cara pemberian kekuasaan dalam bidang politik maupun ekonomi. Tidak hanya itu bias gender yang terjadi pada masa lalu juga dapat dilihat dari adanya pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang menunjukkan bahwasanya secara fisik laki-laki lebih kuat dari pada perempuan yang dinilai secara sosial dan budaya dengan konstruksi patriarki hal inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan gender dan peran gender dalam suatu masyarakat sehingga terciptanya bias gender.

Terdapat tokoh dari dunia barat yang menentang adanya ketidaksetaraan gender yang mengakibatkan bias gender, dan membuka mata dunia terhadap kesetaraan gender dengan pemikiran feminis liberalnya yang luar biasa dan bahkan menuliskannya dalam suatu buku “A Vindication of the Right of Woman” yang ditulis oleh Mary Wollstonecarft (1759-99). Pemikiran seperti lalu didukung dan diikuti oleh John Stuart Mill dan Harriet Taylor. 

Marry Wollstonecarft beranggapan bahwasanya untuk mendapatkan kesetaraan gender dan memerangi bias gender, maka hal yang harus dilakukan adalah dengan memberikan hak berupa pendidikan, hak politik, dan sebagainya haruslah sama dan setara dengan laki-laki. Dan kabar baiknya terdapat gerakan-gerakan feminitas yang mendukung kesetraan gender seperti National Organization for Women (NOW), the National Women’s Political Caucus (NPWC) dan the Women’s Equity Action League (WEAL) (Tong 1998:34).

Dengan begitu kita sebagai generasi pemimpin masa depan harus bisa bergerak maju, dan harus terdidik, terlebih bagi kaum perempuan menjadi generasi yang memiliki pemikiran yang feminitas. 

 

Ditulis dan Editor oleh : Maisy Pramaisella

Referensi 

Nastiti, T.S., 2016. Perempuan Jawa: kedudukan dan peranannya dalam masyarakat abad VIII-XV. Dunia Pustaka Jaya.

Savitri, M., 2007. Bias Gender: Masalah Utama dalam Interpretasi Arkeologi. Jurnal Humaniora, 19(2), pp.161-167.

www.sdg2030indonesia.org

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.