Arsip:

Notulensi

[SARING: Pengamanan Cagar Budaya pada Masa Pandemi]

Dalam suatu konsep pengamanan terhadap Warisan Budaya ini dilindungi dari ancaman dan gangguan. Ancaman dan Gangguan ini berbeda arti dan bentuknya. Ancaman merupakan suatu usaha atau kegiatan, yang berpotensi membahayakan kelangsungan berfungsinya Obyek Vital Nasional, sedangkan Gangguan itu sendiri merupakan tindakan nyata yang menimbulkan korban jiwa dan atau harta benda yang dapat merusak psikis seseorang.Dalam menangani hal tersebut dapat dilakukan pengamanan seperti; pencegahan, penangkalan, penanggulangan, dan penegakan hukum. 

Dalam melakukan pegamanan terlebih dahulu harus melakukan identifikasi terhadap benda-benda Warisan Budaya tersebut yang dilihat dari Bahan warisan Budaya, nilai dari Warisan Budaya, lingkungan yang ada disekitar warisan budaya dan juga memperhatikan bagaimana jenis gangguan dan ancaman yang terjadi pada Warisan Budaya tersebut dengan menggunakan Pengamanan yang tepat yaitu menggunakan berbagai Standard Operating Procedure (SOP).

Terdapat juga Alternatif  lain yaitu menggunakan pendekatan Teknologi dalam melindungi pengamanan Warisan Budaya yaitu seperti  menggunakan Aplikasi Teknologi Surveillance, Disaster Risk, Arkeologi Komunitas.                       

  •  Aplikasi Teknologi Surveillance ( pencegahan), yang menerapkan teknologi pemantauan yang dapat dioperasikan yang dapat dioperasikan jarak jauh, sejauh kondisi memungkinkan 
  • Pandemi sebagai bagian disaster risk 

Risiko pandemi kini dimasukkan sebagai salah satu aspek penting dalam pengamanan Warisan Budaya, khususnya dalam penyiapan Disaster-Risk. Pandemi termasuk dalam program penyusunan Multi-Hazards Disaster Risk Management bagi warisan budaya. 

Contoh yang dilqqakukan dalam oleh lembaga pemerhati pelestarian warisan budaya dengan melakukan program  “Capacity Building” dalam menghadapi pandemi 

  • Arkeologi Komunitas 

Arkeologi komunitas selalu berusaha secara aktif untuk melibatkan masyarakat dalam setiap kegiatannya, mulai sejak tahap penelitian, interpretasi maupun presentasi “pengetahuan” arkeologi. Dikarenakan masyarakat adalah benteng utama dalam melakukan pengamanan terhadap warisan budaya. Dengan menerapkan arkeologi komunitas dan menjelaskan bahwasanya ada kaitannya dengan masyarakat itu sendiri agar masyarakat juga mau untuk menjaga warisan budaya tersebut. melalui cara-cara (arkeologi/pemerintah) untuk berkolaborasi dengan komunitas pada setiap tahap kerja arkeologi, mulai dari penelitian, pemaknaan, dan penyajian informasi masa warisan budaya  (Moser et al., 2002: 220)

Untuk mencapai proses pengamanan maka dibutuhkannya kesadaran bersama baik itu dari masyarakat sendiri (benteng utama), pemerintah, pengelola,sektor swasta, akademis. Yang mampu mewujudkan keberhasilan pelestarian warisan budaya yang sesuai dengan  pembangunan berkelanjutan. Hal ini merupakan konsep dari Arkeologi Komunitas yaitu melibatkan semua pihak.

Cara yang bisa dilakukan antara pihak Arkeologi terhadap masyarakat adalah dengan mengajak dan mengedukasi dalam melakukan penelitian dan penyimpanan pengelolaannya 

Kita tidak harus melaksanakan proses pelestarian dengan setertib pada peraturan perundang-undangan. Tentu saja peraturan perundang-undangan harus kita lakukan dengan konsekuensi, akan tetapi jangan menutup pada pendekatan-pendekatan yang lain yang sebetulnya itu akan banyak bermanfaat daripada kita straight pada perundang-undangan. Oleh karena itu kita butuh kreatif, kita butuh terbuka dengan pendekatan-pendekatan yang lain.

-Daud Aris Tanudirjo, 2021

Notulis:

  • Siti Nur Aqidatul 
  • Maisy Pramaisella

Mengenal Konservasi Artefak Logam

“Kita mengalami proses evolusi yang panjang mulai dari ditemukannya artefak batu sekitar 2,6 juta tahun yang lalu hingga artefak logam yang ditemukan sekitar 10 ribu tahun yang lalu. Temuan logam tersebut membuat sebuah peradaban baru bagi manusia. Apabila tidak ditemukannya logam mungkin kita masih berada di masa prasejarah”, tutur Harry Octavianus Sofian S.S., M.Sc sebagai pembicara dalam diskusi mengenai konservasi artefak logam yang didakan divisi P3M HIMA UGM, pada Hari Minggu 30 Agustus 2020.

Logam di Indonesia sudah ada sejak zaman prasejarah dan kemudian berlanjut di zaman Hindu-Buddha, Kolonial hingga Islam. Untuk saat ini dating yang dipercaya logam masuk ke Indonesia adalah sekitar 395 BC yang didapatkan dari Goa Harimau di Sumatera. Meskipun demikian, untuk kedatangan logam pertama kali di Indonesia masih diteliti hingga sekarang. Sementara, logam di Asia Tenggara sendiri mulai muncul 1.300- 1.100 BC untuk perunggu dan sekitar 500 BC untuk besi. Oleh sebab itu, kita tidak bisa lebih tua dari Asia daratan.

Sejak 300 taun SM, logam salah satu bagian penting dalam perjalanan umat sekaligus menjadi bukti majunya peradaban pada manusia. Pada masa lampau logam telah digunakan untuk kebutuhan sehari-hari manusia yang dapat kita lihat saksikan hingga sekarang. Meskipun demikian, hal yang perlu diingat adalah bahan dasar logam sangat rentan terhadap korosi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penanganan dengan adanya konservasi.

Konservasi dapat dikatakan bagian dari ilmu Arkeologi karena setelah dilakukan ekskavasi, temuan-temuan yang sudah digali harus dikonservasi agar terlindungi dan lestari. Pengertian dari konservasi logam sendiri adalah kegiatan yang didedikasikan untuk pelestarian dan perlindungan benda yang terbuat dari logam. Tujuan adanya konservasi terhadap logam, yaitu agar kita dapat memahami proses penanganan objek logam pasca ekskavasi. Secara umum, proses konservasi logam setelah ekskavasi biasanya dilakukan dengan penanganan objek di lapangan, lalu dilanjutkan secara lebih mendalam di laboratorium. Setelah proses tersebut usai, maka logam akan disimpan di storage dan kemungkinan pada lain waktu objek tersebut bisa di-exhibition atau di pajang di museum.

Objek yang berbahan dasar logam akan sangat rentan terjadi korosi. Korosi dapat diartikan sebagai peristiwa perusakan logam karena terjadinya reaksi kimia antara logam dengan zat-zat yang ada di lingkungan, bahkan terkadang membentuk senyawa yang tidak dikehendaki. Korosi bisa terjadi karena sifat logam yang berusaha untuk kembali ke bentuk asalnya. Dapat dikatakan hal itu merupakan sebuah siklus yang tidak bisa kita hindari. Rumus kimia korosi dalam besi, yaitu adanya udara (O2) yang mengalami reduksi lalu oksigen beroksidasi dengan besi (Fe) sehingga membentuk NH2O. Contohnya adalah ketika kita melakukan ekskavasi dan memasukkan besi kedalam plastik kemudian besi itu berembun maka besi itu telah bereaksi.

Sebenarnya korosi itu tidak bisa dihilangkan tetapi korosi bisa diperlambat. Adapun cara memperlambat terjadinya korosi adalah dengan melakukan pengecatan, dibalut dengan plastik, dilapisi dengan timah (tin plating), serta pelapisan dengan seng (Galvanisasi). Untuk arkeologi, cara yang paling baik dan efektif adalah dibalut dengan plastik agar logam tersebut tidak dapat kontak langsung dengan air dan udara.

Sementara itu, proses identifikasi konservasi benda logam ada dua cara, yaitu dengan cara sederhana dan ilmiah. Metode sederhana merupakan bentuk pengamatan dengan mata telanjang atau secara visual, tes bagian tertentu yang terlihat korosi (spot test), maupun berat jenis dari logam tersebut. Sedangkan dengan cara ilmiah menggunakan XRF (X-ray fluorescence), XRD (X-ray powder diffraction), X-ray emission, LIBS (Laser Induced Breakdown Spectroscopy), SEM (scanning electron microscope), Teknik Elektrokimia, serta Metalografi. Metode ilmiah ini sering digunakan oleh bagian pertambangan dan minyak untuk mendeteksi pipa-pipa korosi yang berada di bawah tanah. Sedangkan cara untuk membersihkan objek logam kuno itu ada dua cara, yaitu secara mekanis (sederhana) dan secara kimia. Macam cara mekanis yang dapat digunakan untuk membersihkan objek logam kuno adalah dengan pengamatan mata telanjang, menggunakan bambu, dental tools, kapas, dan spot test dengan senter atau alat penerang. Sedangkan untuk cara kimia membersihkan objek lugam kuno adalah dengan cara elektrolisis, sodium bicarbonate (soda kue dan jeruk nipis), dan ultrasonic cleaning tools.

Apabila artefak logam ditemukan dalam keadaan patah atau terlepas, terdapat beberapa cara untuk konservasi artefak logam tersebut, yaitu dengan metode sederhana menggunakan aceton dan paraloid B72. Harga dari paraloid ini pun terjangkau. Cara menggunakannya adalah dengan mencampurkan aceton dan paraloid bersama dengan pigmen, maka artefak yang patah tersebut pun akan dapat disatukan. Hasil dari metode tersebut membuat sambungan dari patahan tersebut tidak terlihat dan artefak bisa tersambung kembali.

Selain itu, penanganan konservasi artefak logam pun beragam bergantung pada bahan dasar logam itu sendiri, contohnya cara menghilangkan korosi pada artefak perunggu yang pernah dilakukan oleh Balai Konservasi Borobudur, yaitu menggunakan soda kue yang dicampur dengan jeruk nipis lalu dibuat pasta yang kemudian dioleskan pada permukaan perunggunya. Setelah itu dibersihkan, apabila masih terdapat korosi ulangi hal yang sama sampai korosinya hilang. Sedangkan untuk logam berbahan besi menggunakan asam sitrat sebanyak 1 liter. Besi direndam satu malam pada asam sitrat kemudian disikat. Metode ini pun juga tidak langsung membuat korosi menghilang dan harus dilakukan berulang kali tergantung pada korosi artefak tersebut tebal atau tidak.

“Penyimpanan untuk konservasi artefak logam itu sama, kuncinya adalah jangan sampai terkena oksigen (O2)”, jelas Harry. Hal tersebut dikarenakan logam beroksidasi dengan oksigen sehingga menyebabkan korosi. Selain itu, penyimpanan artefak logam bisa menggunakan plastik ziplock, silica gel, ataupun box container.

Hal yang perlu diketahui adalah dibandingkan dengan konservasi di negara-negara lain, konservasi yang ada di Indonesia, bisa dibilang sedikit tertinggal. “Untuk saat ini Cina merupakan negara yang konservasinya sangat hebat karena memiliki Hospital of Conservation”, tutur Harry yang terkagum saat berkunjung ke sana karena Cina memiliki lebih dari tiga puluh laboratorium konservasi dan memiliki peralatan yang canggih. Selain itu, Cina pun memiliki konservator-konservator yag handal dalam bidang masing-masing. “Bahkan mereka memiliki konservator yang dikhususkan hanya untuk sebuah jam” tambah Harry. Jika dibandingkan dengan Cina dan Kamboja, konservasi di Indonesia masih sangat jauh. Selain itu, konservator-konservator yang handal dalam bidang-bidang tertentu pun masih sangat sedikit.

Berdasarkan pemaparan materi oleh pembicara dapat disimpulkan bahwa konservasi logam termasuk kedalam ilmu arkeologi metalurgi yang diawali oleh Prof. Timbul Haryono pada sekitar tahun 1980-an. Sedangkan pengertian dari konservasi logam adalah kegiatan yang didedikasikan untuk pelestarian dan perlindungan benda yang terbuat dari logam. Tujuan adanya konservasi terhadap logam adalah agar kita dapat memahami proses penanganan objek logam setelah dilakukan ekskavasi. Dalam penanganan artefak logam pun beragam caranya, metode yang digunakan berdasarkan bahan dasar apa yang digunakan dalam logam tersebut. Seiring berjalannya waktu, metode yang digunakan pun terus berubah dan bervariasi. Sementara itu, konservasi yang paling efektif digunakan pada artefak logam oleh arkeolog adalah dilapisi dengan paraloid B72 dan aceton.

 

Tulisan karya:

Roro Citraning Nur Haliza (Arkeologi 2019)

Editor:

Candrika Ilham Wijaya (Arkeologi 2019)