Konservasi Berbasis Masyarakat terhadap Sisa Batuan Candi di Kompleks Makam Sasanalaya Candi Dusun Candi Karang

 Karya : Sheba Nur Majjid;24/535146/SA/22922; Prodi Arkeologi

ABSTRAK

Wilayah Sleman memiliki banyak temuan klasik yang salah satunya merupakan reruntuhan sisa candi yang berada di Makam Sasanalaya Candi. Situs ini mengalami alih fungsi menjadi makam, yang dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap candi sebagai bangunan kuburan serta pengaruh Islam yang kuat. Munculnya kepercayaan lokal terhadap tokoh spiritual seperti Nyai Champa dan Nyi Ageng Serang menjadikan kawasan ini disakralkan dan digunakan untuk kegiatan keagamaan rutin. Hal ini mendorong bentuk konservasi berbasis adat dan komunitas di dalam masyarakat sendiri.

Kata Kunci: Konservasi, Candi, Alihfungsi, Apropriasi, Budaya Lokal, Masyarakat

PENDAHULUAN

Wilayah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan salah satu pusat temuan situs candi dari masa klasik, khususnya tinggalan-tinggalan Kerajaan Mataram Kuno. Kondisi geografisnya yang dipengaruhi oleh aktivitas vulkanik Gunung Merapi dan Gunung Merbabu menghasilkan tanah yang subur dan layak huni sejak masa lampau. Wilayah yang terletak di antara Borobudur dan Prambanan merupakan area yang sangat kaya akan situs-situs candi, yang tersebar dengan kepadatan tinggi. Candi-candi tersebut memiliki berbagai ukuran dan tersebar di berbagai lokasi, mulai dari dataran rendah, lereng gunung, hingga kawasan perbukitan. Di antara lereng Gunung Merapi-Merbabu dan Perbukitan Gendol terbentang sebuah dataran subur yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, baik berupa sawah maupun ladang, yang menopang kehidupan masyarakat Mataram Kuno pada masa itu (Wirasanti, 2023). Salah satu sebaran situs candi di Sleman berada di Kecamatan Ngaglik, tepatnya di Dusun Candi Karang, RT 04/RW 09, Sardonoharjo. Sebaran situs di wilayah ini berupa reruntuhan batu Candi yang berada di Sasanalaya Candi.

Kawasan Dusun Candi Karang awalnya menyimpan sejumlah tinggalan arkeologis klasik yang tersebar di sekitar kompleks makam (Sasanalaya) dan masjid. Berdasarkan kesaksian masyarakat di wilayah yang dahulu bernama Kalurahan Tjandi (kini Candi Lama), ditemukan sejumlah artefak seperti batu dinding candi, arca, hingga makara. Namun, karena kurangnya perlindungan dan dokumentasi, sebagian besar tinggalan tersebut kini telah hilang dan hanya tersisa reruntuhan batuan candi di kompleks makam. Upaya pendataan dan pengamanan baru dilakukan setelah adanya perhatian dari Dinas Kebudayaan.

Kondisi ini mencerminkan betapa lemahnya upaya konservasi yang dilakukan oleh pihak berwajib. Minimnya dokumentasi, pengawasan, dan pemahaman masyarakat terhadap nilai penting tinggalan tersebut juga memperkeruh keadaan karena ada beberapa arca dan batuan candi yang hilang dicuri orang. Oleh karena itu, konservasi dan perlindungan berbasis masyarakat sangat diperlukan untuk kasus ini karena lokasinya yang sangat erat dengan kegiatan sehari-hari masyarakat yaitu, makam.

PEMBAHASAN

Keberadaan tinggalan batuan candi di kompleks makam ini telah mengalami banyak perubahan fungsi dari masa ke masa. Besar kemungkinan bahwa kawasan tersebut dahulu merupakan bagian dari kompleks candi yang ditinggalkan akibat perubahan sosial, bencana alam, atau perpindahan komunitas pendukungnya. Seiring waktu, masyarakat setempat memanfaatkan bekas struktur tersebut sebagai area pemakaman. Alih fungsi ini tidak lepas dari pemahaman keliru yang berkembang di masyarakat, yang kerap mengidentifikasi candi sebagai bangunan makam (cungkup) atau kuburan. Pandangan ini berbeda dengan pendapat  Soekmono (1974) bahwa candi memiliki fungsi sebagai kuil. Selain itu, daur ulang candi menjadi makam banyak terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia seiring dengan derasnya arus perkembangan kebudayaan Islam. Beberapa contoh peninggalan klasik yang bertransformasi menjadi makam seperti pada temuan batu bata di pemakaman gubah Sultan Muhammad Mansyur dan gubah Ki Ranggo Wirosentiko, Plembang. Idris, dkk. (2019) pada penelitiannya menyebutkan Pemanfaatan bangunan candi menjadi bangunan makam nampaknya merupakan hal yang umum di Palembang. Pemanfaatan bangunan makam dilakukan pada reruntuhan candi dengan memanfaatkan bagian kaki candi Hindu-Buddha yang tersisa pada makam gubah Sultan Muhammad Mansyur dan gubah Ki Ranggo Wirosentiko.

Contoh lain dari alihfungsi bangunan candi ini adalah reruntuhan Candi Negeri Baru yang terletak di kompleks Makam Iranata, Ketapang, Kalimantan Selatan. Sekitar 75 meter di sebelah utara reruntuhan bekas candi bata tersebut, terdapat sebuah kompleks makam yang dikenal dengan nama Makam Iranata. Kompleks makam ini tidak hanya menjadi tempat peristirahatan terakhir Pangeran Iranata sebagai tokoh utama, tetapi juga memuat sejumlah makam lain dari tokoh-tokoh yang tidak diketahui identitasnya. Selain makam, di kompleks ini juga ditemukan sebuah lingga bagian atas yang berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar 30 cm (Sekti & Atmojo, 2013). Alih fungsi candi menjadi masjid atau makam di beberapa daerah menunjukkan bahwa hal ini sudah lazim terjadi, sebagai akibat dari kuatnya pengaruh Islam dan proses penyesuaian budaya yang terjadi di masyarakat setempat.

Proses pergeseran fungsi ini disebut dengan apropriasi. Apropriasi adalah proses pengambilan atau pemanfaatan unsur budaya dari satu kelompok oleh kelompok lain, yang sering kali terjadi tanpa pemahaman penuh mengenai pemaknaan  dan makna aslinya. Proses ini biasanya dilakukan masyarakat untuk mengalihfungsikan suatu kebudayaan supaya tidak kehilangan nilai spiritualitas yang telah ada sebelumnya. Apropriasi ini dapat menjadi suatu ancaman atau malah menjadi sarana pelestarian dari kebudayaan yang diambil alih. Ada banyak ancaman terhadap warisan budaya, terutama karena semakin banyak kelompok masyarakat yang ingin mengklaim benda-benda tersebut sebagai bagian dari budaya mereka sendiri (Basset, 2013). Namun terkadang, dengan mereka mengistimewakan atau menyakralkan benda tersebut, malah membuat eksistensinya menjadi lebih lestari.

Reruntuhan candi yang berada di kompleks makam Sasanalaya Candi mulai mengalami apropriasi oleh masyarakat setempat sejak munculnya keyakinan akan adanya petilasan di sisi timur situs tersebut. Petilasan ini dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Nyai Champa dan Maqom Nyi Ageng Serang, meskipun hingga kini belum ditemukan bukti arkeologis yang mendukung klaim tersebut. Kepercayaan lokal ini mendorong masyarakat untuk menyusun

kembali batuan candi yang tersisa, membentuknya menyerupai gerbang menuju petilasan sebagai simbol penghormatan terhadap tokoh yang mereka sakralkan.

Meskipun identitas dan keaslian petilasan ini masih diperdebatkan, aktivitas masyarakat seperti pengajian rutin setiap malam Selasa Wage dan nyadran menjadikan tempat ini sebagai ruang sakral dalam kehidupan sosial dan spiritual warga Dusun Candi Karang. Dalam konteks ini, praktik sakralisasi dan kegiatan berbasis adat-istiadat secara tidak langsung telah berperan sebagai bentuk konservasi yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Tinggalan candi menjadi lebih terlindungi karena masyarakat memiliki rasa hormat dan keterikatan secara batin terhadap situs tersebut, sehingga mengurangi risiko perusakan atau pengambilan artefak secara sembarangan karena dipercaya akan menghadirkan hal sial apabila tempat itu dirusak.

 

Gambar 1. Tampak depan batu reruntuhan candi yang disusun (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2025) 

 

Gambar 2. Tradisi Nyadran di Makam Candi (Sumber: Padukuhan Candi Karang, 2023) 

Walaupun kegiatan-kegiatan masyarakat ini merupakan salah satu upaya konservatif dalam menjaga keberlangsungan artefak ini, masyarakat awam tentulah memiliki keterbatasan dalam upaya konservasi secara fisik. Masyarakat tidak mempunyai basic bagaimana cara untuk merawat batuan-batuan candi tersebut supaya tidak rusak. Penyimpanan reruntuhan di ruang terbuka juga membuat reruntuhan batu candi tersebut riskan rusak karena panas dan hujan. Karena keterbatasan itu, terdapat beberapa sisa batuan yang mulai mengalami keausan dan berjamur.

 

 

 

Kondisi batu reruntuhan candi semakin memburuk akibat paparan cuaca yang tidak menentu dan posisinya yang berada di ruang terbuka. Oleh karena itu, Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) dan Dinas Kebudayaan sebaiknya turut berperan dalam upaya pelestarian situs ini. Jika objek ini belum menjadi prioritas penanganan langsung, langkah awal yang bisa diambil adalah memberikan pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat agar dapat terlibat aktif dalam upaya konservasi secara fisik.

KESIMPULAN DAN PENUTUP

Alih fungsi candi di Dusun Candi Karang menjadi area makam menunjukkan bahwa proses perubahan fungsi tinggalan arkeologis merupakan bagian dari dinamika budaya masyarakat. Kepercayaan terhadap tokoh-tokoh spiritual seperti Nyai Champa dan Nyi Ageng Serang memperkuat makna sakral situs ini di mata masyarakat. Walaupun belum ada bukti kuat terkait petilasan tersebut, tradisi rutin yang dilakukan telah menciptakan bentuk konservasi sosial berbasis adat dan kepercayaan lokal. Namun, kondisi fisik batuan candi masih membutuhkan perhatian lebih dari pihak terkait. Pelestarian tidak harus selalu bersifat teknis, melainkan bisa dimulai dari edukasi dan pelibatan masyarakat dalam menjaga dan menghargai tinggalan budaya yang ada di lingkungan mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Bassett, A. (2013). Pseudo-archaeology: The Appropriation and Commercialization of Cultural Heritage. In Spectrum (Vol. 3, Issue 1).

Idris, M., Chairunisa, E. D., & Saputro, R. A. (2019). Akulturasi Budaya Hindu-Budha Dan Islam Dalam Sejarah Kebudayaan Palembang. Kalpataru: Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah, 5(2), 103-111.

Wirasanti, N. (2023). Candi dan Lingkungan abad IX-X Masehi di wilayah Jawa Bagian Tengah. UGM PRESS.

Sakti, B., & Atmojo, W. (2013). MAKAM-MAKAM DAN CANDI DI NEGERI BARU DALAM PERKEMBANGAN SEJARAH BUDAYA DI KABUPATEN KETAPANG (Vol. 7, Issue 2).

Soekmono. 1974. Candi Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.