Teman Para Bujangan Belanda : Dutch Wife
Pendahuluan
Kedatangan bangsa Belanda ke Kepulauan Indonesia yang dulu dikenal dengan Hindia Belanda memiliki pengaruh terhadap perkembangan kebudayaan. Pada awal datangnya bangsa Belanda ke Hindia Belanda susunan bangunan permukiman mirip seperti di negeri Belanda dengan berpusat di dalam benteng seperti di Batavia (Soekiman, 2014). Perkembangan adaptasi bangsa Belanda di Indonesia juga menyebabkan terjadinya percampuran kebudayaan antara kebudayaan Belanda dengan kebudayaan di Jawa yang dikenal dengan kebudayaan Indis.
Kebudayaan Indis muncul akibat terjadinya perkawinan para prajurit dan pejabat Belanda dengan perempuan pribumi, hal ini terjadi karena para prajurit dan pejabat harus rela meninggalkan para perempuannya di Negeri Belanda karena masalah biaya keberangkatan yang cukup besar dari Belanda ke Hindia Belanda yang membuat mereka menjadi membujang di Hindia Belanda, kebudayaan Indis dianggap rendah oleh pemerintah kolonial karena dianggap tidak murni dan “tercemar” oleh kebudayaan pribumi (Soekiman, 2014).
Akibat dari percampuran ini tidak hanya memengaruhi keturunan, tetapi juga memengaruhi gaya hidup dan budaya campuran yang meliputi aspek kebudayaan yang luas hingga memengaruhi juga kehidupan rumah tangga masyarakat indis pada masa itu. Kelengkapan rumah tangga seperti kursi, meja, dan lemari merupakan hal baru bagi suku Jawa setelah bangsa Eropa datang di Nusantara yang kemudian disebut dengan meubelair. Bentuk rumah yang mewah dengan ornamen-ornamen yang indah serta perabotan-perabotan rumah tangga yang lengkap menjadi tolok ukur kekayaan dan status sosial dalam masyarakat (Soekiman, 2014), beberapa perlengkapan rumah tangga baru juga terbentuk karena pengaruh dari kebudayaan Indis salah satunya adalah bantal Ducth Wife atau guling yang tidak ditemukan dalam perlengkapan tempat tidur orang Eropa yang baru dikenal dan mulai digunakan pada masa kebudayaan Indis (Handinoto, 1994).
Pembahasan
Ketika bangsa Belanda datang ke Jawa sekitar abad 17, banyak dari kalangan prajurit dan pejabat Belanda di Hindia Belanda hidup dalam kondisi membujang karena pada saat itu ada larangan untuk membawa istri dan mendatangkan perempuan dari Belanda karena akan memakan waktu pelayaran yang lama dari Belanda ke Hindia Belanda dengan biaya yang tidak sedikit hingga Terusan Suez dibuka pada akhir tahun 1869 perempuan Belanda mulai memasuki hindia Belanda karena jarak tempuh yang tidak terlalu lama karena dibukanya Terusan Suez (Soekiman, 2014).
Dalam kondisi tidak bisa menghadirkan para perempuan Belanda para prajurit dan pejabat Belanda mengambil perempuan-perempuan pribumi untuk menemani mereka, hal ini menyebabkan lumrahnya praktik pergundikan yang sering ditemukan di kalangan militer, perkebunan, dan beberapa masyarakat sipil di kota (Janti, 2019). Sedangkan mereka yang enggan melakukan praktik pergundikan dan juga pelit mengeluarkan uang untuk ke rumah bordil memilih untuk menggunakan bantal guling menjadi “teman” mereka.
Bantal guling atau Dutch Wife kemudian menjadi populer dikalangan masyarakat Eropa di Hindia Belanda khususnya bangsa Belanda, bantal guling menjadi fantasi dan alat melepas rindu bagi mereka yang membujang hal ini dijelaskan dalam buku Seabad Grand Hotel Preanger 1897-1997 bahwa para prajurit atau bahkan pejabat Belanda akan berfantasi dengan memeluk guling seakan-akan itu adalah perempuan-perempuan mereka.
Kata Dutch Wife sendiri muncul ketika perilaku pejabat dan prajurit Belanda mengenai bantal guling ternyata juga diperhatikan oleh pesaing dagang mereka yaitu inggris, melihat kebiasaaan Belanda menggunakan guling sebagai pengganti perempuan-perempuan mereka Thomas Stamford Raffles menyebut guling sebagai “Dutch Wife”, kemudian ketika Inggris menduduki hindia Belanda dan ternyata juga menggunakan guling sebagai teman tidur orang-orang Belanda gantian menyebutnya sebagai British Doll.
Jukbuin atau “bamboo wife” (https://m.k-odyssey.com)
Guling yang dipopulerkan bangsa Belanda di hindia Belanda sebenarnya sudah ada sebelumnya di kawasan asia timur muncul dengan sebutan Bamboo Wife atau jukbuin. Berbeda dengan guling yang ada di Hinda Belanda yang terbuat dari kapuk, Bamboo Wife sendiri terbuat dari anyaman bambu dan memiliki rongga didalamnya serta berlubang disekitarnya, keberadaan rongga dalam Bamboo Wife ini membuat sirkulasi udara menjadi lancar ketika digunakan saat tidur, Dutch Wife dan bamboo wife ini pernah di singgung dalam pengalaman kunjungan seorang sejarawan dan pastor dari amerika serikat, John S.C. Abbot dalam tulisannya berjudul Jaunt In Java yang dimuat di Harper’s New Monthly Magazine Volume XV 1857.
Ilustrasi John S.C. Abbot dengan “Dutch Wife” di Hotel Der Naderlanden Batavia ( Harper’s New Monthly Magazine Volume XV. 1857:328)
Dalam pengalamannya itu ia menjelaskan bahwa ia terkejut dengan suatu benda yang panjang dan lonjong serta berisi kapuk yang terletak di tengah tengah ranjang bersama bantal lainnya bernama Dutch Wife, ia menjabarkan bagaimana Dutch Wife atau bantal guling sangat nyaman ketika digunakan karena mengurangi hawa panas dan posisinya yang diletakkan diantara kedua kaki yang memungkinkan sirkulasi udara dingin yang cocok dengan kawasan tropis. Dalam pengalamannya dengan dutch wife di Hindia Belanda ia menjelaskan lebih lanjut bahwa satu Dutch Wife yang berisi kapas lebih baik daripada Dutch Wife buatan China yang terbuat dari rajutan bambu atau “Bamboo Wife”.
Penutup
Bantal guling atau Ducth Wife menjadi alternatif para pejabat dan prajurit Belanda sebagai alat untuk melepas rindu bagi mereka yang membujang dan tidak ingin menggundik atau mengeluarkan uang untuk ke rumah bordil. Hal itu disebabkan karena pada masa itu terdapat larangan membawa para perempuan dari Belanda ke Hindia Belanda. Adapun pemberian nama Dutch Wife sendiri merupakan hasil ejekan rival dagang mereka yaitu Inggris yang sering melihat bangsa Belanda menggunakan bantal guling. Penambahan Dutch Wife atau bantal guling dalam perlengkapan tempat tidur juga merupakan hal baru yang mulai digunakan pada masa kebudayaan Indis. Walaupun bantal guling dipopulerkan oleh bangsa Belanda pada masa kebudayaan indis di Hindia Belanda, bantal guling sudah ada di wilayah Asia Timur dengan sebutan Bamboo Wife. Terlepas dari sejarahnya yang panjang, guling kini menjadi teman bagi sebagian orang di waktu tidur.
Penulis: Muhammad Fernanda Dhiyaul Hak
Editor: Ramadhan Arkan Paramandana
References
Abbot, J. S. (1857). Jaunt In Java. In Harper’s New Monthly Magazine (pp. 328-330). Washington: Harper & Brothers, Publishers.
Isnaeni, H. F. (2011, March 17). Siapa Peluk Istri Belanda alias Guling. Retrieved from Historia: https://historia.id/kultur/articles/siapa-peluk-istri-belanda-alias-guling-PGJVv/page/1
Janti, N. (2018, September 6). Perempuan dalam Cengkraman Pergundikan. Retrieved from Historia: https://historia.id/politik/articles/perempuan-dalam-cengkraman-pergundikan-Pdjol/page/1
Janti, N. (2019, August 15). Nyai Ontosoroh dan Kisah Pergundikan di Hindia Belanda. Retrieved from Historia: https://historia.id/kultur/articles/nyai-ontosoroh-dan-kisah-pergundikan-di-hindia-belanda-DrLgw
Soekiman, D. (2014). KEBUDAYAAN INDIS Dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi. Depok: Komunitas Bambu.
Handinoto. (1994). Indische Empire Style (Gaya Arsitektur Tempo Doeloe Yang Sudah Mulai Punah). Dalam Jurnal Dimensi 20/Ars.