HIMAPEDIA [SEPAK TERJANG ARKEOLOGI DI TANAH AIR INDONESIA]

Gambar 1. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Sumber : https://arkenas.kemdikbud.go.id/contents/read/research/d625cv_1537441003/pemberdayaan-masyarakat-di-lingkungan-situs-arkeologi-2#gsc.tab=0)

            Arkeologi adalah ilmu yang menggunakan pendekatan ilmu lain untuk mengkaji tentang kehidupan manusia beserta kebudayaannya di masa lampau dari tinggalan-tinggalan yang telah ditemukan secara sistematis (Manalu, 2013). Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menjadi lembaga yang saat ini membawahi penelitian arkeologi di Indonesia. Dari masa ke masa, arkeologi di Indonesia tentu mengalami perkembangan. Pada awalnya, penjajah yang tertarik oleh peninggalan-peninggalan masa lampau, terutama peninggalan kepurbakalaan di daerah jajahan menjadi tonggak utama berdirinya arkeologi di Indonesia. Sejak masa penjajahan VOC, kemudian Inggris, lalu Pemerintah Belanda hingga Indonesia Merdeka, arkeologi mengalami pasang surut dan perubahan dalam sepak terjangnya.

            Pada masa kedudukan VOC, seorang tokoh  ilmuwan dari Jerman bernama Georgius Everhardus Rumphius telah gemar mengoleksi benda peninggalan prasejarah yang ditemukan di sekitarnya. Kegiatannya didukung dengan kepemilikan penyimpanan dan perpustakaan.  Berselang lama setelah itu, muncul Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada 24 April 1778. Organisasi ini menjadi pelopor penelitian terhadap peninggalan-peninggalan yang ada di Hindia Belanda. Berdirinya organisasi ini dilatarbelakangi dengan adanya fenomena perburuan harta karun.

Pada masa pendudukan Inggris di Hindia Belanda, pencarian terhadap benda-benda peninggalan masih gencar dilakukan. Salah satu tokoh yang terkenal akan banyak penemuannya adalah Thomas Stamford Raffles. Hasil eksplorasinya selama penjajahan Inggris di Hindia Belanda ia tuangkan ke dalam buku yang berjudul The History Of Java (1817). Salah satu temuan Raffles dalam bidang arkeologi yang terkenal adalah  Candi Borobudur.

Ketika koloni Belanda berhasil merebut kembali Hindia Belanda dari pemerintah kerajaan Inggris, didirikan lembaga non-pemerintahan bernama Archeologische Vereeniging pada 1885 yang dipimpin oleh Ir. Jan Willem Ijzerman. Alasan dibentuknya lembaga ini disebabkan bidang kepurbakalaan mengalami kemajuan yang signifikan sehingga dirasa perlu didirikan lembaga yang mendukung kegiatan penelitian dan organisasi yang sebelumnya pernah berdiri, yaitu Bataviaasch Genootschap

Gambar 2. Kantor Lembaga Oudheidkundige Dienst (Sumber : https://artsandculture.google.com/asset/nederlandse-gebouwen-in-batavia-oudheidkundige-dienst/4gGtdCxCmcxyDw)

Lembaga pada masa Pemerintahan Belanda yang menangani terkait peninggalan-peninggalan arkeologis di Indonesia bernama Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch Indie atau biasa disingkat dengan OD. Lembaga ini dibentuk pada 14 Juni 1913 oleh pemerintah kolonial Belanda dengan diterbitkannya SK Pemerintah Hindia Belanda No. 62. Batavia menjadi lokasi yang dipilih sebagai kantor bagi lembaga OD. Keberadaan lembaga ini dirintis oleh N.J. Krom yang sebelumnya menjadi bagian dari sebuah komisi non-pemerintah dan melihat bahwa adanya kompleksitas terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan bidang kepurbakalaan. Kegiatan yang dilakukan oleh lembaga Oudheidkundige Dienst salah satunya adalah penelitian ilmiah purbakala yang gencar dilakukan pada awal abad 20.

            Pada masa penjajahan Jepang, terjadi pergantian nama lembaga Oudheidkundige Dienst menjadi Kantor Urusan Barang-Barang Purbakala. Lokasi kantor juga mengalami pemindahan dari yang mulanya berada di Batavia, dipindah ke Yogyakarta dengan Prambanan sebagai pusat kegiatannya. Pada tahun 1945-1946 terjadi perebutan oleh pihak Indonesia dengan Belanda yang masih ingin menguasai Indonesia. Terjadi pergolakan dimana Belanda menghancurkan benda-benda peninggalan Indonesia. Peninggalan yang masih dapat terselamatkan tak bersisa banyak. Kemudian, muncul tiga orang tokoh, yaitu Amin Sundoro, R.I. Sukardi, dan R. Soekmono yang berupaya tetap menghidupkan bidang kepurbakalaan di Indonesia dengan memanfaatkan peninggalan yang terselamatkan tersebut.

            Tak henti-hentinya Belanda ingin menguasai Indonesia juga pengelolaan kepurbakalaan di Indonesia, pada 1947 Belanda menghidupkan kembali Oudheidkundige Dienst. Tak berselang lama, nama lembaga tersebut diubah menjadi Bahagian Purbakala dari Jawatan Kebudayaan Republik Indonesia Serikat. Tak berhenti sampai disitu saja, bidang yang membawahi tentang kepurbakalaan terus mengalami perubahan nama. Antara 1951-1956, terjadi perubahan nama menjadi Dinas Purbakala dan Peninggalan Nasional (DPPN). Lembaga tersebut kemudian dipimpin oleh R. Soekmono.

Gambar 3. R. Soekmono (Sumber : https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjambi/prof-dr-r-soekmono/)

  1. Soekmono menjadi pemimpin lembaga kepurbakalaan pertama yang berasal dari bumiputera. Beliau meneruskan usaha pemimpin sebelumnya, yaitu Prof. AJ Bernet Kempers. Selain itu, beliau juga menjadi salah satu arkeolog pertama Indonesia. Soekmono berhasil menjadi sarjana arkeologi pertama di Indonesia yang kemudian disusul oleh Satyawati Suleiman yang menjadi sarjana arkeologi kedua. Buku-buku yang diterbitkannya adalah The Javanese Candi. Pemugaran Candi Borobudur juga berada di bawah naungan beliau.

            Di tahun 1956, Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional  (LPPN) terpilih sebagai pergantian nama dari nama lembaga sebelumnya. Nama LPPN terus bertahan hingga pada tahun 1975 terjadi pemecahan menjadi dua bagian karena adanya restrukturisasi organisasi dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri No. 079/0/75 dan No. 094/0/75. LPPN terpecah menjadi Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP) yang dipimpin oleh Uka Tjandrasasmita dan Pusat Purbakala dan Peninggalan Nasional (Pus P3N) yang dipimpin oleh Dra. Satyawati Suleiman .

            Seiring berjalannya waktu, pada 1978 Pus. P3M mengalami perubahan nama menjadi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan R. P. Soejono sebagai pemimpinnya. Nama tersebut masih bertahan hingga saat ini. Di samping itu, perubahan nama juga dialami oleh DPS yang berganti dengan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala.

            Puslit Arkenas mengalami perubahan nama pada tahun 2000 menjadi Pusat Arkeologi. perubahan terjadi karena adanya pergantian instansi di atas Puslit Arkenas, yaitu menjadi masuk dalam struktur di bawah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Pada tahun 2001, Pusat Arkeologi berubah menjadi Pusat Penelitian Arkeologi karena adanya perubahan struktur pemerintahan.

            Keputusan Presiden No. 29, 30, 31, dan 32 yang dikeluarkan pada 26 Mei 2003 membuat Pusat Penelitian Arkeologi berganti nama menjadi Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional. Hal tersebut karena dalam surat keputusan tersebut berisi tentang pembubaran instansi yang membawahi Pusat Penelitian Arkeologi. Akhirnya, pada 2011 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional kembali menjadi nama bagi lembaga sebelumnya sampai detik ini karena adanya reorganisasi dalam Kementrian Negara.

Banyaknya perubahan serta adanya pemecahan lembaga yang terjadi dalam bidang arkeologi di Indonesia dilatarbelakangi oleh kondisi perubahan zaman. Adanya perubahan juga terjadi karena hal-hal yang diteliti dalam bidang arkeologi semakin luas. Maka dari itu, hasil dari keputusan-keputusan tersebut diharapkan dapat memberikan perhatian dan penanganan untuk peninggalan-peninggalan arkeologis di Indonesia.

 

Referensi

BPCB Gorontalo. (2020, Juni 15). RONA OUDHEIDKUNDIGE DIENST – KEPURBAKALAAN INDONESIA. Retrieved from Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbgorontalo/rona-oudheidkundige-dienst-kepurbakalaan-indonesia/

BPCB Jambi. (2014, Oktober 20). Prof. Dr. R. Soekmono. Retrieved from Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjambi/prof-dr-r-soekmono/

Manalu, B. (2013). PUSAT KAJIAN DAN PENELITIAN ARKEOLOGI KALIMANTAN BARAT . Langkau Betang, 15-32.

Mujabuddawat, M. A. (2017). Babak Baru Jurnal Ilmiah Arkeologi di Indonesia. Kapata Arkeologi, 55-72.

Nurkidam, A., & Herawaty, H. (2019). Arkeologi Sebagai Suatu Pengantar. Sulawesi Selatan: CV. Kaffah Learning Center.

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. (n.d.). Profil Arkenas. Retrieved from Pusat Penelitian Arkeologi Nasional: https://arkenas.kemdikbud.go.id/page/profile/sejarah-arkenas#gsc.tab=0

Said, A. M. (2013). Refleksi 100 Tahun Lembaga Purbakala Makassar 1913-2013: Pengelolaan Pelestarian Cagar Budaya. Makassar: Yayasan Pendidikan Mohammad Natsir.

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.