Sandyakala Radya Pustaka
Oleh : Rizal Hendra Pratama (Arkeologi 2018)
Isu penggusuran Taman Sriwedari yang menjadi salah satu ikon Surakarta itu sejatinya merupakan isu yang sudah lama bergulir. Namun, baru – baru ini muncul kabar bahwa penggusuran itu tidak hanya terbatas pada Taman Sriwedari saja, melainkan merembet ke Museum Radya Pustaka. Hal ini didasarkan atas alasan letaknya yang berada ditengah – tengah Taman Sriwedari. Museum Radya Pustaka sendiri dibangun pada 28 Oktober 1890 oleh Raden Adipati Sosrodiningrat IV yang kala itu menjabat sebagai patih pada masa pemerintahan Paku Buwono IX dan Paku Buwono X. Pada tahun 1913 bangunan museum dipindah ke bangunan yang sekarang santer dengan isu penggusuran tersebut yaitu di Jalan Selamet Riyadi. Bangunan tersebut awalnya merupakan rumah warga Belanda bernama Johannes Busselar. Museum Radya Pustaka yang notabene merupakan museum milik keraton ini dapat disandingkan dengan Museum Sono Budoyo yang juga merupakan museum yang dibangun oleh Keraton Yogyakarta. Kedua museum tersebut menjadi saksi bisu pesatnya perkembangan kedua keraton. Hal ini bisa dilihat sendiri bagaimana kondisi kedua Museum yang sekarang masih eksis tersebut. Museum Radya Pustaka memiliki nilai penting sebagai museum pertama dan tertua di Indonesia. Nilai penting lainnya adalah museum ini juga tampak dari segi bangunannya yang menjadi bagian dari Taman Sriwedari sebagai pusat kebudayaan dan kesenian sejak awal pendirian hingga kondisinya saat ini yang sudah diambang penggusuran.
Terlepas dari masalah nilai penting Museum Radya Pustaka baik dari segi historis, bangunan, maupun koleksi – koleksinya yang adilihung sarat akan nilai penting yang melekat di dalamnya, hal yang harus diperhatikan adalah masalah kepemilikan bangunan tersebut. Awalnya Museum Radya Pustaka bukanlah museum yang berada dibawah naungan Dinas Purbakala maupun Dinas Pariwisata milik pemkot setempat. Museum ini berada dibawah Yayasan Paheman Radya Pustaka yang dibentuk pada 1951. Namun, mulai tahun 2017 pengelolaan diambil alih oleh Pemkot Surakarta, sehingga pengelolaan saat ini berada dibawah UPT Museum yang merupakan bawahan dari Dinas Kebudayaan. Sedangkan masalah kepemilikan lahan tempat museum dan Taman Sriwedari seluas 9,9 hektar itu sampai saat ini masih menjadi sengketa lahan. Dikutip dari solopos terbitan 17 Februari 2016, sengketa lahan itu terjadi antara pemerintah setempat dan ahli waris lahan Taman Sriwedari. Ahli waris berencana untuk melakukan penggusuran lahan area Taman Sriwedari, sedangkan pemerintah kota setempat berupaya mempertahankannya. Setelah melalui beberapa sidang sengketa, kabarnya Pemkot Solo mengalami kekalahan setelah PK nya ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) terkait dengan penguasaan lahan Sriwedari tersebut. Dengan kondisi seperti ini, tinggal menunggu komando, kompleks bangunan Taman Sriwedari yang menjadi keagungan Kota Solo hanya akan tinggal kenangan. Empat tahun berselang, wacana penggusuran sudah didepan mata. Pengadilan Negeri Solo sudah mengadakan rapat koordinasi ketiga untuk menentukan jadwal eksekusi Taman Sriwedari dan merencanakan persiapan teknis serta keamanan demi berjalan lancarnya kegiatan eksekusi. Ketok palu untuk menentukan keputusan eksekusi tinggal menunggu beberapa hari lagi (Solopos.com, edisi 21 Maret 2020).
Kita sebagai sekelompok orang yang peduli dengan cagar budaya, saat ini hanya bisa berpijak pada Undang–Undang Cagar Budaya (UU CB) saja. Apakah posisi Undang–Undang Cagar Budaya yang mengayomi bangunan Museum Radya Pustaka tersebut kuat untuk membendung tindakan penggusuran bangunan yang sarat akan nilai penting itu atau tidak. Dengan bekal itu apakah dapat membebaskan bangunan cagar budaya dari hasrat memenuhi kepentingan yang seakan lebih penting daripada sekadar mempertahankan sebuah bangunan cagar budaya. Sudah diayomi oleh UU CB pun, status kepemilikan bangunan masih dikuasai oleh ahli waris. Jadi, sebenarnya digusur atau tidak semuanya berada di tangan ahli waris pemilik tanah dan bangunan Museum tersebut. Sebenarnya sudah agak kasep untuk memprotes tindakan ini, sementara waktu penggusuran diduga akan terjadi dua minggu lagi. Namun, apa salahnya kita tetap berusaha untuk mempertahankan bangunan Museum Radya Pustaka yang sarat akan nilai historis tersebut. Apabila diamati secara seksama, sejatinya masih ada celah untuk mencegah kerusakan bangunan Museum Radya Pustaka karena penggusuran itu tidak pada bangunan, melainkan hanya pada isi bangunan yang harus dikosongkan termasuk Museum Radya Pustaka (Solopos.com, edisi 21 Maret 2020).
Satu–satunya hal yang bisa kita lakukan sekarang adalah menyelamatkan isinya, jika memang penggusuran itu benar–benar akan dilaksanakan. Sebagai pemerhati cagar budaya dengan kekuasaan yang minor, bahkan tidak ada sama sekali, kita hanya bisa turut andil dalam menyelamatkan isi museum yang merupakan bagian dari aspek penting sebuah museum. Mau dikemanakan koleksi–koleksi tersebut jika Museum Radya Pustaka jadi digusur. Mungkin itu adalah kontribusi kecil yang dapat dilakukan. Dari seorang pemerhati cagar budaya tersimpan harapan besar agar bangunan tersebut tidak digusur dengan alasan nilai penting yang melekat dalam dirinya termasuk isi atau koleksi yang ada di dalam museum. Celah lain yang mungkin masih bisa menjadi harapan akan eksistensi bangunan selain UU CB adalah adanya putusan yang belum menyatakan bahwa ahli waris memiliki hak atas tanah Sriwedari meskipun ahli waris sudah memiliki hak penuh atas bangunan Taman Sriwedari (Solopos.com edisi 21 Maret 2020). Namun, apakah kita akan percayakan ini semua kepada pemkot setempat mengingat rekam jejaknya dalam menangani masalah cagar budaya yang mengalami beberapa kegagalan. Contoh kasus yang paling menonjol adalah masalah Benteng Vastenburg yang kondisinya sekarang memprihatinkan. Kasus lain yang lebih mutakhir adalah pembongkaran bangunan kantor Patih Sasranegara yang berada di Timur kantor kejaksaan atau tepatnya sekitar daerah Kepatihan, Solo. Alasan pembongkaran adalah bangunan yang sudah rusak karena statusnya belum menjadi cagar budaya sehingga tidak menjadi masalah yang berarti terlepas dari nilai penting yang terkandung dalam bangunan tersebut (Tribunsolo.com, edisi 18 Desember 2019). Dari beberapa kasus di atas tampaknya pemerintah masih setengah hati dalam melakukan proteksi terhadap bangunan cagar budaya. Akankah Sriwedari juga akan mengalami nasib yang sama seperti Benteng Vastenburg dan bangunan kantor Kepatihan meskipun sudah ada langkah nyata dari Pemerintah Kota Solo untuk mempertahankan Taman Sriwedari? Semoga kasus tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi pihak yang berwenang. Belajar dari kasus di atas setidaknya masih ada sedikit harapan untuk mencegah penggusuran Taman Sriwedari berikut kompleks dan isinya yang belum terjadi, meskipun kemungkinan besar akan terjadi dalam waktu dekat.
Langkah yang paling tepat saat ini yang dapat kita lakukan apabila penggusuran itu sudah tidak terhindarkan adalah menyelamatkan isi museum yang sejatinya lebih berharga. Setidaknya kita masih bisa menyelamatkan salah satu aspek penting dari museum Radya Pustaka dengan segala keterbatasan yang kita miliki. Agak merepotkan memang, bila kita terlalu banyak ikut campur, terlebih lagi bangunan tersebut merupakan milik perseorangan dimana otoritas berada dalam genggamannya. Akan tetapi, sangat disayangkan apabila penggusuran itu benar – benar terjadi. Ibarat pohon, Sriwedari akan kehilangan akarnya sebagai pusat kesenian dan kebudayaan sejak awal didirikannya. Museum Radya Pustaka diibaratkan sebuah wadah yang kosong karena isinya sudah hilang. Kota Solo akan kehilangan satu bagian dari identitasnya sebagai pusat kebudayaan, “Surga Hindia Belanda” pada waktu itu, dan The Spirit of Java pada masa sekarang.
Editor : Candrika Ilham Wijaya (Arkeologi 2019)
Lenyap lagi satuu
tetap berjuang bung!