MEGALITIK: SEBUAH TRADISI YANG BERKELANJUTAN
Oleh : Christhoper Radityo Seno Pangayom
Sebelumnya, kita selalu diajarkan bahwa Megalitik merupakan sebuah zaman yang muncul setelah zaman Neolitik. Dari situ kemudian dapat disimpulkan bahwa Megalitik merupakan suatu zaman yang baru dan benar-benar mulai terjadi ketika zaman Neolitik berakhir. Dengan adanya hal tersebut kita mulai berpendapat bahwa segala hal yang terjadi di zaman Neolitik dan zaman Megalitik mungkin saja tidak berhubungan karena kedua zaman tersebut memiliki kehidupan yang sangat berbeda. Namun, kemudian beberapa ahli berpendapat bahwa Megalitik bukanlah sebuah zaman yang berdiri sendiri, melainkan hanyalah sebuah tradisi yang sudah terjadi selama beberapa waktu bahkan sebelum “zaman Megalitik” tersebut benar-benar terjadi. Dalam artian, bahwa tradisi Megalitik ini sudah terjadi pada zaman Neolitik dan terus berlanjut pada zaman-zaman setelahnya yang bahkan di beberapa daerah tradisi ini masih berlangsung hingga pertengahan abad ke-18.
Terminologi Megalitik sendiri berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu mega (besar) dan lithos (batu). Dari penggabungan kedua kata tersebut kemudian dikenal istilah megalit atau batu besar yang dalam konteks arkeologi digunakan sebagai istilah untuk menggambarkan kebudayaan yang menggunakan bahan batu berukuran besar. Pada zaman prasejarah dahulu memang diketahui beberapa temuan berbahan batu besar yang digunakan sebagai monumen maupun bangunan keagamaan. Istilah megalit kemudian mulai digunakan secara luas untuk menggambarkan tradisi masyarakat prasejarah yang menggunakan bahan batu besar sebagai monumen dan bangunan dengan tujuan keagamaan. Kegiatan keagamaan tersebut, antara lain pemujaan kepada arwah nenek moyang, penyembahan kepada roh leluhur, dan prosesi kubur.
Namun, pada penerapannya, tidak hanya bahan batu saja yang digunakan dalam tradisi Megalitik ini, karena pada beberapa daerah di Indonesia menggunakan bahan lain menyesuaikan lokasi tempat tinggal mereka. Bahkan beberapa objek yang terbuat dari bahan batu kecil pun juga dapat dimasukkan ke dalam konteks tradisi Megalitik ini. Contohnya, beberapa daerah di Kalimantan yang dikelilingi oleh hutan luas menggunakan bahan baku kayu sebagai alternatif tradisi ini. Hal tersebut tentu saja cukup berbanding terbalik dengan pengertian yang dimaksudkan untuk kebudayaan ini, yaitu sebagai tradisi yang menggunakan batu berukuran besar sebagai bahan utamanya. Namun, yang perlu diketahui adalah bahwa kriteria tradisi Megalitik ini tidak hanya terbatas pada penggunaan bahan batu berukuran besar sebagai bahannya, tetapi meliputi makna penting keberadaan monumen dan bangunan yang terdapat di dalamnya. Sehingga melihat dari kriteria tersebut, dapat disetujui bahwa pengertian Megalitik secara luas tidak hanya terbatas pada tradisi yang menggunakan batu berukuran besar sebagai bahannya, tetapi meliputi semua tradisi pada masa prasejarah yang memiliki nilai penting religius bagi masyarakatnya, termasuk membangun monumen dan kubur.
Salah satu hal yang memungkinkan adanya keberlanjutan tradisi ini adalah hubungan manusia dengan roh nenek moyang mereka. Karena sejak awal perkembangan tradisi ini, manusia mulai membangun monumen-monumen raksasa sebagai media untuk menghormati roh nenek moyang mereka yang sudah meninggal terlebih dahulu. Hal tersebut serupa dengan konsep agama yang banyak ditemukan saat ini. Seiring dengan perkembangan agama yang sangat masif di dalam masyarakat tradisional, konsep penyembahan terhadap roh nenek moyang ini tidak serta hilang sepenuhnya. Terdapat beberapa kelompok masyarakat yang menggabungkan kedua kepercayaan ini ke dalam proses yang sama, di mana di satu sisi mereka sudah menganut kepercayaan agama modern sedangkan di sisi lain mereka masih menjalankan tradisi Megalitik ini.
Tradisi Megalitik Modern
Salah satu bangunan Megalitik yang cukup terkenal adalah waruga. Waruga sendiri merupakan sebuah kubur batu yang umum digunakan oleh masyarakat Minahasa sejak zaman dahulu. Waruga ini dicirikan dengan kubur batu yang berbentuk kubus disertai dengan bentuk atap rumah di bagian atasnya. Waruga sendiri dikatakan merupakan makam komunal yang berarti kubur batu ini tidak digunakan untuk satu individu melainkan berisi beberapa mayat sekaligus yang umumnya merupakan keluarga. Penggunaan waruga dalam tradisi masyarakat Minahasa berlangsung sangat lama, dimulai sejak abad ke-4 SM dan diketahui berlangsung sampai pada masa pemerintahan Hindia-Belanda sekitar tahun 1847. Bahkan ketika agama Kristen sudah menjadi agama mayoritas yang dianut masyarakat sekitar, penggunaan waruga tidak serta merta hilang melainkan tetap berlangsung meskipun dalam skala yang jauh lebih kecil. Terdapat dua perbedaan umum untuk mengetahui usia waruga, yaitu dengan melihat keberadaan motif pada bagian badan waruga tersebut. Apabila polos tidak ada motif, maka dapat dikatakan bahwa waruga tersebut sudah berusia tua dan apabila bercorak maka tentu saja merupakan Waruga yang lebih modern.
Masyarakat Sumba Timur memiliki prosesi penguburan yang khas, berbeda dengan Minahasa. Mereka menganut kepercayaan lokal yang dikenal sebagai Marapu, yang meyakini bahwa roh nenek moyang hadir di antara mereka dan berperan sebagai penghubung antara manusia dengan Sang Pencipta. Karena kepercayaan tersebut, masyarakat Sumba Timur sangat menghormati roh nenek moyang mereka melalui upacara dan prosesi penguburan yang sangat kompleks. Kubur batu yang digunakan bersifat komunal, di mana biasanya kakek-nenek dikuburkan bersama cucu mereka. Hal ini dilakukan karena menguburkan anak dengan orang tua dianggap pamali. Tidak jarang ditemukan makam batu di dalam perkampungan adat mereka karena ada anggapan bahwa sebaiknya jenazah dikuburkan tidak jauh dari rumah, dengan harapan anggota keluarga dapat tetap “berkomunikasi” dengan almarhum. Karena rasa hormat yang tinggi terhadap leluhur, masyarakat Sumba Timur tidak ragu melakukan yang terbaik bagi leluhur, termasuk memindahkan jenazah dari kubur lama ke kubur baru yang lebih layak.
Ke selatan terdapat Pulau Sabu. Pulau Sabu merupakan sebuah pulau kecil yang terletak sekitar 180 km atau 12 jam perjalanan kapal dari Pulau Nusa Tenggara Timur. Di pulau ini terdapat sebuah kepercayaan lokal yang dikenal dengan Jingitiu. Kepercayaan tersebut menganggap bahwa seluruh hal di dunia ini berasal dari Deo Ama atau Sang Dewa Pencipta. Mereka juga memercayai bahwa Deo Ama membawahi berbagai roh yang mengatur segala hal yang terjadi di sekitar mereka, termasuk cuaca di wilayah tersebut. Dengan demikian, mereka percaya bahwa dengan mengatur hubungan baik mereka dengan Sang Pencipta, maka mereka akan diberikan kelancaran dalam hidup dan segala kegiatan mereka di Bumi. Oleh karena itu, sehari-hari mereka sangat dipengaruhi oleh hukum adat (uku) yang berlaku di wilayah tempat tinggal, termasuk hormat kepada dewa yang melindungi hidup mereka maupun dewa yang mengancam hidup mereka. Bentuk kepercayaan mereka terhadap dewa dapat terlihat pada pola perkampungan tradisional masyarakat Pulau Sabu. Umumnya, setiap perkampungan tradisional di Pulau Sabu memiliki dua pintu masuk/gerbang (toka). Pintu di sebelah barat dikenal dengan toka wa dan pintu di sebelah timur dikenal dengan toka dimu. Selain itu, di setiap perkampungan tradisional Pulau Sabu terdapat altar (nada rae) di tengah desa mereka yang berupa susunan batu-batu besar bulat maupun sebuah menhir yang disusun mengelilingi sebuah pohon besar. Keberadaan altar ini digunakan masyarakat sebagai pusat kegiatan keagamaan mereka kepada para dewa serta beberapa kubur batu sebagai penghormatan kepada roh nenek moyang.
Penutup
Meskipun selama ini Megalitik dikenal sebagai sebuah zaman yang muncul setelah zaman Neolitik, tetapi beberapa peneliti berpendapat bahwa Megalitik sebenarnya hanyalah sebuah tradisi yang berkembang di antara zaman-zaman batu tersebut. Perkembangan tradisi ini didasari oleh adanya kepercayaan masyarakat kepada roh nenek moyang mereka dan merupakan upaya untuk menghormati kehadiran mereka. Perkembangan tradisi ini pun memiliki ciri-ciri yang berbeda di setiap wilayahnya tergantung di mana mereka berkembang dan dianut oleh masyarakat sekitar. Sehingga makna Megalitik tidak hanya terbatas pada tradisi penggunaan batu besar sebagai monumen dan bangunan saja, melainkan juga meliputi perkembangan tradisi penggunaan monumen dan bangunan sebagai media penyembahan kepada nenek moyang mereka. Hingga saat ini pun terdapat beberapa wilayah yang masih menggunakan tradisi Megalitik sebagai media ritual keagamaan, yang menandakan adanya keberlangsungan tradisi ini di dalam masyarakat. Dengan demikian, konteks Megalitik yang selama ini terlihat sangat jauh dari masyarakat menjadi sangat dekat dengan kehidupan masyarakat modern saat ini.
Daftar Pustaka
Fahriani, I. (2008). Waruga: Peti Kubur dari Tanah Minahasa, Sulawesi Utara. Balai Arkeologi Sulawesi Utara.
Heekeren, H.R. v. (1958). The Bronze-Iron Age of Indonesia (Vol. 22). Springer Science & Business Media.
https://www.merriam-webster.com/dictionary/megalith?src=search-dict-hed
Poesponegoro, M. D., Notosusanto, N., & Kartodirjo, S. (1984). Sejarah Nasional Indonesia I. Balai Pustaka.
Prasetyo, B. (Ed.). (2015). Eksotisme megalitik Nusantara. Gadjah Mada University Press.
Sukendar, H. (1998). Album Tradisi Megalitik di Indonesia. Direktorat Jendral Kebudayaan.
Tanudirdjo, D. A. (2012). Indonesia dalam arus sejarah: prasejarah (T. Simanjuntak, H. Widianto, T. Abdullah, & A. B. Lapian, Eds.). Ichtiar Baru van Hoeve.
Wagner, F. A. (1959). Indonesia: The Art of An Island Group.