[HIMAPEDIA] Masjid Jami Al Anwar Angke : Respresentasi Keragaman Etnis di Batavia
(Masjid Angke tahun 1930. Sumber : KITLV)
Batavia selama abad 17 hingga abad 18 merupakan kota yang sangat majemuk dan multikultur, hal tersebut didukung oleh komposisi masyarakatnya yang terdiri dari berbagai etnis. Masing-masing etnis yang datang ke daerah perantauan (Batavia) membawa berbagai macam kebudayaan dari daerah asal mereka. Pembauran, akulturasi dan asimilasi tidak dapat dihindari, sehingga dari proses tersebut melahirkan corak kebudayaan baru. Salah satu hasilnya dalam bentuk bangunan. Masjid Jami Al-Anwar atau lebih populer dengan sebutan Masjid Angke merupakan sebuah contoh karya budaya, sekaligus saksi sejarah betapa Bhineka-nya masyarakat di Jakarta pada masa lampau.
Bangunan berada di atas lahan seluas 400 m² dikelilingi oleh pagar tembok setinggi satu meter untuk membatasi pelataran masjid dengan permukiman penduduk. Masjid berdiri diatas fondasi setinggi 40 cm dan memiliki ruangan berukuran 13.6 m x 13.6 m. Tangga yang terletak di depan pintu sisi timur, selatan dan utara menghubungkan pelataran dengan ruangan masjid. Hanya tangga di sisi selatan dan utara yang dilengkapi oleh pipi tangga, semuanya terbuat dari material bata dan tegel berwarna merah.
(Pipi tangga sisi selatan dan utara. Sumber : dokumentasi pribadi)
(Ukiran sulur-sulur tumbuhan pada bagian kusen. Sumber : dokumentasi pribadi)
Pintu utama berada di sisi timur, sementara dua pintu lainnya di sisi utara dan selatan masjid, ketiganya terbuat dari material kayu jati. Bagian bawahnya sedikit melebar dan mirip seperti kusen pintu gedung Toko Merah. Hanya pintu utama yang memiliki ukiran berupa sulur-sulur tumbuhan dan bunga pada bidang panilnya. Ukiran itu menurut De Haan merupakan pola hias Bali yang dipengaruhi Belanda. Pola hias seperti ini dapat dijumpai pada bangunan-bangunan abad ke-18, seperti di Gedung Arsip Nasional. Selain itu, pada bagian ambang pintu sisi timur terdapat panil yang dihiasi ukiran timbul. Panil bagian luar diberi hiasan berukir sulur tumbuhan dan vas, sedangkan panil bagian dalam memuat inskripsi beraksara arab berupa syahadat, hadist Nabi, surat At-Taubah ayat 18, dan sengkalan yang diukir secara halus (Kusmiati, 1976 : 23).
(Ambang pintu sisi timur bagian dalam masjid tahun 1930. Sumber : KITLV)
(keadaan saat ini panil bagian dalam masjid pintu sisi timur Sumber : dokumentasi pribadi)
Seluruh inskripsi yang terukir tidak dilengkapi tanda baca dan berisi kalimat :
- Bagian bingkai panil “Lā ilaha illallah Muhammadar Rasulullah.”
لا إله إلا الله محمد ر سو ل الله
- Bagian kanan panil “Qalā shallahu alaihi wa salam : Asshalatu imāduddīni faman aqāmahā faqad aqāmaddīni wa man tarakahā faqad hadamaddīn.”
قال صلى الله عليه و سلم : الصلاة عماد الدين فمن أقامها فقد أقام الدين ومن تر كها فقد هدم الدين
- Bagian tengah panil “Innamā ya’muru masājidallāhi man āmana billāhi wal-yaumil-ākhiri wa aqāmaṣ-ṣalāta wa ātaz-zakāta wa lam yakhsya illallāh, fa ‘asā ulā`ika ay yakụnụ minal-muhtadīn”
إنما يعمر مساجد الله من آمن بالله واليوم الآخر وأقام الصلاة وآتى الزكاة ولم يخش إلا الله فعسى أولئك أن يكونوا من المهتدي
- Bagian kiri panil “Wa ammal kalimatu maudhuu’atu fī hadzallaukhi i’lā yātil masjid al mubārakah nahāril Khamis sittatu wa ‘isyarīna min syahri Sya’ban sanat alfan wa miatun wa arbātun wa sabauu’na minal hijratin nabawiyah.”
واماالكلمة موضو عة في ھذا اللوح اعلا يات المسجدا لمبارك نھارالخس سنة و عشر ين من شهر شعبان سنة ١١٧٤ من الهجرة النبوية
(Ambang pintu sisi timur bagian luar. Sumber : dokumentasi pribadi)
Sementara itu di tengah ruangan terdapat empat pilar atau soko guru, fungsinya untuk menyangga atap limasan dua susun. Bentuk soko guru persegi dan dibuat dari material bata yang diplester. Agar lebih kuat menopang, bagian atasnya diberi toukung yakni console penopang berbahan kayu, sedangkan di bagian bawahnya diperkuat dengan umpak persegi yang dihiasi ornamen pelipit (Kusmiati, 1976 : 14-15). Bagian sisi barat ruangan masjid dilengkapi mihrab dan mimbar, letak keduanya bersebelahan. Fungsi mihrab untuk tempat imam memimpin shalat, sekaligus menentukan arah kiblat. Bentuk mihrab berupa dinding menjorok ke luar dengan arah kiblat kurang tepat. Untuk memperindah tampilan mihrab diberi hiasan sederhana berupa ornamen pilaster (pilar semu) dan capitel di bagian kanan dan kirinya. Bagian ambang mihrab berbentuk lengkungan yang di topang oleh ornamen capitel pilaster.
(Soko Guru penopang bagian atap masjid. Sumber : Dokumentasi Pribadi)
(Siku penyangga atau disebut Toukung. Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Sebelah kiri mihrab terdapat mimbar tempat Khatib menyampaikan khutbah. Dari segi bentuk serta materialnya memiliki keunikan tersendiri. Lazimnya masjid-masjid kuno Nusantara dilengkapi mimbar dari kayu, tetapi mimbar masjid Angke terbuat dari material bata yang di plester. Bentuk mimbar berupa bangunan masif yang letaknya agak maju satu meter dari mihrab. Bagian bawah mimbar memiliki bentuk tambun serta dilengkapi dengan lima anak tangga setengah lingkaran yang semakin mengecil ke atas dan berwarna merah. Bentuknya menjorok ke dalam ruangan serta dihiasi ornamen yang sama seperti mihrab. Ornamen seperti ini menunjukkan adanya pengaruh Eropa dan Moor.
(Mimbar dan Mihrab. Sumber : dokumentasi pribadi)
Setiap sisi masjid dipasang jendela-jendela terbuka untuk menjaga sirkulasi udara. Semuanya terbuat dari kayu jati dan berjumlah empat belas buah. Setiap jendela dilengkapi sembilan-sepuluh buah terali kayu yang dibuat dengan cara dibubut. Model jendela seperti ini banyak dijumpai pada bangunan masjid, gereja dan rumah-rumah tua di Jakarta.
(Jendela kayu berterali Sumber : dokumentasi pribadi)
Bagian luar masjid terdapat beberapa hiasan. Mustaka ditempatkan di puncak atap masjid yang dahulunya terbuat dari pot berbahan batu alam (Heuken, 2003 : 68). Pada ujung keempat sudut atap terdapat hiasan kayu berukir yang mencuat ke atas yang disebut punggel. Hiasan ini banyak dijumpai pada bangunan tradisional Bali. Di bagian bawah punggel terdapat semacam hiasan yang bentuknya seperti bunga lotus terbalik, hiasan semacam ini umumnya dapat ditemukan pada bangunan kelenteng.
(Bagian atap masjid terdapat ornamen punggel dan bunga lotus terbalik.
Sumber : dokumentasi pribadi)
(Bagian atap Masjid Sumber : dokumentasi pribadi)
Jika ditinjau dari segi arsitektur dapat disimpulkan bahwa masjid Jami Al-Anwar memadukan pula unsur-unsur kebudayaan Pra-Islam, Jawa, Cina, Eropa, Moor dan Bali. Menurut G.F Pijper (dalam Heuken, 2003 : 32) masjid Angke termasuk ke dalam masjid tipe Jawa karena denah dasar persegi; pondasi agak ditinggikan dan pejal seperti candi: atap bersusun dua sampai lima tingkat yang semakin mengecil keatas. Kebudayaan pra-Islam tercermin dari bentuk pipi tangga yang mirip seperti pipi tangga candi. Keberadaan tembok pembatas yang memagari masjid juga menunjukan pengaruh pra-Islam, sebab pada masa Hindu-Buddha. Toukung yang menyangga bangunan menunjukan pengaruh Cina. Bentuk mimbar dan mihrab merupakan pengaruh moor. Pintu memperlihatkan pengaruh Eropa, sedangkan pengaruh Bali terlihat pada ukiran sulur-sulur tumbuhan.
(Tampak depan bagian wajah bangunan Masjid. Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Referensi
Ashadi. 2018. Akulturasi Arsitektur Masjid-masjid Tua di Jakarta. Jakarta : UMJ Press.
Atmodjo, Junus Satrio (ed). 1999. Masjid Kuno Indonesia. Jakarta : Direktorat Perlindungan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Depdikbud.
Heuken, Adolf. 2016. Tempat-tempat bersejarah di Jakarta. Jakarta : Cipta Loka Caraka.
Heuken, Adolf. 2003. Masjid-masjid Tua di Jakarta. Jakarta : Cipta Loka Caraka.
Jumroni. 2006. Masjid Bersejarah di Jakarta. Dalam Jurnal Al Turas, Vol. 12, No. 2, Mei 2006 : 98-111.
Kemdikbud. 2018. Yang Silam Jadi Suluh Jadi Suar : Masjid Warisan Budaya di Jawa dan Madura. Jakarta : Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Museum, Kemdikbud.
Kusmiati, Tjut Nyak. 1976. Skripsi Mesjid Angke Tinjauan Ilmu Bangunan Seni-Hias dan Seni Ukir. Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
Lombard, Denys. 1972. A Travers Le Vieux Djakarta : “La Mosquée des Balinais”. Dalam Jurnal Archipel, Vol. 3, 1972 : 97-101. Diunduh dari