ANALISIS SINKRONIK DAN DIAKRONIK PADA PENINGGALAN MASA KOLONIAL DI KAWASAN KOTA TUA, JAKARTA: STADHUIS van BATAVIA dan de JAVASCHE BANK
Oleh: Anastasia Desy Putri Cahyani

Sumber: oldmapsonline.org

Sumber : google.com/maps/.
Kota Tua Jakarta merupakan kawasan wisata di daerah Jakarta Barat yang menjadi cikal bakal kota Jakarta. Zona inti Kota Tua menjadi zona yang mengandung nilai sejarah tinggi karena area ini merupakan pusat aktivitas ekonomi dan sosial-politik pada masa kolonial. Seiring dengan upaya revitalisasi zona inti, Kota Tua mengalami perubahan fisik pada lanskapnya. Walaupun mengandung nilai sejarah yang tinggi, zona inti Kota Tua ini belum masuk ke dalam daftar Cagar Budaya sesuai UU No.11 tahun 2010. Bangunan-bangunan pada kawasan ini dialihfungsikan menjadi museum: Gedung Balai Kota Batavia (Stadhuis van Batavia) beralih fungsi menjadi Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah, Gedung de Javasche Bank beralih fungsi menjadi Museum Bank Indonesia, dan Gereja Baru Belanda (de Nieuwe Hollandsche Kerk) beberapa kali beralih fungsi dari gereja menjadi gudang perusahaan Geo Wehry & Co hingga kini menjadi Museum Wayang.
Dalam ilmu kesejarahan, formasi kesejarahan kawasan Kota Tua dapat dijelaskan secara sinkronik dan diakronik. Formasi sinkronik merupakan fokus analisis suatu peristiwa sejarah pada satu waktu, sementara formasi diakronik menganalisis suatu peristiwa di satu tempat dalam rentang waktu yang luas. Pembahasan dalam tulisan ini akan terbatas pada pembahasan sinkronik dan diakronik Gedung Balai Kota dan Gedung de Javasche Bank.
Stadhuis van Batavia

Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl

Sumber: dokumentasi pribadi
Museum Sejarah Jakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan Museum Fatahillah merupakan museum yang menyimpan dan memamerkan objek-objek seperti: replika peninggalan masa Tarumanegara dan Pajajaran, hasil ekskavasi arkeologis di Jakarta, mebel antik dari abad ke-17 sampai abad ke-19, uang, dan lain-lain yang merepresentasikan sejarah kota Jakarta.
Secara diakronik, museum Sejarah Jakarta dapat dijelaskan melalui Pembangunan dan perubahan fungsinya. Museum ini menggunakan gedung bekas Balai Kota Batavia (Stadhuis) yang dibangun pada tahun 1707 dan selesai pada 1710 atas perintah Gubernur Jenderal Joan van Hoorn. Awalnya dibangun pada 1620, namun tidak terlaksana dengan baik karena pembangunan dilakukan dengan terburu-buru. Kemudian, 6 tahun setelahnya pembangunan dilanjutkan. Peletakan batu pertama dilakukan pada 30 Mei 1626 yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi kota Batavia. Pembangunan pada 1707 dilakukan karena gedung Balai Kota dianggap terlalu sederhana dan tidak merepresentasikan kemakmuran kota Batavia saat itu. Pada masa dominasi VOC, Balai Kota memiliki ruang tahanan yang dijadikan penjara utama di Kota Batavia, berbeda dengan penjara yang berada di bawah gedung utama. Pada masa ini pun Balai Kota berfungsi sebagai tempat administrasi sipil, pembebasan budak, jual-beli kapal, dan pelaksanaan hukuman untuk kejahatan besar. Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945) bangunan ini digunakan sebagai pengumpulan logistik tentara Jepang. Jepang sama sekali tidak merawat gedung yang ditempatinya ini, banyak fasilitas dan prasarana yang rusak dan terlantar (Hadimadja, 2012). Pasca-kemerdekaan bangunan kembali difungsikan sebagai Kantor Pemerintah Provinsi Jakarta Barat dan pada 1970 pemugaran besar-besaran dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu (Ali Sadikin), sehingga pada 30 Maret 1974 gedung ini mulai berfungsi sebagai Museum Sejarah Jakarta.
Kajian formasi kesejarahan sinkronik pada museum ini dapat dinilai dari arsitektur, koleksi museum, maupun kondisi saat ini. Dibangun pada abad ke-18, gedung ini memiliki arsitektur khas kolonial Belanda yang kokoh, megah, dan simetris. Jika diperhatikan, gedung Balai Kota ini mirip dengan Istana Dam di Amsterdam. Memiliki lapangan luas di bagian depan (Stadhuisplein) yang disebut Taman Fatahillah. Interiornya terdiri dari ruangan-ruangan besar dengan langit-langit tinggi. Barang yang dipamerkan juga beragam, mulai dari masa prasejarah hingga kemerdekaan. Koleksi ini meliputi artefak arkeologis, perabotan kuno, lukisan, peta, dokumen, dan lain-lain. Selain menjadi objek wisata, museum ini tentunya juga menjadi pusat edukasi sejarah, pengunjung dapat belajar melalui koleksi-koleksi yang dipamerkan. Saat ini, museum Sejarah Jakarta menjadi ikon dan daya tarik kawasan Kota tua Jakarta.
De Javasche Bank

Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl

Sumber: Tempo.com
Museum Bank Indonesia (MuBI) dikembangkan sebagai salah satu tujuan wisata di DKI Jakarta. Pendirian Museum BI dibawah naungan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan tujuan melestarikan gedung bersejarah milik mereka, sekaligus memperkenalkan peran Bank Indonesia dalam perkembangan bangsa.
Dengan kajian diakronik, museum ini mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Bangunan yang digunakan merupakan bangunan Cagar Budaya, sesuai SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta No.475 tahun 1993, peninggalan de Javasche Bank. Cikal bakal bangunan ini selesai dibangun pada 1828. Kemerdekaan membuat gedung ini terlibat proses nasionalisasi, seiring dengan proses ini, pada 1953 gedung de Javasche Bank menjadi gedung Bank Indonesia Kota. Revitalisasi yang dilakukan pada kawasan Kota Tua oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta juga mengikutsertakan bangunan museum ini, sehingga pada tanggal 15 Desember, museum Bank Indonesia resmi dibuka untuk umum oleh Burhanuddin Abdullah sebagai Gubernur Bank Indonesia dan pada 21 Juli 2009 peresmian kedua dilakukan oleh Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden Indonesia saat itu.
Penjelasan sinkroniknya dapat kita lihat dari arsitekturnya yang bergaya Neo-klasik dengan pengaruh lokal, berbeda dengan gedung Balai Kota. Pengaruh lokal nampak pada ornamen-ornamen yang mirip dengan yang ditemukan pada candi-candi di Indonesia. Koleksi yang dipamerkan seperti koleksi numismatic (uang kuno) dari masa klasik, Islam, kolonial, hingga awal kemerdekaan. Museum ini juga memaparkan informasi terkait perbankan Indonesia sejak kedatangan bangsa Barat hingga terbentuknya Bank Indonesia.
Analisis di atas menunjukkan bahwa peninggalan masa kolonial di Kawasan Kota Tua Jakarta seperti Stadhuis van Batavia yang beralih menjadi Museum Sejarah Jakarta dan de Javasche Bank yang beralih menjadi Museum Bank Indonesia, sarat akan nilai-nilai sejarah dan menjadi objek penting dalam kajian kesejarahan. Kajian diakronik dan sinkronik terhadap kawasan Kota Tua Jakarta sangat mudah terlihat dari perkembangan sejarahnya. Peralihan fungsi dari seluruh elemen bangunan mencerminkan perkembangan dalam sejarah. Kedua bangunan yang dibahas di atas mengalami perubahan fungsi menjadi museum, sementara secara sinkronik arsitektur dan koleksi museum merepresentasikan bangunan-bangunan yang tetap mempertahankan ciri khas kolonialnya.
Kawasan Kota Tua belum menerima status cagar budaya, begitu juga dengan beberapa bangunan peninggalannya. Meskipun demikian, kayanya sejarah yang melingkupi kawasan ini dapat bercerita banyak hal. Kawasan ini masih menjadi ikon Kota Jakarta yang mencerminkan arsitektur kolonial serta menjadi objek wisata dan edukasi sejarah bagi pengunjungnya.
DAFTAR PUSTAKA
AL MASRIFA VIRDA ARDHANY, . (2021) KEBIJAKAN REVITALISASI STADHUIS VAN BATAVIA MENJADI MUSEUM SEJARAH JAKARTA (1972-1974). Sarjana thesis, UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
Farhany, N.M. et al. 2019. Aplikasi Augmented Reality Sebagai Media Informasi Museum Fatahillah Dan Museum Wayang Menggunakan Metode Markerless. Jurnal ELTIKOM : Jurnal Teknik Elektro, Teknologi Informasi dan Komputer. 3, 2 (Dec. 2019), 104–111. DOI:https://doi.org/10.31961/eltikom.v3i2.140.
Ikhlasi, Hurairah Haqi & St, & Rachajudan, Ikkyu & Ardian, Hanif & Ristanto, Danang & Anggarani, Sustia. (2021). Pengembangan Kota Tua Sebagai Wisata Sejarah dan Sentra Ekonomi Masyarakat Kota Jakarta. 10.13140/RG.2.2.28274.82887.
Kusuma, H. (2024). Situs Kota Tua di Batavia Situs Kota Tua di Batavia (1619-1942) Sebagai Bahan Ajar Mata Pelajaran Sejarah Peminatan: Situs Kota Tua di Batavia (1619-1942) Sebagai Bahan Ajar Mata Pelajaran Sejarah Peminatan. Krinok: Jurnal Pendidikan Sejarah Dan Sejarah, 3(3), 107–119. https://doi.org/10.22437/krinok.v3i3.39329
Nugroho Putra, B., & Ridjal, A. M. (n.d.). PELESTARIAN BANGUNAN KOLONIAL MUSEUM FATAHILLAH DI KAWASAN KOTA TUA JAKARTA.
- Museum BI. Bi.go.id. https://www.bi.go.id/id/layanan/museum-bi/default.aspx. Diakses 2 April 2025