Tanjung Tiram: Simpul Strategis Perdagangan dan Budaya di Pesisir Timur Sumatra Utara
Oleh: Galih Nugroho
Tanjung Tiram merupakan kawasan pelabuhan tradisional yang memiliki peran penting dalam sejarah maritim di pesisir timur Sumatra Utara, khususnya dalam konteks jalur perdagangan Selat Malaka. Lokasi ini menjadi penghubung antara daerah pedalaman dengan dunia luar melalui pertukaran komoditas. Hal tersebut menjadikan Tanjung Tiram tidak hanya sebagai simpul perdagangan, tetapi juga titik temu budaya dan agama dari berbagai peradaban Asia.
Pesisir timur Sumatra Utara telah lama dikenal sebagai jalur penting dalam jaringan perdagangan maritim Asia Tenggara. Salah satu pelabuhan bersejarah di kawasan ini adalah Tanjung Tiram, yang secara geografis terletak di Kabupaten Batubara. Letaknya yang strategis, diapit oleh muara Sungai Kanan dan Sungai Kiri, menjadikannya lokasi ideal bagi aktivitas perdagangan dan pelayaran sejak masa pra-kolonial hingga modern.



Gambar: a. Dermaga pelabuhan (kiri); b. para nelayan (kanan); c. Pantai Timur Sumatra Utara (bawah) Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/
Pada masa lalu, Tanjung Tiram mendapat pengaruh dari beberapa Kesultanan Melayu, seperti Kesultanan Siak, Aceh, Deli, dan Asahan. Peran pelabuhan pada masa lalu tidak hanya terbatas pada aktivitas ekonomi, tetapi juga menjadi pusat penyebaran agama dan budaya. Islamisasi terjadi melalui jalur perdagangan yang dibawa oleh pedagang Arab dan Gujarat, sebagaimana dibuktikan oleh temuan batu nisan khas Aceh dari abad ke-17 dan 18 di wilayah ini (Suryadi, 2014). Mulanya para pedagang berhenti untuk menukarkan barang bawaannya sembari menunggu angin. Selama masa tersebut mereka membangun wilayah hunian dan juga melakukan kontak dengan warga setempat. Melalui proses ini terjadilah kontak budaya yang lambat laun mempengaruhi budaya di tempat tersebut.
Pada masa ini, kepemimpinan lokal, seperti panglima laut dan pemuka adat, berperan sebagai perantara antara otoritas kesultanan dan masyarakat pesisir. Struktur sosial masyarakat Tanjung Tiram terbentuk dari sistem kepemimpinan adat dan agama yang berjalan seiring (Reid, 1988). Gelar-gelar tradisional seperti “Datu”, “Paduka Sri”, dan “Nahkoda” menunjukkan adanya struktur sosial yang berkaitan erat dengan aktivitas pelayaran.
Memasuki masa kolonial Belanda, Tanjung Tiram terintegrasi ke dalam sistem ekonomi kolonial. Wilayah Batubara dikenal sebagai sentra perkebunan karet dan tembakau, dengan perusahaan-perusahaan seperti Deli Maatschappij dan Senembah Maatschappij mendominasi aktivitas ekonomi (Lindblad, 2002). Sistem tanam paksa dan konsesi lahan menyebabkan pergeseran dari pertanian subsisten ke orientasi ekspor. Beberapa pabrik didirikan untuk mengolah hasil kebun tersebut, misalnya saja pabrik karet, sabun, dan minyak sawit.



Gambar: a. pabrik minyak sawit (kanan); b. pabrik karet (tengah); pabrik sabun (kiri) Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/
Pelabuhan Tanjung Tiram menjadi simpul distribusi hasil bumi dari pedalaman menuju pasar internasional. Infrastruktur seperti gudang, dermaga, dan permukiman buruh tumbuh seiring kebutuhan kolonial. Infrastruktur lain yang dibangun adalah jaringan kereta api yang digunakan untuk mengangkut komoditas. Pada masa sekarang jaringan kereta api itu beberapa masih dipakai baik sebagai jalur kereta oleh PT KAI maupun oleh perkebunan swasta misalnya Bakrie Sumatra Plantations. Kebutuhan akan

Gambar: Kereta api pengangkut pabrik minyak Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/
Buruh diselesaikan dengan program membuka program migrasi buruh dari daerah lain seperti Jawa dan Tapanuli yang pada akhirnya meningkatkan keberagaman etnis dan budaya di wilayah ini. Namun, pendidikan dan pelayanan kesehatan masih sangat terbatas dan hanya diperuntukkan bagi kepentingan kolonial (Furnivall, 1948).
Keberadaan pelabuhan ini sebagai simpul penting maritim juga diperkuat oleh temuan arkeologis. Anderson mencatat keberadaan reruntuhan bata di hulu Sungai Batubara yang diyakini sebagai peninggalan budaya India, yang masuk melalui jalur sungai dan pelabuhan Tanjung Tiram (Anderson & Tarling, 1971). Di pesisir Desa Bogak, ditemukan bangkai kapal abad ke-18, bersama lempeng logam, ubin porselen, keramik China, serta koin Inggris dan Belanda dari rentang tahun 1734 hingga 1790 (Hati et al., 2018). Tinggalan arkeologis berupa bangunan istana juga ada di lokasi ini, yaitu Istana Lima laras. Istana Lima Laras dibangun oleh Sosok lokal bernama Datu Muhammad Yuda, penguasa Batubara ke-12 sebagai simbol kejayaan perdagangan lokal yang terhubung dengan pelabuhan ini.
Setelah kemerdekaan, Tanjung Tiram mengalami beberapa transformasi sosial dan administratif. Transformasi sosial diantaranya adalah Revolusi Sosial di Sumatra Timur pada 1946 mengubah tatanan sosial lama, dan Orde Baru membawa pembangunan infrastruktur seperti jalan dan sekolah (Anderson, 2001). Pada tahun 2007 wilayah ini mengalami transformasi administratif berupa pembentukan Kabupaten Batubara sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Asahan. Saat ini Kabupaten Batubara berfokus pada sektor perkebunan, perikanan dan kelautan menjadi prioritas pengembangan.
Namun, tantangan lingkungan dan sosial seperti abrasi pesisir dan degradasi ekosistem laut, perdagangan narkotika, imigran ilegal, serta keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, masih menjadi isu utama hingga kini. Upaya pelestarian tinggalan sejarah dan pengembangan potensi wisata maritim diharapkan mampu menjadikan Tanjung Tiram sebagai pelabuhan rakyat yang berdaya saing.
Interaksi intensif dengan berbagai bangsa seperti dari masa klasik hingga masa kolonial membuat Tanjung Tiram menjadi titik pertemuan budaya. Akulturasi ini tampak pada bahasa, kuliner, hingga tradisi lokal. Perpaduan budaya ini juga memengaruhi struktur sosial dan pola pikir masyarakat pesisir yang terbuka dan adaptif.
Dengan kekayaan sumber daya laut, tinggalan arkeologis, nilai historis, dan posisi strategisnya di jalur perdagangan, Tanjung Tiram mempunyai potensi besar sebagai pusat ekonomi, pariwisata dan pendidikan yang berbasis maritim. Penguatan sektor perikanan tangkap, industri pengolahan hasil laut, serta wisata sejarah dan bahari bisa mendorong kebangkitan ekonomi lokal. Namun, tentu saja semua itu harus dibarengi dengan pelestarian lingkungan dan pelibatan aktif masyarakat lokal agar pembangunan berjalan berkelanjutan.
Tanjung Tiram adalah cerminan sejarah panjang interaksi maritim yang kompleks di kawasan pesisir timur Sumatra Utara. Peranannya sebagai pusat perdagangan, pelayaran, penyebaran agama, serta titik temu budaya menjadikannya sebagai lokasi yang penting dalam kajian sejarah dan arkeologi maritim Indonesia. Tinggalan sejarah dan arkeologi di kawasan ini menjadi bukti nyata kontribusi Tanjung Tiram dalam sejarah regional Selat Malaka.
Daftar Pustaka
Suryadi. (2014). “Batu Nisan Aceh dan Penyebaran Islam di Nusantara,” Jurnal Warisan Budaya, 9(1), 45–60.
Reid, Anthony. (1988). Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680: Expansion and Crisis. Yale University Press.
Lindblad, J. Thomas. (2002). Bridges to New Business: The Economic Decolonization of Indonesia. KITLV Press.
Furnivall, J.S. (1948). Colonial Policy and Practice: A Comparative Study of Burma and Netherlands India. Cambridge University Press.
Anderson, J., & Tarling, N. (1971). Mission to the east coast of Sumatra in 1823.
Hati, L. P., Harahap, F., Suprayitno, & Saidin, M. (2018). “The maritime historical background of Bogak Port (8–20 century), Tanjung Tiram District, Batubara Regency, North Sumatra Province,” International Journal of Culture and Art Studies, 1(1), 28–35.
Anderson, B.R.O’G. (2001). Revolusi Pemuda. Yogyakarta: Insist Press.