TARI : PERTUNJUKAN HIBURAN DARI MASA JAWA KUNO

Oleh: Mulaviani Fatimah Azhar

Hiburan merupakan hal yang menyenangkan untuk dilakukan oleh manusia. Biasanya manusia mencari hiburan ketika sedang bosan atau jenuh dengan rutinitas yang dijalani. Hiburan yang dilakukan oleh manusia di masa kini beragam. Namun, hiburan nyatanya bukanlah fenomena baru. Manusia yang hidup pada masa lampau seperti masyarakat di masa Jawa Kuna juga sudah mengenal adanya hiburan. Pada kala itu, sudah dikenal beberapa pertunjukan hiburan yang salah satunya adalah pertunjukan tari. Data mengenai adanya pertunjukan tari sebagai hiburan terekam dalam beberapa prasasti, naskah-naskah kuno, serta relief-relief candi. Bukti adanya pertunjukan tari dalam prasasti ditunjukan dengan istilah manigal, anigal, inigallakan. Istilah tersebut berasal dari kata dasar igel yang menurut Bausastra memiliki arti menari.

Berbeda dengan hiburan yang bisa dilihat dengan mudah pada masa kini, pada periode Jawa Kuno hiburan berupa pertunjukan tari tidak ada setiap saat. Hanya pada acara perayaan tertentu baru masyarakat pada masa Jawa Kuno dapat melihat pertunjukan tari tersebut. Terdapat beberapa perayaan seperti contohnya pada upacara penetapan Sima, Pesta Sradhha, upacara sambutan, serta kegiatan hiburan lainnya.

 

Upacara Penetapan Sima

Sima atau daerah perdikan merupakan suatu daerah yang secara khusus ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sehingga daerah itu menjadi bebas dari pajak. Ada banyak alasan mengapa suatu daerah dijadikan sebagai daerah perdikan. Alasan penetapan tersebut antara lain karena adanya keperluan untuk pemeliharaan bangunan suci keagamaan yang ada di daerah tersebut. Selain itu, tanah sima dapat diberikan kepada seseorang yang telah berjasa kepada raja. Karena tidak semua daerah dapat ditetapkan sebagai sima, maka penetapan sima merupakan suatu peristiwa penting bagi masyarakat pada masa itu. Karena hal tersebut, penetapan sima dilaksanakan dengan suatu upacara ritual yang disebut dengan manusuk sima.

Di Akhir upacara penetapan sima biasanya diadakan sebuah pesta untuk bersenang-senang. Pada kegiatan pesta ini lah, warga desa akan makan-minum hidangan yang disediakan serta menari. Kegiatan pesta hiburan tersebut tercantum salah satunya dalam Prasasti Rukam yang berangka tahun 829 saka:

20. …na manamwah ikanaŋ patih wahuta muaŋ rāma tpi siring muaŋ rāma sinusuk laki-laki wadwan kabaih i sanghyaŋ watu sima muaŋ kulumpa umņwah sira kabaih i ron nira sampun muwah sira

21. mańigal mabata bata kapua mahyun nāhan cihna nyan sampun mapagěh suddha pari suddha ikanaŋ wanua i rukam sinusuk de rakryān saňjiwana…. (Nastiti, Tiga Prasasti dari Masa Balitung , 1982)

Terjemahan:

20. maka menyembahlah (seluruh hadirin seperti) patih, wahuta, pejabat desa dari desa perbatasan, pejabat desa yang telah dibatasi, laki-laki, perempuan semuanya kepada sanghyang watu sima dan kulumpang. Kemudian mereka menambah (makanan) pada daunnya. Setelah itu mereka menari

21. berjoget, bersuka ria bersama. Demikianlah tandanya (bahwa) Desa Rukam telah selesai dikukuhkan menjadi daerah perdikan oleh Rakryan Sanjiwana….

Tertulis bahwa setelah semua hadirin yang datang menghadiri acara penetapan sima menyembah kepada sanghyang watu sima dan kulumpang, mereka kemudian menari dan berjoget bersama. Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa para hadirin bersenang-senang dengan menari setelah menyembah kepada sanghyang watu sima dan kulumpang. Dapat dipahami bahwa menari merupakan bagian yang dilakukan untuk bersenang-senang atau dengan kata lain sebagai hiburan.

Pada Prasasti Rukam tidak menyebutkan mengenai adanya penari. Hanya disebutkan bahwa semua hadirin yang datang menyaksikan upacara penetapan sima menari dan berjoget bersama. Prasasti Mantyasih yang berangka tahun 829 saka sedikit berbeda dengan Prasasti Rukam. Pada Prasasti Mantyasih III dibahas mengenai adanya upah yang diterima para penari serta pemain musik pada upacara penetapan sima. Penari-penari serta pemain musik tersebut mendapatkan pasek-pasek berupa 1 helai wdihan dan masing-masing uang perak 8 masa. Dari isi prasasti tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa para penari yang tampil di upacara penetapan sima diberi upah atau bayaran.

 

Pesta Sraddha

Pesta Sraddha adalah pesta yang dilakukan untuk memperingati 12 tahun wafatnya Sri Rajapatni atau Gayatri yang dilakukan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Upacara tersebut dituliskan dalam Kakawin Negarakertagama pupuh 63 sampai dengan pupuh 67. Pesta ini dilakukan dengan meriah dan khidmat. Pesta Sraddha diawali dengan menghias singgasana yang nantinya akan digunakan untuk meletakan arca perwujudan Sri Rajapatni. Kemudian, akan digelar segala pertunjukan yang menggembirakan hari rakyat. Terdapat pertunjukan nyanyian, wayang, topeng, tari prajurit digelar silih berganti.

Kegiatan Pesta Sraddha tidak hanya dilaksanakan satu kali, namun kembali dilaksanakan pada masa kepemimpinan Prabu Sri Girindrawardhan untuk memperingati 12 tahun kepergian Prabu Singawardhana. Rangkaian Pesta Sraddha yang dilakukan pada masa Prabu Sri Girindrawardhana masih sama dengan masa Hayam Wuruk. Tetap digelar dengan khidmat dan meriah sebagai bentuk hiburan bagi masyarakat. Pada pesta-pesta semacam ini lah, masyarakat di periode Jawa Kuno dapat menonton pertunjukan tari dan lain sebagainya.

 

Upacara Sambutan

Tertulis pada Kakawin Negarakertagama bahwa ada Sri Baginda melakukan kunjungan ke desa-desa. Pada Pupuh 26 dan 27 Kakawin Negarakertagama menuliskan mengenai adanya upacara sambutan terhadap Sri Baginda yang dipimpin oleh Sang Adipati Suradikara yang diikuti oleh segenap penduduk desa. Pada acara ini, digelar berbagai macam hiburan yang membuat gembira penduduk seperti hiburan tari topeng.

Membahas mengenai tari topeng, Sri Baginda Hayam Wuruk merupakan seorang penari topeng yang ulung. Hal tersebut tertulis dalam Kakawin Negarakertagama pada pupuh 91:

Terjemahan:

7. Sri Baginda warnawan telah mengenakan tampuk topeng. Delapan pengiringnya dibelakang, bagus, bergas pantas keturunan arya, bijak, cerdas, sopan tingkah lakunya. Inilah sebabnya banyolannya selalu tepat kena.

8. Tari Sembilan orang telah dimulai dengan banyolan. Gelak tawa terus menerus, sampai perut kaku beku…

Dalam penampilan tersebut, semua masyarakat diperbolehkan untuk menonton pertunjukan tari yang dibawakan oleh raja mereka. Kegiatan semacam ini dilakukan untuk membahagiakan sang raja juga guna menghibur masyarakat Majapahit pada masa itu.

 

Kegiatan seni lainnya

Selain 3 upacara yang telah disebutkan di atas, masih terdapat kegiatan lain yang menampilkan hiburan berupa pertunjukan tari. Pada Kakawin Negarakertagama pupuh 85 disebutkan bahwa setiap tanggal satu bulan Caitra dilakukan suatu pertemuan yang bertujuan untuk menolak watak jahat. Dua hari setelah pertemuan tersebut di lapangan Bubat akan berlangsung perayaan besar. Sri Baginda memberi hiburan bagi rakyatnya dengan mengadakan bermacam hiburan salah satunya adalah pertunjukan tari.

Selain upacara bulan Caitra tersebut, tercatat dalam Prasasti Poh bahwa terdapat suatu tari hiburan yang dibawakan secara berkeliling:

II.b. (5) …// rara mabhumana tinonton si karigna. Darini. muaŋ. si rumpuk. muaŋ werehwerehnya si jaway. si baryyut. (Stutterheim, 1940)

Terjemahan:

Gadis-gadis keliling untuk ditonton (ialah) si Karigna. Si Darini, dan si Rumpuk, dengan pengiringnya si Jaway, si Baryyut.

Dari data tersebut, jelas bahwa ada beberapa orang yang berkeliling kampung untuk menyajikan suatu hiburan bagi masyarakat berupa tarian. Kegiatan semacam ini mungkin pada masa sekarang dapat disamakan dengan kegiatan mengamen yang merupakan kegiatan mencari uang. Penari-penari dalam Prasasti Poh menghibur masyarakat dan nantinya mendapatkan ‘bayaran’ atas pertunjukan yang mereka lakukan. Adanya tari hiburan semacam ini diperkuat dengan relief-relief yang dipahatkan pada candi Borobudur.

Gambar 1 :Relief SEQ Relief \* ARABIC 2. Seorang penari dan pengiring musik Foto oleh Kassian Cephas

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2 : Relief SEQ Relief \* ARABIC 1. Beberapa orang sedang menari CITATION NJK271 \l 1033 (Krom, 1927)

 

DAFTAR PUSTAKA 

Haryono, T. (1999). Sang Hyang Watu Teas dan Sang Hyang Kulumpang: Perlengkapan Ritual Upacara Penetapan Sima pada Masa Kerajaan Mataram Kuna . Humaniora vol.11, no.3, 14-21.

Krom, N. J. (1927). Barabudur: Archaeological Description Volume II. The Hague: Martinus Nijhoff.

Nastiti, T. S. (1982). Tiga Prasasti dari Masa Balitung . Jakarta : Proyek Penelitian Purbakala.

Nastiti, T. S. (2016). Perempuan Jawa: Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII-XV. Bandung : PT Dunia Pustaka Jaya .

Saktiani, D., Widya, K., Aminullah, Z. P., Marginingrum, N., & Septi, N. (2018). Kakawin nagarakertagama: teks dan terjemahan . Yogyakarta : Narasi.

Stutterheim. (1940). Oorkonde van Balitung uit 905 A.D. (Randoesari I). INI I, 3-32.

 

 

 

Incoming search terms: