[HIMAPEDIA] Kota Juwana dan Perkembangannya
Kota kecil yang berada di pesisir utara pulau Jawa ini memiliki dinamika yang cukup panjang. Sekarang, Juwana menjadi salah satu kecamatan di Kabupaten Pati. Perannya sebagai kota pelabuhan setidaknya mulai tercatat sejak abad 16 M. Perkembangan Juwana tidak dapat dipisahkan dari peran Pelabuhan Juwana yang kemudian memicu perkembangan Kota Juwana awal. Kota Juwana awal berkembang di sepanjang Sungai Juwana sehingga membentuk pemukiman linear yang mengikuti alur Sungai Juwana (Priyomarsono dkk, 2020: 48). Hal ini dibuktikan dengan adanya pemukiman-pemukiman di sepanjang Sungai Juwana yang didominasi oleh rumah-rumah etnis Tionghoa meskipun sekarang tinggal hanya beberapa unit saja. Ada yang hancur dimakan usia, juga ada yang memang sudah diganti dengan bangunan baru dengan gaya modern. Toponim Bendar yang diasosiasikan dengan kata “bandar” turut menjadi salah satu bukti eksistensi Pelabuhan Juwana sebagai penyokong yang membuat hubungan pesisir dengan pedalaman menjadi lancar.
Orientasi permukiman selain berdasarkan alur sungai, juga didasarkan atas keberadaan alun-alun sebagai kawasan pemerintahan. Orientasi permukiman kembali berubah pasca dibangunnya De Grote Postweg dari Anyer sampai Panarukan yang kebetulan melewati wilayah Juwana oleh Daendels. Hal serupa juga terjadi di Lasem di mana orientasi permukiman yang semula mengikuti alur Sungai Lasem kemudian berubah menjadi mengikuti jalur yang dibangun oleh Daendels.
Selain pelabuhan sebagai sektor penyangga, terdapat sektor-sektor lain yang menjadi penyokong berputarnya roda perekonomian di Juwana. Salah satu yang cukup populer adalah industri batik tulis. Batik ini terdapat di Desa Bakaran sehingga terkenal dengan nama Batik Bakaran dengan motif pesisirannya yang khas. Awal mula, pengrajin batik ini diprakarsai oleh pendatang-pendatang dari Solo yang kemudian mengenalkan cara membatik kepada masyarakat sekitar (Priyomarsono dkk, 2020: 44). Selain menunculkan batik yang khas, penduduk lokal juga mengembangkan industri ekstraktif pengrajin batik tangan kedua. Setelah menerima batik “kasaran” dari Ambarawa, kemudian batik-batik tersebut diproses di Juwana dan Tayu untuk diberi warna. Saat itu, warna yang khas adalah biru indigo. Ketika sudah jadi, kain akan dikirim kembali ke Ambarawa (Het, 1928: 253). Penduduk etnis Tionghoa juga mengembangkan indutri Kain Lokcan yang berbahan sutra. Sutra tersebut didatangkan dari Hongkong yang kemudian hanya dipasarkan di wilayah Bali. Warna indigo dan motif burung serta tumbuhan mungil menjadi ciri khas Lokcan Juwana (Malagina, 2020).
Selain industri sektor tekstil, industri rokok tradisional Tapal Kuda juga pernah eksis di Juwana. Berlimpahnya bahan mentah berupa kayu jati mendukung perdagangan kayu serta industri galangan kapal yang bermula sekitar abad 17 M, beriringan dengan semakin berkembang pesatnya Pelabuhan Juwana. Jati dari wilayah sekitar Juwana menjadi yang nomor satu dan sejajar dengan wilayah Bojonegoro, Rembang, dan Blora (Malagina, 2020).
Tidak dapat dimungkiri, perdagangan candu turut membentuk wajah Kota Juwana, eksistensi pelabuhan turut menjadi faktor pendukung suksesnya perdagangan candu. Karakteristik wilayah yang memiliki banyak kemiripan dengan Lasem juga meliputi aspek candu sebagai salah satu komoditas yang dapat diandalkan pada kala itu. Waktu itu, satu dari dua puluh orang di Jawa mengisap candu (Farmita, 2014). Potensi mendatangkan profit yang begitu besar, membuat pemerintah kolonial merasa perlu ikut andil dalam mengatur perdagangan candu melalui regulasi yang diberi nama Opium Regie dan berlaku mulai sekitar tahun 1899. Regulasi ini kemudian menjadi titik awal mundurnya perdagangan candu di Juwana. Bukti lain adanya bisnis perdagangan candu ini dibuktikan dengan adanya rumah-rumah candu yang memiliki sebaran di beberapa titik. Titik tersebut cenderung merata pada wilayah Kabupaten Pati sekarang sehingga seolah-olah ada semacam “cabang” di setiap wilayah yang mungkin selanjutnya didistribusikan.
Tidak dapat dimungkiri bahwa etnis Cina membawa peran yang cukup signifikan bagi terbentuknya Kota Juwana sebagai kota pelabuhan dan industri. Kedatangannya membawa dampak yang cukup besar. Sebanyak 2,69 % penduduk etnis Cina yang ada di Jawa tinggal di Juwana (data tahun 1930), angka tersebut terhitung cukup tinggi apabila dibandingkan dengan wilayah pesisir lain seperti Demak (0,45%) dan Pati (2,45%) (Anonim, 1930: 8). Bukti banyaknya intensitas penduduk etnis Cina di Juwana juga dibuktikan dengan adanya tiga klenteng yang ada di Juwana. Klenteng tertua Chongfu Miao (Tjong Hok Bio) dibangun pada tahun 1740 dan terletak di Desa Tluwah, Juwana. Klenteng Tluwah tersebut menjadi yang tertua di Juwana.[1] Kondisi tinggalan arkeologis yang ada sekarang memberikan kesan lokasi Klenteng Tluwah cukup jauh dari sebaran konsentris pemukiman Cina lainnya di Juwana.
Namun, kondisi permukiman masa lampau tidak didukung adanya dokumen yang menguatkan argumen tersebut. Apabila dilihat dari gejala sisa-sisa pemukiman, masih terdapat rumah-rumah yang beberapa bagiannya menunjukkan rumah tradisional etnis Tionghoa dan lokasi klenteng sebenarnya juga tidak begitu jauh dari Sungai Juwana.
Mungkin klenteng itu menjadi batas pemukiman Cina di sepanjang Sungai Juwana yang membujur ke arah utara dan selatan. Klenteng kedua terletak di Jalan Tamong No. 1 bernama Tjoe Tik Bio dan dibangun pada tahun 1870-an. Terakhir, klenteng ketiga bernama Hok Khing Bio dibangun pada tahun 1875 dan menjadi klenteng yang paling muda (Malagina, 2020). Baru dua klenteng yang disebutkan terakhir itu yang dibangun dekat dengan pemukiman orang etnis Cina dan ada di sepanjang Sungai Juwana. Klenteng Hok Khing Bio adalah klenteng yang lokasinya paling strategis karena lokasinya berada di pinggir Jalan Pantura sekarang. Banyaknya populasi etnis Cina di Juwana juga dibuktikan dengan adanya bong Cina yang cukup luas dan banyak. Di Juwana, terdapat empat lokasi yang digunakan sebagai bong Cina. Namun, sekarang hanya tersisa tiga lokasi saja karena sudah diratakan dengan tanah dan dibangun pasar. Dilihat dari angka tahun yang ada pada salah satu bong di Desa Karangrejo, Juwana, menunjukkan tahun sekitar 1800-an dan juga membuktikan adanya daerah asal etnis Cina di Juwana, salah satunya adalah dari daerah DongShan.[2] Pendangkalan Sungai Juwana menjadi salah satu faktor yang membuat nama besar Pelabuhan Juwana tenggelam begitu saja dan vitalitasnya tergantikan oleh pelabuhan di wilayah lain seperti Surabaya dan Semarang. Nasib serupa juga dialami oleh wilayah Lasem dengan faktor yang serupa.
[1] Hasil wawancara dengan Pak Toni, Pengurus Klenteng Hok Khing Bio.
[2] Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada teman – teman yang tergabung dalam grup Facebook “Budaya Tionghoa” atas keterangan – keterangan yang diberikan mengenai inskripsi dalam Bongpay Karangrejo.
Tulisan karya :
Rizal Hendra Pratama (Arkeologi 2018)
Editor :
Candrika Ilham Wijaya (Arkeologi 2019)
Hot Marangkup Tumpal (Arkeologi 2018)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1930. Census of 1930 in Netherlandsch – Indies Volume II. Departement Van Economische Zaken.
Farmita, Artika R. 2014. Wisata Kriya dan Sejarah Juwana. National Geographic Indonesia Edisi 22 Mei 2014.
Malagina, Agni. 2020. Pelesiran ke Juwana Corong Candu Bersejarah di Pantai Utara Jawa Tengah. National Geographic Indonesia Edisi 4 Maret 2020.
Priyomarsono, Naniek Widayati et al. 2020. Perkembangan Tata Ruang Kota Juwana dan Peningkatan Ketahanan Budaya Lokal Mengahadapi Globalisasi. Jurnal Space Vol. 7, No. 1, Edisi April 2020, hlmn: 43 – 52.
Van Het. 1928. Jaarbeok: Departemen Van Landbouw Nijverheid En Handel in Netherlandsch – Indie.