Tanjung Tiram merupakan kawasan pelabuhan tradisional yang memiliki peran penting dalam sejarah maritim di pesisir timur Sumatra Utara, khususnya dalam konteks jalur perdagangan Selat Malaka. Lokasi ini menjadi penghubung antara daerah pedalaman dengan dunia luar melalui pertukaran komoditas. Hal tersebut menjadikan Tanjung Tiram tidak hanya sebagai simpul perdagangan, tetapi juga titik temu budaya dan agama dari berbagai peradaban Asia.
Pesisir timur Sumatra Utara telah lama dikenal sebagai jalur penting dalam jaringan perdagangan maritim Asia Tenggara. Salah satu pelabuhan bersejarah di kawasan ini adalah Tanjung Tiram, yang secara geografis terletak di Kabupaten Batubara. Letaknya yang strategis, diapit oleh muara Sungai Kanan dan Sungai Kiri, menjadikannya lokasi ideal bagi aktivitas perdagangan dan pelayaran sejak masa pra-kolonial hingga modern. read more
Candi merupakan bangunan suci atau kuil yang berasal dari agama Hindu-Buddha. Candi biasanya dibangun sebagai tempat ibadah, makam, dan upacara keagamaan. Bangunan candi umumnya memiliki arsitektur yang megah, dengan berbagai ornamen ukiran dan relief.
Bentangan pulau Jawa dan Sumatera menjadi lanskap bagi sebaran ratusan struktur candi di Indonesia yang menjadi bukti peninggalan peradaban Hindu-Buddha di masa lampau. Candi-candi ini menyimpan informasi penting mengenai kepercayaan, seni, arsitektur, dan kehidupan sosial masyarakat pada zamannya. Keagungan dan keunikan arsitekturnya menyebabkan beberapa candi menjadi ikon nasional yang mendunia seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
Berdasarkan periodisasi gaya arsitektur, candi-candi di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi dua periode: Candi Klasik Tua dan Candi Klasik Muda. Jawa Timur menjadi pusat perkembangan Candi Klasik Muda. Salah satu kompleks Candi Klasik Muda terbesar ialah Candi Panataran yang terletak di Kabupaten Blitar. Selain Candi Panataran, candi tinggalan masa klasik muda adalah candi di Kecamatan Gandusari.
Kecamatan Gandusari merupakan salah satu wilayah kecamatan di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Kecamatan ini mempunyai dua candi; Candi Kotes dan Candi Wringin Branjang, serta lima situs; Situs Sukosewu, Situs Gadungan, Situs Candi Rambut Monte, Cungkup, dan Cungkup Kami. Pembahasan dalam tulisan ini akan terbatas pada kajian sinkronik dan diakronik Candi Kotes dan Candi Wringin Branjang serta Situs Sukosewu dan Situs Gadungan.
Dalam konteks ini, analisis sinkronik terhadap candi dan situs di Kecamatan Gandusari berfokus pada struktur dan fungsi candi dan situs tersebut dalam konteks waktu, sedangkan analisis diakronik akan berfokus pada perkembangan serta perubahan candi dan situs dari masa ke masa.
Metode yang digunakan penulis dalam pengumpulan data dan menyusun tulisan ini ialah observasi dan studi pustaka.
Observasi dilakukan pada tanggal 1 April 2025 pukul 08.00 sampai dengan 16.00 WIB. Penulis menggunakan ponsel sebagai media dokumentasi dan untuk memastikan keakuratan data dalam proses observasi.
Studi pustaka dilakukan sebagai sumber tambahan dan penguat dari hasil data yang telah dikumpulkan.
=&1=&
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, didapatkan hasil sebagai berikut:
=&2=&
Gambar 1: Candi Kotes pada tahun 1911. Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/
Candi Kotes atau Candi Papoh merupakan salah satu candi klasik muda di Kabupaten Blitar, yakni berada di Desa Sukosewu, Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Berdasarkan wujud arsitektur yang masih bertahan hingga kini, maka bangunan suci Hindu-Buddha di wilayah Jawa Timur yang berkembang antara abad ke-13—16 M dapat dibagi ke dalam 5 gaya, yaitu: (1) Gaya Singhasari, (2) Gaya Candi Brahu, (3) Gaya Candi Jago, (4) “Candi Batur”, dan (5) Punden berundak. (Munandar: 2010)
Mengacu pada tulisan tersebut, maka gaya arsitektur candi ini menggunakan gaya arsitektur candi batur.
Gaya arsitektur “Candi Batur” memiliki ciri khas berupa bangunan candi yang hanya terdiri dari satu teras, menyerupai siti inggil atau batur. Saat ini, yang sering tersisa hanyalah struktur teras tersebut dengan tangga di salah satu sisinya. Denahnya bisa berbentuk bujur sangkar atau persegi panjang. Pada permukaan teras ini biasanya terdapat objek-objek sakral, seperti lingga-yoni, altar persembahan, pedupaan berbentuk candi kecil, atau arca perwujudan tokoh yang telah meninggal (Munandar: 2010).
Bisa dilihat dari gambar 1 dan gambar 2, Candi Kotes hanya terdiri dari satu teras saja sehingga Candi Kotes termasuk salah satu candi yang menggunakan gaya arsitektur “Candi Batur”.
Candi ini terdiri dari dua struktur di mana kedua struktur ini memiliki angka tahun yang berbeda. Inskripsi pada tangga candi pertama mencatat tahun 1223 Saka (1301 Masehi), sementara inskripsi pada tangga candi kedua menunjukkan tahun 1222 Saka (1300 Masehi). Fakta ini mengungkapkan bahwa struktur candi kedua lebih tua satu tahun dibandingkan struktur pertama.
Dalam tata letak Candi Klasik Muda, halaman belakang dianggap sebagai area paling suci. Dengan demikian, struktur candi kedua yang lebih tua kemungkinan besar merupakan candi induk, meskipun posisinya berada di halaman belakang. Inskripsi tahun tersebut juga mengindikasikan bahwa Candi Kotes dibangun pada masa Kerajaan Majapahit.
Gambar 2: Candi Kotes. (Diambil 1 April 2025). Sumber: Dokumentasi Pribadi.
Secara sinkronik, Candi Kotes pada masa klasik digunakan sebagai tempat ibadah. Hal ini dibuktikan dengan adanya altar pemujaan di candi tersebut. Dilihat pada gambar 1, terdapat arca ganesha di candi ini sehingga dapat dipastikan bahwa masyarakat yang dahulu memuja dewa ganesha ketika candi ini masih digunakan. Dari temuan arca ganesha tersebut, dapat dipastikan bahwa candi ini merupakan candi hindu.
Secara diakronik, Candi Kotes telah mengalami perubahan makna dari masa ke masa. Di masa klasik, candi ini digunakan dan difungsikan sebagai tempat ibadah. Hal ini bisa dilihat pada gambar 1 di mana terdapat arca ganesha di candi tersebut. Pada masa sekarang, Candi Kotes difungsikan sebagai sarana rekreasi dan edukasi, Hal ini bisa dilihat pada gambar 2 di mana pada sisi belakang dari gambar dapat terlihat bentuk Candi Kotes yang telah berubah serta terdapat penunjuk besi di halaman depan.
=&3=&
Gambar 3: Situs Sukosewu (Diambil 1 April 2025). Sumber: Dokumentasi Pribadi.
Situs Sukosewu merupakan situs yang tidak jauh dari Candi Kotes, sekitar 350 m jaraknya. Situs ini hanya terdiri dari altar, miniatur, dan kemuncak candi. Tidak ditemukan inskripsi di dekat situs ini sehingga tidak diketahui kapan situs ini mulai dibangun.
Dilihat pada gambar 3, bentuk situs ini tidak jauh berbeda dari Candi Kotes, yang membedakannya ialah bahwa situs ini hanya terdiri dari altar, miniatur, dan kemuncak candi sehingga tidak dapat dipastikan apakah situs ini sebenarnya sama seperti Candi Kotes atau tidak. Namun, jika melihat bentuk dari miniatur candi ini, dapat dipastikan bahwa kemungkinan besar situs ini merupakan situs yang sama dengan Candi Kotes.
Gambar 4 : Daerah sekitar Situs Sukosewu (Diambil 1 April 2025) Sumber : Dokumentasi Pribadi
Secara sinkronik, Situs Sukosewu pada masa klasik berfungsi sebagai tempat ibadah. Bukti keberadaan altar pemujaan menguatkan dugaan ini, didukung pula oleh kemiripan situs dengan Candi Kotes.
Secara diakronik, fungsi Situs Sukosewu mengalami transformasi. Jika dulunya merupakan ruang sakral untuk peribadatan, kini situs ini lebih difungsikan sebagai sarana rekreasi dan tempat istirahat. Lokasinya yang berdekatan dengan persawahan menjadikannya area yang menarik bagi masyarakat untuk bersantai.
=&4=&
Gambar 5: Candi Wringin Branjang (Diambil 1 April 2025). Sumber: Dokumentasi Pribadi.
Candi Wringin Branjang merupakan candi yang terletak di Desa Gadungan, Kec. Gandusari, Kabupaten Blitar. Candi ini berada di kaki Gunung Kelud dan menghadap ke arah selatan. Candi ini berbentuk seperti rumah dan terdapat ventilasi berbentuk bintang sejumlah dua buah di masing-masing tembok candi. Area dalam candi ini kosong sehingga belum diketahui fungsi dari candi ini. Namun, ada kemungkinan bahwa candi ini digunakan sebagai tempat penyimpanan barang-barang upacara.
Secara sinkronik, Candi Wringin Branjang pada masa klasik digunakan sebagai tempat penyimpanan alat ibadah. Hal ini dibuktikan dengan bentuk candi ini yang seperti rumah sehingga menimbulkan intrepetasi bahwa candi ini digunakan sebagai tempat penyimpanan alat ibadah.
Gambar 6: Lokasi Candi Wringin Branjang terhadap Gunung Kelud. Sumber: Gmaps (Diakses 3 April 2025).
Secara diakronik, Candi Wringin Branjang telah mengalami perubahan makna dari masa ke masa. Di masa klasik, candi ini kemungkinan digunakan dan difungsikan sebagai tempat penyimpanan alat ibadah. Hal ini bisa dilihat pada gambar 5 di mana bentuk candi ini yang seperti rumah. Pada masa sekarang, Candi Wringin Branjang difungsikan sebagai tempat rekreasi dan edukasi, Hal ini bisa dilihat pada gambar 6, di mana lokasi candi berada di salah satu jalur pendakian Gunung Kelud. Namun, candi ini juga difungsikan sebagai tempat doa dikarenakan saat penulis berkunjung, di dalam candi terdapat dupa dan sesajen.
=&5=&
Gambar 7: Dokumentasi di Situs Gadungan (Di ambil 1 April 2025) Sumber : Dokumentasi Pribadi
Situs Gadungan ialah situs yang berada 300m dari Candi Wringin Branjang. Situs ini berada di Desa Sukomulyo, Gadungan, Kec. Gandusari, Kabupaten Blitar. Seperti yang terlihat pada gambar, situs ini terdiri dari bagian-bagian candi yang tidak tersusun seperti kemuncak candi dan batu-batu penyusun candi.
Saat mengunjungi Situs Gadungan, ditemukan yoni dan reruntuhan mirip altar. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa situs ini kemungkinan merupakan satu kesatuan dengan Candi Wringin Branjang dan berpotensi menjadi candi induk dari kompleks tersebut.
Keberadaan yoni di situs ini mengindikasikan kuat bahwa Situs Gadungan kemungkinan besar merupakan situs candi bercorak Hindu, mengingat yoni merupakan simbol penting dalam pemujaan Dewa Siwa.
Secara sinkronik, Situs Gadungan pada masa klasik diinterpretasikan sebagai tempat ibadah dan penyembahan terhadap Siwa, terbukti dari temuan yoni dan kemuncak candi.
Gambar 8: Salah satu isi dari gubuk di Situs Gadungan. Sumber: Dokumentasi Pribadi.
Secara diakronik, fungsi Situs Gadungan telah mengalami perubahan. Pada masa klasik, situs ini kemungkinan besar berfungsi sebagai tempat ibadah. Namun, pada masa kini, Situs Gadungan memiliki fungsi sebagai tempat rekreasi dan edukasi. Hal ini dapat dilihat pada gambar 7 di mana lokasinya yang berada di jalur pendakian Gunung Kelud (via Gunung Gedang). Selain itu, situs ini juga masih difungsikan sebagai tempat berdoa, dapat diliihat pada gambar 8 di mana terlihat adanya dupa dan sesajen di Situs Gadungan.
=&6=&
Secara garis besar, candi dan situs di Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar saling terikat dan memiliki hubungan satu dengan yang lain. Meski begitu, candi dan situs ini telah mengalami perubahan berdasarkan tinjauan sinkronik dan diakronik. Secara sinkronik, ada beberapa bagian candi dan situs yang dapat direstorasi.
Secara diakronik, candi dan situs di Kecamatan Gandusari telah mengalami perubahan makna di mana pada masa saat candi dan situs tersebut berdiri dan digunakan, situs dan candi ini berfungsi sebagai tempat ibadah dan pemujaan. Pada masa sekarang, candi dan situs ini digunakan sebagai tempat rekreasi dan edukasi. Meski begitu, temuan sajen dan dupa di Candi Wringin Branjang dan Situs Gadungan dapat memberikan interpretasi bahwa masih ada pemujaan kepada leluhur di Candi Wringin Branjang dan Situs Gadungan.
Hardyta, Galy. Candi Kotes Blitar, Peninggalan dari Periode Awal Kerajaan Majapahit. travellersblitar.com. https://travellersblitar.com/candi-kotes/ . diakses pada 3 April 2025
[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website.
--
[ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju