PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN MELALUI BERTANI & BERKEBUN PADA ZAMAN BALI KUNO
Oleh: Ayu Galih Dewandari
Sumber: Tribunnews.com
Negara Indonesia terkenal dengan sumber daya alam yang melimpah, negara kepulauan yang luas, serta memiliki sumber daya manusia yang bisa dikatakan cukup banyak. Jauh sebelum adanya Indonesia yang sekarang kita kenal, banyak sekali kerajaan-kerajaan yang bermunculan serta peperangan antar wilayah yang menyebabkan keruntuhan kerajaan itu sendiri. Sesuai catatan sejarah, kerajaan tertua di Indonesia bernama Kerajaan Kutai yang terletak di Kalimantan yang kemudian disusul dengan munculnya Kerajaan Tarumanegara yang ada di Jawa Barat serta kerajaan-kerajaan lainnya di wilayah Sumatera, Sulawesi, Bali, Jawa, dan lain-lain. Dari perjalanan tersebut, muncullah kata “Nusantara” sebelum adanya Indonesia. Kata “Nusantara” pertama kali dicetuskan oleh Gadjah Mada yang saat itu menjabat sebagai Patih Hamangkubhumi pada Sumpah Palapa saat masa Kerajaan Majapahit. Saat ini kita dapat mengetahui kejadian-kejadian tersebut karena adanya bukti bendawi ataupun non-bendawi. Contoh bukti bendawi dapat berupa tulisan dan sisa-sisa bangunan yang ada, sedangkan non-bendawi dapat berupa cerita-cerita dari masyarakat terdahulu.
Mengingat Indonesia mempunyai tanah yang subur karena mempunyai banyak gunung berapi yang masih aktif. Selain itu juga didukung letak Indonesia yang berada di garis khatulistiwa sehingga mempunyai iklim tropis, yaitu kemarau dan penghujan serta mempunyai curah hujan dan sinar matahari yang cukup, sehingga cocok sekali untuk kegiatan pertanian. Ternyata hal ini sudah disadari oleh nenek moyang sejak zaman kuno. Pertanian menjadi sumber utama dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka. Karena jika kebutuhan pangan tidak terpenuhi akan membuat kondisi suatu kerajaan tidak stabil sehingga mudah dikalahkan oleh musuh. Oleh karena itu, setiap wilayah pasti mempunyai sistem pertaniannya sendiri, tidak terkecuali Bali.
Prasasti merupakan salah satu bukti sejarah yang dapat menjadi sumber kajian ilmiah. Pengertian prasasti sendiri adalah suatu tulisan atau pesan yang dituliskan di atas media batu, logam, atau lembaran daun lontar. Teknik penulisannya pun beragam, ada yang dipahat, digores, dicat, bahkan sistem cetak. Prasasti terdiri dari 2 macam, yaitu prasasti pendek yang hanya berisi 1 atau 2 kata dan prasasti panjang yang berisi penetapan sima, keputusan peradilan, jayapattra, dan lain-lain. Strukturnya terdiri dari mandala, pertanggalan, turunnya perintah ke pejabat kerajaan, penetapan sima, sambandha, kedudukan daerah, pasak-pasak, upacara penyumpahan, dan diakhiri dengan citralekha (penulis). Bentuk prasasti dapat berupa tugu, lempengan, dan akolade. Penamaan prasasti dapat diambil dari daerah ditemukannya prasasti tersebut, dan biasanya sudah disebutkan dalam isi prasasti.
Ada dua pendapat mengenai kedudukan prasasti yang termasuk dalam kajian arkeologi atau bukan. Prasasti dapat dimasukkan dalam kajian arkeologi karena prasasti termasuk tinggalan bendawi berupa artefak. Namun, juga ada yang berpendapat jika prasasti lebih cocok dimasukkan dalam kajian ilmu sejarah karena bersifat kajian tekstual. Salah satu ilmu dalam arkeologi yang disebut Epigrafi merupakan ilmu yang mempelajari prasasti dalam membaca & menafsirkannya. Menurut arkeolog, Epigrafi dapat membantu dalam penyusunan sejarah Indonesia kuno, tetapi ada yang berpendapat alangkah lebih baik jika dibuatkan program tersendiri karena menganggap kegiatan Epigrafi lebih bersifat tekstual bukan kontekstual.
Adanya sistem pertanian saat zaman Bali kuno terdapat pada Prasasti Sukawarna yang tertulis kata ‘huma’ yang berarti sawah. Dalam prasasti lain, seperti Banu Rara II yang telah di alih aksarakan berbunyi….“haji, anak wungsunira kalih bhatari lumah i burwan bhatara lumah ing banu wka, sambandhahyun gumawaya ikanang sawah kadandan i kasuwakan rawas kramanya pinalakunya laga pa…” yang artinya…“raja. anak bungsu (Anak Wungsu) beliau berdua betari yang dicandikan di Burwan dan betara yang dicandikan di Banu Wka, sebabnya (sambandha) ingin menjadikan sawah kadandan di kasuwakan (subak) Rawas yang pada hakekatnya dikenakan (pinalaku) biaya (laga)…”. Dalam prasasti tersebut yang berangka tahun 994 Saka (1072 M) sudah mengenal sistem subak, ada yang berpendapat subak adalah organisasi desa yang mengatur tentang irigasi tradisional, tetapi secara etimologi subak berasal dari kata su yang berarti baik sedangkan bak dari singkatan babakan yang berarti pengaturan air sehingga subak dapat diartikan sebagai sistem pengairan air yang dilakukan dengan baik yang saat ini masih digunakan. Mayarakat Bali masih memegang teguh konsep Tri Hita Karana yang bisa diartikan menjadi tiga penyebab kesejahteraan yang terdiri dari unsur parhayangan (Tuhan), pawongan (manusia), dan palemahan (lingkungan). Hal tersebut ditunjukkan dalam sistem subak, yaitu parhayangan dengan adanya pura subak tersendiri, pawongan yang mengatur organisasi subak, dan palemahan yang berhubungan lingkungan subak seperti jalan, sungai.
Prasasti Pandak Badung yang lebih dulu hadir pada tahun 993 Saka (1071 M) sudah berisi tentang perbaikan sawah.
IIa.5….cetra śuklapaksa, mwang yatna ta ya irika hayakna nikang sawah knepanya, ri kasuwakan talaga 3 tambuku galeng 300kaho pangdidingnya luwang 26 kihanya 50 wiji kulangka..
Artinya; IIa.5. ..Cetra paro terang, selanjutnya mereka berusaha untuk memperbaiki sawah itu, sesuai dengan keinginannya di subak telaga 3 tembuku, pematang 300 aliran air pada dindingnya 26 lubang, beninya 50 biji buah enau (kolang-kaling).
Dilihat dari keadaan geografi di wilayah Bali, para petani memerlukan terowongan untuk mengalirkan air ke sawahnya, hal ini sudah ada sejak zaman kuno yang terdapat kelompok kerja khusus salah satunya dalam bidang pertanian, seperti pangarung (tukang pembuat terowongan) dan serdanu (kepala urusan air danau).
Pada Prasasti Songan-Tabanan terdapat langkah-langkah dalam pertanian dari mulai membuka lahan sampai memanen yang sampai sekarang masih dilakukan, dengan urutan sebagai berikut:
- Amabaki (membuka tanah)
- Mluku (membajak tanah)
- Tanem (menanam padi)
- Matun (menyiangi padi)
- Ani-ani (menuai padi, memanen)
- Nutu (menumbuk padi)
Dari salah satu prasasti yang berada di Kecamatan Klungkung juga dapat diketahui tentang syarat pembukaan lahan sawah yang awalnya berupa hutan. Bagi yang sudah diperbolehkan untuk membuka lahan pertanian akan dikenakan pajak oleh raja ketika mereka sudah menghasilkan panen dua sampai tiga kali dari lahannya.
Zaman dahulu sudah ada pembagian lahan seperti sawah, parlak (sawah kering), gaga (ladang), kebwan (kebun), mmal (ladang daerah pegunungan), kasuwakan. Karena hal tersebut memengaruhi dalam pemungutan pajak seperti pada Prasasti Serai A II (993 M):
“…tatkalan anak mabwatthaji di buru matahilang drwya haji… huma, parlak, padang, mmal… tumahilang hentwa masu 9 ya ta hetuna masu 7…”.
Artinya : ”…pada saat itulah penduduk sebagai wajib pajak di daerah perburuan…penduduk di daerah perburuan melaporkan masalah pajak-pajaknya…sawah basah, sawah kering, padang, tegalan…pajak yang awalnya ditentukan 9 masa diturunkan menjadi 7 masa.
Dalam pembagian penanaman padi untuk daerah yang cukup air akan ditanami padi sawah, sedangkan untuk daerah yang airnya kurang atau berupa tegalan akan ditanami padi gaga. Selain padi terdapat beberapa tanaman yang ditanam pada zaman Bali kuno, seperti tirisan (kelapa), kamiri (kemiri), kapulaga (kapulaga), kasumbha (kesumba), tals (talas), bawang bang (bawang merah), pipakan (jahe), mulaphala (umbi-umbian, wortel), hartak (kacang hijau), pucang (pinang), jeruk (jeruk), camalagi (asam), byu (pisang), sarwawija (padi-padian), sarwaphala (buah-buahan), kapas (kapas), kapir (kapok randu), dan damar (damar). Jika hasil panen tersebut dianggap berlebih dari yang dibutuhkan, mereka akan menjual tanaman seperti bawang merah & bawang putih ke desa lain. Hal ini dapat diketahui dari Prasasti Kintamani E (1222 Saka).
3.…ateher karaman I cintamani sapanjang thani ikeng ana
- Kning karaman wnang adagang kapas mareng les, paminggir hiliran, buhundalem, julah,purwasidhi, indrapura, bulihan, manasa tan sapan deni watek nayaka ka
- pas, apan wnang mulannya, nguniweh songgwanya tanja kapas mwang ksumba,bawang bang, bawang putih, jumuju tan apakaranen, mwah sakweh ikang wwang I wingkang ranu tan wnang
- adagang kapas mareng les, paminggir, iliran , buhun dalem, jukah, purwasidi, indrapura, bulihan, manasa, apan tan wnang mulanya yapwan hana sakwe
Artinya
- …selanjutnya penduduk desa di Kintamani sewilayahnya sampai
4.anaking karaman diperbolehkan berjualan kapas sampai di les, Paminggir, Hilirian, Buhun dalem, Julah, Purwasidi, Indrapura, Bulihan, manasa tidak dilarang oleh nayakan
- pas sebab memang sejak semula diperbolehkan lebih-lebih kemanapun tempatnya menjajakan kapas atau kesuman, bawang merah, bawang putih, jumuju, tidak menyebabkan apa-apa, namun demikian seluruh orang-orang di tepi danau tidak diperbolehkan
- berjualan kapas di Les, Paminggir, Hiliran, Buhun Dalem, Julah, Purwasidhi, Indrapura, Bulihan, Manasa sebab memang tidak diperbolehkan sejak dulu.
Ternyata masyarakat Bali Kuno sudah mampu memanfaatkan keadaan Indonesia yang mempunyai tanah yang subur menggunakan sistem subak yang sampai saat ini masih digunakan karena masyarakat Bali mempunyai konsep Tri Hita Karana, walaupun mungkin lahannya tidak sebanyak zaman dahulu karena adanya kebutuhan lahan untuk kepentingan lain. Saat ini subak menjadi warisan budaya dunia karena sistem pertanian tersebut sangat unik dan sudah dilakukan sejak nenek moyang. Pada saat itu, hasil pertanian dan perkebunan menjadi salah satu sumber pemenuhan dalam bidang pangan terutama tanaman padi. Tidak heran jika Indonesia rata-rata daerahnya mempunyai makanan pokok berupa nasi.
DAFTAR PUSTAKA
Alit, Dewa Made.(2014). “Ekonomi Agraris Masa Bali Kuno”. Artikel. Bali: IKIP PGRI Bali, Volume 02, no. 1, 1-9
Atmodjo, Sukarto Karto. (1988). “PRASASTI BANU RARA II”. Berkala Arkeologi, Volume 9, no. 1
Pertiwi, Bunga Pradipta. 2020. Mengenal Subak Bali, Warisan Dunia UNESCO Sejak 2012 yang Kini Dikenalkan Goodle Doodle. https://m.tribunnews.com/amp/regional/2020/06/29/mengenal-subak-bali-warisan-dunia-unesco-sejak-2012-yang-kini-dikenalkan-goodle-doodle, diakses pada tanggal 23 Oktober 2024
Prasodjo, Tjahjono. (1998). “EPIGRAFI INDONESIA: PERAN, KEDUDUKAN, DAN PENGEMBANGANNYA”. Berkala Arkeologi Th XVIII-Edisi Khusus
Putri, Risa Herdahita. (2020). “Perluasan Lahan Pertanian pada Zaman Kuno”. https://historia.id/kuno/articles/perluasan-lahan-pertanian-pada-zaman-kuno-Pel2x/page/1, diakses pada tanggal 21 Oktober 2024
Sari, Ni Made Nirmala. (2016). “TIGA LEMPENG PRASASTI LANGKAN DARI RAJA JAYASAKTI”. E-Jurnal Humanis, Fakultas Sastra dan Budaya Unud, Volume 14, 58-65
Ustriyana, I Nyoman Gede. Artini, Ni Wayan Putu. (2009). “KAJIAN KONSEP TRI HITA KARANA LEMBAGA SUBAK SEBAGAI SUMBERDAYA BUDAYA DI BALI”. SOCA, Volume 9, no. 3, 380-381