Digitalisasi Budaya dan Kekuatan Transformatif Fandom
Oleh: Haybah Shabira
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Dalam era modern saat ini, pop culture telah menjadi fenomena yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, terutama generasi muda. Salah satu aspek menarik dari budaya populer adalah munculnya “fandom” – sebuah komunitas yang terbentuk dari kumpulan penggemar dengan minat yang sama. Namun, fandom bukan sekadar kelompok konsumen pasif, melainkan sebuah ekosistem dinamis yang memiliki potensi luar biasa dalam melestarikan dan mempromosikan warisan budaya.
Kultur fandom jauh lebih kompleks daripada sekadar hubungan transaksional antara produsen dan konsumen. Inti dari fenomena ini adalah sense of belonging – rasa memiliki dan keterlibatan yang mendalam. Para penggemar tidak sekedar mengonsumsi produk, mereka juga mengembangkan koneksi emosional yang kuat dengan objek kegemarannya, serta individu lain yang tergabung dalam fandom yang sama. Hal ini mendorong mereka untuk berkontribusi secara aktif, baik melalui pembelian merchandise, penciptaan karya fiksi, pengorganisasian event, hingga upaya pelestarian yang lebih substantif di dunia nyata.
Salah satu contoh spektakuler dari potensi fandom adalah kasus game Touken Ranbu di Jepang. Touken Ranbu adalah sebuah online game yang mempersonifikasikan pedang tradisional Jepang atau katana, dengan karakteristik yang unik berdasarkan tampilan dan sejarah dari pedang-pedang tersebut. Premis dari game ini adalah pemain berperan sebagai saniwa, individu yang mampu untuk mengubah pedang-pedang tersebut menjadi sosok manusia, yang kemudian dipanggil touken danshi (lit. pria pedang; pedang yang telah menjadi pria) Sebagai saniwa, pemain diberikan tugas untuk memilih pedang yang akan melawan gerombolan prajurit yang ingin merombak sejarah Jepang. Skenario sejarah yang dimainkan pada game ini merupakan momen-momen krusial di mana tokoh pemilik para Touken Danshi terlibat.
Dampak Touken Ranbu pada Revitalisasi Warisan Budaya
Game ini tidak sekadar menjadi hiburan, tetapi juga menciptakan gerakan sosial yang luar biasa dalam pelestarian warisan budaya. Melalui personifikasi pedang-pedang bersejarah menjadi karakter game, Touken Ranbu berhasil menggiatkan kembali subkultur reki-jo – wanita penggemar sejarah, khususnya sejarah periode pre-industrial di Jepang. Melalui Touken Ranbu, subkultur reki-jo sendiri terdorong untuk terlibat aktif dalam upaya konservasi objek historis dalam sejarah Jepang, termasuk melakukan kunjungan ziarah ke kuil-kuil yang menyimpan relik sejarah, khususnya pedang yang karakternya terkandung dalam game Touken Ranbu. Para reki-jo juga ikut melakukan fundraising untuk melakukan konservasi katana yang mengalami kerusakan.
Contoh konkret dari kontribusi penggemar pada pelestarian warisan budaya adalah fenomena penggalangan dana untuk menyelamatkan pedang bersejarah Shokudaikiri Mitsusada. Pedang tersebut telah melalui banyak pemilik, dari Toyotomi Hideyoshi, Date Masamune, hingga pada akhirnya dipindahtangankan kepada cabang Mito dari keluarga Tokugawa. Shokudaikiri Mitsusada diperkirakan hilang dikarenakan dampak Gempa Besar Kanto pada tahun 1923. Namun, klaim itu dipatahkan setelah para penggemar mencari tahu kondisi pedang tersebut, dan menemukan bahwa pedang itu sebenarnya sedang disimpan oleh Tokugawa Museum dalam kondisi rusak parah setelah terkena dampak kebakaran pada tahun gempa terjadi. Awalnya, pedang Shokudaikiri Mitsusada bukan merupakan koleksi permanen dari museum tersebut, tetapi setelah pengumpulan dana yang dilakukan oleh para penggemar game Touken Ranbu, pedang tersebut berhasil diperoleh oleh Tokugawa Museum, dan menjadi bagian dari objek yang ditampilkan secara permanen di museum tersebut.
Tak hanya Shokudaikiri Mitsutada, pedang Hotarumaru yang disita oleh Blok Sekutu setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, juga ikut memikat perhatian dari para penggemar. Pada tahun 2015, para penggemar membuka penggalangan dana untuk merekonstruksi pedang tersebut, dana yang dibutuhkan sebesar 5.5 juta yen. Pada akhir penggalangan dana, tujuan tersebut tercapai dengan hasil akhir sebesar 45 juta yen, 200% lebih tinggi dari tujuan awal. Pada tahun 2016, pembuatan replika dari pedang Hotarumaru dimulai dengan melakukan rekonstruksi berdasarkan catatan sejarah yang ada. Proses finalisasi dari Hotarumaru ditonton oleh ratusan pengunjung, dan ikut disiarkan di stasiun TV atas permintaan yang membludak. Replika Hotarumaru akhirnya diperkenalkan kepada publik pada tahun 2017 di Kuil Aso.
Dedikasi para penggemar Touken Ranbu tidak berakhir sampai disitu. Fenomena lain yang menggemparkan dunia koleksi pedang di Jepang juga terjadi berkat antusiasme fans Touken Ranbu. Sejak tahun 2018, pemerintah kota Setouchi berusaha untuk mengumpulkan dana demi mengembalikan pedang Sanchoumou ke kota asalnya, namun usaha tersebut kerap berakhir dengan kegagalan. Nitroplus, developer dari game Touken Ranbu, mendapatkan kabar mengenai usaha tersebut, dan merespon dengan merilis karakter Sanchoumou pada periode penggalangan dana di tahun 2019. Karakter ini kemudian meraih popularitas di antara para penggemar, dan penggalangan dana tersebut mendapatkan dana sebesar 699 juta yen (4.7 juta dollar Amerika Serikat), sedangkan Sanchoumou sendiri dihargai pada angka 500 juta yen (3.3 juta dollar Amerika Serikat). Dengan dana tersebut, Pemerintah Kota Setouchi akhirnya berhasil membawa kembali pedang Sanchoumou ke kota asalnya, di mana kini pedang itu dipamerkan di Bizen Osafune Sword Museum. Dari fenomena tersebut, bisa dikatakan bahwa fandom Touken Ranbu menjadi salah satu kontributor terbesar dalam pengembalian pedang Sanchoumou.
Dampak Touken Ranbu terhadap pelestarian warisan budaya Jepang melampaui sekadar penyelamatan pedang tradisional. Sejak dirilis pada 2015, game ini memicu fenomena sosial yang menakjubkan, yaitu lonjakan signifikan pengunjung ke kuil-kuil tradisional, terutama lokasi yang menyimpan pedang bersejarah. Kuil-kuil seperti Aso dan Ishikiri-Tsurugiya, yang sebelumnya mungkin kurang dikenal generasi muda, kini menjadi tujuan wisata yang diminati.
Lonjakan pengunjung begitu masif, sehingga beberapa kuil-kuil di Jepang mulai mengembangkan strategi pemasaran inovatif. Mereka mengorganisir acara-acara khusus yang memamerkan pedang-pedang tradisional dari koleksi museum lokal dan koleksi pribadi kuil. Dengan demikian, Touken Ranbu tidak hanya sekadar game, tetapi telah menjadi katalisator untuk menghidupkan kembali minat generasi muda terhadap warisan budaya Jepang.
Antusiasme penggemar begitu tinggi sehingga mereka menciptakan istilah khusus – “Sword Pilgrimage” – untuk menggambarkan perjalanan ziarah ke lokasi-lokasi bersejarah yang disebutkan dalam game Touken Ranbu, termasuk tempat-tempat yang kini menyimpan pedang-pedang tradisional yang diinkorporasikan dalam game Touken Ranbu. Merespons fenomena ini, Nitroplus merilis buku panduan khusus untuk para penggemar. Buku tersebut tidak sekadar panduan rekomendasi perjalanan, melainkan sumber pengetahuan sejarah yang komprehensif, berisi informasi mendalam tentang tempat bersejarah, riwayat pedang, dan pemiliknya sepanjang sejarah.
Melalui contoh-contoh tersebut, dapat dikatakan bahwa fandom bisa menjadi salah satu pemicu gerakan revitalisasi minat sejarah, khususnya untuk golongan muda. Dari kasus yang terjadi di Jepang, negara-negara lain dapat belajar untuk menerapkan metode serupa dalam memasarkan warisan budaya agar lebih menarik. Tidak hanya sebagai hiburan, melainkan juga sarana pembelajaran yang bisa mendorong langkah-langkah konkret, dipelopori oleh individu yang tergabung dalam fandom itu sendiri.
Strategi Promosi Serupa di Tanah Nusantara
Gerakan antropomorfisme objek-objek bersejarah di Nusantara, yang sebagian besar diprakarsai oleh ilustrator di media sosial, telah menjadi fenomena menarik dalam upaya promosi warisan budaya. Pada tahun 2024, tagar #GijinkaStasiunID dimana para seniman di media sosial “menghidupkan” stasiun-stasiun kereta api melalui representasi visual yang menarik, berhasil menarik perhatian publik. Potensi luar biasa dari para seniman ini, ditambah dengan antusiasme massa terhadap karya mereka, seharusnya dapat dimanfaatkan secara strategis oleh pemerintah dan institusi warisan budaya untuk meningkatkan minat generasi muda terhadap warisan budaya Indonesia. Dengan mengadopsi pendekatan inovatif, seperti menjadikan karakter-karakter stasiun hasil gijinka (antropoformisme) tersebut sebagai maskot resmi, lembaga terkait dapat menciptakan koneksi emosional yang lebih kuat antara generasi muda dan warisan sejarah, sambil mengubah persepsi tentang benda bersejarah menjadi sesuatu yang lebih dekat, menarik, dan relevan dalam konteks budaya kontemporer.
Belajar dari fenomena yang lahir dari Touken Ranbu, terdapat tiga strategi fundamental yang bisa digunakan untuk mengaktualisasikan potensi fandom untuk promosi warisan budaya. Pertama, pemahaman mendalam terhadap demografi target dibutuhkan untuk menciptakan narasi dan visual yang memikat target demografi, dan menciptakan kedekatan emosional. Misalnya dalam kasus Touken Ranbu, developer berhasil merancang konsep yang mempertimbangkan preferensi demografis perempuan muda, dengan mentransformasikan objek sejarah (pedang) menjadi karakter manusia yang memiliki daya tarik visual dan narasi yang kompleks.
Dukungan berkelanjutan dari produsen menjadi pilar kedua dalam memelihara kegemaran fandom pada isu tertentu. Dalam strategi ini, merchandise tidak sekadar produk komersial, melainkan media storytelling tambahan yang memperluas pengalaman penggemar. Adaptasi melalui anime, drama, atau komik memungkinkan ekspansi narasi di berbagai platform, sementara kepekaan terhadap isu industri membangun kredibilitas dan koneksi dengan komunitas sejarah atau budaya terkait.
Pembaruan berkelanjutan merupakan faktor krusial ketiga dalam mempertahankan antusiasme fandom. Ini bukan sekadar menambahkan fitur baru, melainkan menciptakan dinamika konten yang terus berkembang sesuai dengan harapan dan partisipasi basis penggemar. Pendekatan ini melibatkan siklus pembaruan konten berkala, penelitian mendalam untuk menjamin keakuratan historis, dan menciptakan mekanisme di mana penggemar dapat berkontribusi dalam pengembangan narasi. Dengan demikian, media tidak statis, tetapi terus berevolusi, mempertahankan relevansi dan antusiasme komunitas penggemar.
Berdasarkan analisis mendalam tentang peran fandom dalam pelestarian warisan budaya, terutama melalui studi kasus game Touken Ranbu di Jepang, dapat disimpulkan bahwa fandom memiliki potensi transformatif yang signifikan dalam menghidupkan kembali minat generasi muda terhadap warisan sejarah. Melalui pendekatan inovatif yang menggabungkan teknologi, narasi kreatif, dan keterlibatan emosional, fandom tidak lagi sekadar komunitas konsumen pasif, melainkan berpotensi menjadi agen aktif pelestarian dan promosi warisan budaya. Strategi fundamental yang meliputi pemahaman demografis, dukungan berkelanjutan dari produsen, dan pembaruan konten yang dinamis telah terbukti efektif dalam menciptakan ekosistem partisipatif yang mendorong generasi muda untuk tidak sekadar mengenal, tetapi juga terlibat secara langsung dalam upaya pelestarian dan apresiasi terhadap warisan budaya, mengubah cara pandang tradisional dalam mempromosikan warisan budaya melalui pendekatan yang lebih kontekstual, menarik, dan relevan dalam konteks budaya kontemporer.
Referensi:
Flameshadowwolf. (2021, Februari 17). [Anime/Gaming] Touken Ranbu: The Little Fandom With Deep Pockets [Reddit Post]. r/HobbyDrama. www.reddit.com/r/HobbyDrama/comments/llzzjt/animegaming_touken_ranbu_the_little_fandom_with/
Iwaguchi, T. (2018, Mei 7). “Touken Joshi”: Girls Are Infatuated With Japanese Swords, and It’s Good | JAPAN Forward. https://japan-forward.com/touken-joshi-girls-are-infatuated-with-japanese-swords-and-its-good/
L, A. (2021, April 1). Japanese Swords as Symbols of Historical Amnesia: Touken Ranbu and the Sword Boom in Popular Media. The Asia-Pacific Journal: Japan Focus. https://apjjf.org/2021/7/watabe
Legendary sword ‘Sanchomo’ goes on show at the Setouchi museum | The Asahi Shimbun: Breaking News, Japan News and Analysis. (t.t.). The Asahi Shimbun. Diambil 27 November 2024, dari https://www.asahi.com/ajw/articles/15073800
nijimen. (2016, Agustus 30). クラウドファンディング 蛍丸復元プロジェクトより奉納焼き入れの様子が公開!蛍丸に新たな魂が宿る!—女性向けアニメ情報サイトにじめん. にじめん. https://nijimen.kusuguru.co.jp/topics/723
Obst, P., Zinkiewicz, L., & Smith, S. G. (2002). Sense of community in science fiction fandom, Part 1: Understanding sense of community in an international community of interest. Journal of Community Psychology, 30(1), 87–103. https://doi.org/10.1002/jcop.1052
Rust, E. (2022). Inhabiting the exhibition site through dōjinshi: The role of fan works in place-making. Keio SFC journal, 22(1), 74–97.
Tōken Ranbu Sword Hotarumaru Reconstruction Finished. (2024, Desember 3). Anime News Network. https://www.animenewsnetwork.com/interest/2016-09-05/token-ranbu-sword-hotarumaru-reconstruction-finished/.105983
장인화. (2021). An Analysis on the Survival Methods of Shinto Shrines in Modern Japan [Thesis, 서울대학교 대학원]. https://s-space.snu.ac.kr/handle/10371/177413
刀剣プロジェクト. (t.t.). Diambil 29 November 2024, dari https://www.tokugawa.gr.jp/study/research/token/