Sejarah

HIMA

Himpunan Mahasiswa Arkeologi

Himpunan Mahasiswa Arkeologi dibentuk di Yogyakarta pada tanggal 19 November 1963. HIMA merupakan wadah bagi mahasiswa Arkeologi untuk berkarya serta mengabdi sebagai kewajiban seorang mahasiswa. Kepengurusan HIMA dibagi menjadi 7 divisi yaitu: P3M, PSDM, Media, Humas, Mikat, Kewirausahaan dan ABA (Arkeologi Bawah Air).

Pada mulanya, nama HMJ ini adalah IKAMIPA (Ikatan Keluarga Ilmu Purbakala), baru kemudian pada tahun 1972 berganti nama menjadi HIMA karena nama jurusan juga telah berubah dari Ilmu Purbakala menjadi Arkeologi. Kala masih bernama IKAMIPA, lambangmya adalah lambang UGM standar, tetapi kemudian setelah berganti nama maka dibuatlah lambang yang baru yaitu Kala yang sedikit dimodifikasi. Pencipta lambang kala ini ialah Gendon Subandono (angkatan 82/83) yang dulu juga aktif di Kapalasastra dan kini berprofesi sebagai pelatih paralayang. Sedangkan Himne Arkeologi diciptakan saat HIMA berada di bawah pimpinan Jarwo Susetyo a.k.a Mas Menyung, yang juga saat periodenya dikatakan HIMA sedang dalam fase penuh ledakan ide kreatif dan sangat produktif.

Berbicara tentang HIMA tentu tak lepas dari abhiseka, sebuah upacara atau ritual untuk masuk menjadi warganing HIMA. Rupa-rupanya abhiseka ini awalnya bernama malam Purbaratri (saat masih bernama IKAMIPA), tetapi kemudian mulai berganti nama menjadi abhiseka ratri dan seiring berjalannya waktu kini menjadi Abhiseka. Perubahan ini mungkin juga mempengaruhi isi dari kegiatan abhiseka itu sendiri, tetapi satu yang tidak pernah berubah adalah pada sesi pentahbisan. Segala ubarampe atau barang-barang yang dibutuhkan dan tata caranya hampir tak berubah; ada satu orang yang didapuk untuk menjadi resi, dupa, mantra dan suasana yang mistis namun khusyuk. Abhiseka sudah menjadi suatu bagian yang tak terpisahkan pula dari HIMA, meski isi acara beserta detailnya sudah banyak yang berubah dan disesuaikan zaman, bagian pentahbisan tetap memiliki ruang tersendiri bagi warganing HIMA, terlebih pada HIMA periode angkatan tua, mereka juga menjadikan abhiseka sebagai sarana tolak bala, sehingga tak usah heran jika setiap pulang dari di-abhiseka, semua akan berganti nama. Pergantian nama inilah yang dimaknai sebagai sarana tolak bala.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.