Menyambut 101th Hari Purbakala

Pada abad ke-17, jauh sebelum ilmu arkeologi berkembang dan benda-benda arkeologi menjadi objek penelitian, pengumpulan benda-benda arkeologi banyak dilakukan para kolektor dari Eropa. Motivasi mereka adalah hobi semata. Benda-benda yang dianggap unik, mereka bawa dan simpan di suatu tempat. Ketika itu G.E. Rumphius (1628-1702), seorang naturalis Jerman, tidak hanya tertarik pada dunia flora dan fauna di Nusantara. Dia pun mengumpulkan berbagai benda prasejarah. Rumphius sering menghadiahkan benda-benda prasejarah kepada para pejabat kolonial. Dia pun banyak menulis tentang benda-benda prasejarah yang dikoleksinya. Sayang, catatan Rumphius kurang lengkap sehingga menyulitkan pengidentifikasian asal-usul benda.

Rumphius hanya salah seorang dari sekian banyak peminat kebudayaan Nusantara. Pada awalnya kegiatan mengumpulkan benda-benda unik dan menarik itu bersifat individu. Barulah kemudian kegiatan tersebut bersifat kelompok, sehingga penanganan benda menjadi lebih terarah. Upaya para ilmuwan dan peminat seni dimulai dengan mendirikan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) pada 1778. Lembaga inilah yang memelopori penelitian, observasi, pemeliharaan, pengamanan, pendokumentasian, inventarisasi, penggambaran, penggalian, dan pemugaran terhadap bangunan dan artefak kuno. Kegiatan BGKW didukung oleh lembaga swasta yang didirikan pada 1885, yaitu Archaeologische Vereeniging pimpinan Ir. J.W. Ijzerman.

Berkat campur tangan pemerintah Hindia Belanda, pada 1901 dibentuk ”Commissie in Nederlandsch-Indie voor oudheidkundig onderzoek op Java en Madoera”. Ketika ketuanya yang pertama Dr. J.L.A. Brandes meninggal dunia, komisi itu sempat terbengkalai. Baru pada 1910-an diangkat ketua baru, Dr. N.J. Krom. Dia mempunyai pandangan yang sangat tajam. Segera dia belajar organisasi kepurbakalaan di India, Birma (sekarang Myanmar), dan Hindia Belakang, yang ketika itu sudah lebih maju daripada Hindia Belanda.

Hari Purbakala 14 Juni

Atas usaha Krom, hapuslah komisi yang bersifat sementara itu. Maka atas surat keputusan pemerintah tanggal 14 Juni 1913 nomor 62 berdirilah ”Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie” (Jawatan Purbakala). Krom diangkat sebagai kepala jawatan itu. Adapun tugasnya tidak hanya menyangkut Jawa dan Madura, tetapi seluruh Nusantara.

Sepeninggal Krom ke Belanda, mulai pertengahan 1916 Dr. F.D.K. Bosch diangkat menjadi Kepala Jawatan Purbakala. Bosch banyak melakukan rekonstruksi terhadap candi-candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pada masanya Bosch sempat bertentangan dengan Krom soal rekonstruksi di atas tanah atau di atas kertas. Ini dilakukan untuk menghindari ”pembunuhan kepurbakalaan” sebagaimana yang dilakukan Ijzerman terhadap gugusan Loro Jonggrang.

Pada pertengahan 1936 Bosch digantikan Dr. W.F. Stutterheim. Sebelumnya Stutterheim mendirikan sebuah sekolah A.M.S. gaya baru yang berjurusan Sastra Timur di Solo. Di sekolah tersebut, dia memasukkan Sejarah Kesenian dan Kebudayaan Indonesia ke dalam kurikulum.

Pada 1942 pemerintah Hindia Belanda runtuh. Sayang pemerintah pendudukan Jepang tidak menghasilkan usaha yang berarti. Akibatnya kantor di Jakarta mati. Untunglah kantor di Yogyakarta dapat mengambil alih peranan. Pada masa Jepang inilah seorang pembesar Jepang di Magelang membongkar dengan ceroboh timbunan batu di tenggara Candi Borobudur.

Selepas Jepang, pemerintah Belanda berusaha menghidupkan kembali Oudheidkundige Dienst. Sebagai pemimpin sementara ditunjuk Ir. H.R. van Romondt. Pada 1947 Oudheidkundige Dienst dikepalai Prof. Dr. A.J. Bernet Kempers. Pada 1951 beberapa Jawatan Purbakala melebur menjadi Dinas Purbakala. Setelah 40 tahun dipimpin oleh bangsa asing, pada 1953 Dinas Purbakala dan Peninggalan Nasional dipimpin oleh R. Soekmono. Kelak institusi ini berubah menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN).

Pada 1975 terjadi perubahan struktur organisasi. LPPN dibagi menjadi dua unit, yakni yang bersifat teknis administrasi operasional atau pelestarian dikelola oleh Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP), sementara yang bersifat penelitian dipegang oleh Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (P4N). Kedua institusi ini pun pernah beberapa kali berganti nama, yakni Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (DP3SP, kemudian Ditlinbinjarah). Nama saat ini adalah Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (DPCBP), dikepalai Surya Helmi. Satunya lagi, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puspan, kemudian Puslit Arkenas). Setelah menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas) kini disebut Pusat Arkeologi Nasional (Pusarnas), dikepalai Bambang Sulistyanto. Setiap institusi dilengkapi oleh Unit Pelaksana Teknis di sejumlah daerah bernama Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) untuk DPCBP dan Balai Arkeologi (Balar) untuk Pusarnas. Dengan catatan nama sebelum BP3 adalah Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP). (berbagai sumber/Djulianto Susantio)
sumber

Kita sebagai generasi penerus bangsa yang mewarisi tanah tumpah darah yang kaya akan budaya, sumberdaya alam melimpah ruah, dan segala kekayaan bendawi hingga hayati yang terkandung di Nusantara ini patut bersyukur…

Jadi apa kritik, saran, harapan kamu untuk Indonesia dalam memperingati HARI PURBAKALA YANG KE 101??

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.